') //-->
Aneka tendensi dan metode penafsiran Al-Qur'an berbau "modern" yang muncul pada abad ini dan bermunculannya beberapa realita dalam rangka memahami dan menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an telah memberikan nilai lebih kepada abad ini dibandingkan dengan abad-abad sebelumnya.
Di antara tendensi dan metode penafsiran tersebut adalah "tendensi renofatif" (ishlâhî) dan "tendensi saintis" ('ilmî). Kedua tendensi inilah yang pada abad ini mendominasi pasaran dunia penafsiran Al-Qur'an dan dapat dianggap sebagai benang merah dari seluruh penafsiran pada abad modern ini.
Tulisan ini akan berusaha—semampu mungkin—untuk menganalisa tendensi saintis penafsiran Al-Qur'an, dan di samping itu, akan membahas topik-topik pembahasan, seperti biografi kemunculan tendensi saintis penafsiran Al-Qur'an, dimensinya, keluasan cakupannya, dan pandangan-pandangan yang menentang dan mendukung, dengan harapan semoga tulisan ini dapat menjadi prolog untuk sebuah riset dan analisa yang lebih luas dan lebih berbobot.
Definisi Penafsiran Saintis
Penafsiran saintis adalah sebuah metode penafsiran Al-Qur'an yang dijelaskan berdasarkan data-data sains. Padanannya, seperti metode penafsiran tekstual yang mendasarkan penafsiran Al-Qur'an atas hadis dan metode penafsiran rasional yang mendasarkan penafsiran tersebut atas prolog-prolog rasional.
Dalam metode penafsiran ini, terdapat beberapa poin (baca: kriteria) yang perlu kita perhatikan bersama:
a. Lebih menekankan pada penemuan-penemuan sains dan menjadikannya sebagai tolok ukur memahami ayat-ayat Al-Qur'an.
b. Penyerupaan.
c. Tidak menghiraukan kriteria-kriteria teologis dan kondisi yang ada pada saat ayat turun.
d. Mempersiapkan kemunculan aliran pemikiran eklektis dan penafsiran material terhadap ayat-ayat Al-Qur'an.
Hanya saja, dua kriteria terkahir ini hanya mendominasi mayoritas metode penafsiran saintis ini, bukan seluruhnya. Meskipun metode penafsiran ini adalah metode yang hanya dimiliki oleh abad keempat belas Hijriah, akan tetapi akar historis metode ini dapat ditemukan pada metode penafsiran abad-abad sebelumnya.
Di kalangan para musaffir Ahlusunah, Fakhruddin ar-Razi (wafat 606 H.) layak untuk diperhitungkan dalam hal ini. Hal ini diakui oleh seluruh penulis Ahlusunah[1] dan riset lapangan juga membuktikan hal itu. Lebih dari itu, sebelum Fakhruddin, al-Ghazali (505 H.) dalam bukunya, Jawâhir Al-Qur'an menyebutkan beberapa ayat Al-Qur'an yang—menurut hematnya, untuk memahaminya memerlukan beberapa disiplin ilmu, seperti astronomi, perbintangan, kedokteran, dan lain sebagainya. Jika ucapan al-Ghazali ini kita anggap sebagai langkah pertama bagi kemunculan penafsiran ilmiah, tidak diragukan lagi bahwa al-Ghazali sendiri belum berhasil merealisasikan metode tersebut, dan satu abad setelahnya, Fakhrurrazi di dalam Mafâtîh al-Ghaib-nya berhasil merealisasikan metode penafsiran yang pernah disusulkan oleh al-Ghazali itu.[2]
Pasca masa Fakhrurrazi, tendensi penafsiran ini diteruskan oleh buku-buku tafsir yang—sedikit-banyak—terpengaruh oleh teori penfasiran Fakhrurrazi dalam ruang lingkup yang agak terbatas. Di antaranya adalah Gharâ'ib Al-Qur'an wa Raghâ'ib al-Furqân,[3] karya an-Nisyaburi (wafat 728 H.), Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta'wîl,[4] karya al-Baidhawi (wafat 791 H.), dan Rûh al-Ma'ânî fâ Tafsir Al-Qur'an al-'Azhîm wa Sab' al-Matsânî,[5] karya al-Alusi (wafat 1217 H.)
Buku-buku tafsir tersebut telah melakukan penafsiran saintis atas ayat-ayat Al-Qur'an. Selain mereka, terdapat beberapa mufassir lagi, seperti Ibn Abul Fadhl al-Marasi (wafat 655 H.), Badruddin az-Zarkasyi (wafat 794 H.), dan Jalaluddin as-Suyuthi (wafat 911 H.) yang termasuk dalam golongan para mufassir yang memiliki tendensi penafsiran saintis.[6] Meskipun demikian, sebenarnya para mufassir ini tidak dapat dimasukkan ke dalam kategori mufassirin yang memiliki aliran saintis dalam menafsirkan Al-Qur'an, karena mereka hanya mengklaim bahwa Al-Qur'an memuat semua jenis dan disiplin ilmu pengetahuan, dan hanya klaim ini tidak dapat dijadikan bukti bahwa mereka memiliki tendensi penafsiran saintis. Sebelum mereka pun, sebagian sahabat telah memiliki klaim yang serupa[7] dan hingga kini tak seorang pun yang berani memasukkan sahabat tersebut ke dalam kategori para mufassirin yang memiliki tendensi penafsiran saintis.
Setelah periode tafsir Rûh al-Ma'ânî, pada permulaan abad keempat Hijriah, metode penafsiran saintis mengalami kemajuan yang sangat pesat dan para mufassir, seperti Muhammad bin Ahmad al-Iskandarani (wafat 1306 H.) dalam Kasyf al-Asrâr an-Nûrâniyah Al-Qur'aniyah-nya, al-Kawakibi (wafat 1320 H.) dalam Thabâ'i' al-Istibdâd wa Mashâri' al-Isti'bâd-nya, Muhammad Abduh (wafat 1325 H.) dalam Tafsir Juz 'Amma-nya, dan ath-Thanthawi (wafat 1358 H.) dalam Jawâhir Al-Qur'an-nya, masing-masing menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an secara saintis. Contoh penafsiran saintis Al-Qur'an yang paling gamblang adalah buku tafsir al-Iskandarani dan ath-Thanthawai di mana dengan sedikit perbedaan, mereka telah berusaha untuk memahami ayat-ayat Al-Qur'an melalui ilmu pengetahuan empirik (tajribî) dan penemuan-penemuan manusia.
Setelah ath-Thanthawi dan refleksi postif dan negatif yang telah dimunculkan oleh metode penafsirannya, metode penafsiran saintis di kalangan Ahlusunah mendapatkan tempat yang lumayan mapan. Lebih dari itu, di kalangan para ahli dalam ilmu alam yang memandang ayat-ayat Al-Qur'an dengan kaca mata spesialis, metode penafsiran semacam ini mendapatkan tanggapan yang lebih serius. Pada saat ini telah ditulis banyak buku yang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an secara ilmiah. Hanya saja, gebarakan ini adalah sebuah gebrakan yang terlalu berlebihan.
Menyibak Ranah Tafsir Saintis di Dalam Buku-Buku Tafsir Syi'ah
Contoh gebrakan pertama dalam metode penfasiran saintis di dalam mazhab Syi'ah dapat kita temukan dalam buku tafsir Syaikh Thusi (wafat 460 H.) yang berjudul at-Tibyân. Di dalam buku tafsir terpenting pada masanya dan buku tafsir yang sangat komprehensif hingga masa kini ini, terdapat beberapa ayat—meskipun dalam lingkup yang sangat sempit—telah ditafsirkan secara ilmiah. Sebagai contoh, ketika menafsirkan surah al-Baqarah, ayat 21 yang berbunyi, "Dia-lah yang telah menjadikan bumi sebagai hamparan dan langit sebagai atap bagi kamu sekalian" ia berkomentar, "Apakah ungkapan firâsy yang berarti 'terhampar' bagi bumi tidak sesuai dengan teori bahwa bumi itu bulat?" Setelah mengajukan pertanyaan ini, ia menyebutkan seluruh argumentasi mereka yang menganggap bahwa ayat ini tidak ada kaitannya dengan teori tersebut. Setelah mengkritiknya, ia sendiri menyimpulkan, "Arti yang dapat dicerap dari kosa kata firâsy adalah benar dan hal itu tidak bertentangan dengan teori kebulatan bumi yang telah terbuktikan di dalam ilmu astronomi."[8]
Begitu juga dalam menafsirkan ayat, "Kemudian Ia berkehendak (untuk menciptakan) langit, lalu Ia menjadikannya tujuh langit," ia berkeyakinan bahwa "tujuh langit" di dalam ayat itu adalah (tujuh) falak yang telah terbukti di dalam ilmu astronomi.[9]
Pendapat-pendapatnya ini menunjukkan bahwa Syaikh ath-Tha'ifah telah berusaha untuk membandingkan ayat-ayat Al-Qur'an dengan penemuan-penemuan ilmiah yang pernah ditemukan pada masanya, dan—kadang-kadang—berusaha untuk mengadakan sebuah penyesuaian antara keduanya, meskipun ia sendiri tidak memaksakan bahwa ayat-ayat itu pasti mengungkapkan segala yang telah terbuktikan di dalam ilmu astronomi pada masa itu.
Setelah periode Syaikh Thusi hingga abad kesebelas Hijriah (sekitar enam abad lamanya), tendensi penafsiran saintis di kalangan Syi'ah—bisa dikatakan—telah terkuburkan, sebagaimana hal itu dapat kita lihat di dalam buku tafsir Majma' al-Bayân dan tafsir Abul Futur, dua buku tafsir Al-Qur'an yang telah ditulis pada abad keenam dan kedelapan Hijriah.
Pada abad kesebelas, dengan munculnya buku tafsir Mulla Shadra yang berjudul Tafsir Al-Qur'an al-Karîm, tendensi penafsiran ilmiah menemukan napas baru. Tafsir yang tidak memuat semua ayat Al-Qur'an dan hanya memuat bagian pertama dan terakhir Al-Qur'an ini telah mengutarakan pembahasan-pembahasan ilmiah di dalam ayat-ayat yang mengandung unsur pembahasan-pembahasan ilmiah. Sebagai contoh, ketika menafsirkan surah al-Baqarah, ayat 22 dan 29 serta surah Yasin, ayat 38-39, Shadrul Muta'allihin memaparkan pembahasan-pembahasan ilmu astronomi, seperti kebulatan bumi, sembilan falak langit, dan lain sebagainya, dan ia telah mengupas semua itu dengan metode yang sangat argumentatif.
Setelah periode Mulla Shadra hingga beberapa abad terakhir ini, tendensi penafsiran ilmiah di dalam buku-buku tafsir Syi'ah, seperti tafsir Syubbar, tafsir ash-Shafi, tafsir Faidh al-Kasyani, tafsir Kanz ad-Daqâ'iq, dan lain sebagainya tidak terlihat. Akan tetapi, pada abad keempat belas, bersamaan dengan perkembangan baru dalam metode penafsiran Al-Qur'an, gerakan saintisme berhasil menyusup ke dalam ruang lingkup penafsiran Al-Qur'an. Mayoritas buku-buku tafsir yang terkenal pada abad ini, seperti al-Mizan, al-Furqan, al-Kasyif, al-Basha'ir, buku tafsir karya Mushthafa Khomeini, Partovi az Quran, Nemuneh, Novin, Min Huda Al-Qur'an, dan lain sebagainya juga melirik penemuan-penemuan ilmiah dalam menafsirkan dan memahami ayat-ayat Al-Qur'an. Hanya saja hal ini tidak berarti bahwa para mufassir ini mengambil metode penfasiran saintis sebagai satu-satunya metode yang dapat dijadikan sandaran. Dalam beberapa kondisi, mereka malah menunjukkan penentangannya,[10] dan hanya dalam menafsirkan sebagian ayat, mereka lebih membenarkan satu pendapat atau memberikan kemungkinan adanya pendapat baru dengan bersandarkan kepada penemuan-penemuan ilmiah yang sudah paten.
Hal ini dapat kita lihat di dalam tafsir surah al-Baqarah, ayat 22 dan 29, surah Yasin, ayat 38 dan 39, surah al-Anbiya', ayat 33, surah al-A'raf, ayat 54, surah al-Hijr, ayat 14 dan 16, surah Fushshilat, ayat 12, surah Yunus, ayat 5, surah adz-Dzariyat, ayat 47, dan ayat-ayat yang lain. Dalam menafsirkan ayat-ayat tersebut, masing-masing mufassirin tersebut mengutarakan kesetujuan atau penolakannya terhadap sebagian penafsiran-penafsiran (ilmiah yang telah berkembang).
Pembahasan terinci dan menyebutkan contoh-contoh dari metode penafsiran saintis dalam hal ini akan kami limpahkan kepada makalah lain, dan pada kesempatan ini, kami akan melanjutkan pembahasan dengan menyebutkan tiga poin penting berikut ini:
a. Ayat-ayat utama dalam tendensi penafsiran saintis; dengan meneliti ayat-ayat utama Al-Qur'an dapat dipahami bahwa tolok ukur utama tendensi penafsiran ini adalah ayat-ayat yang mengutarakan masalah-masalah ilmu astronomi, dan ayat-ayat yang selebihnya, khususnya ayat-ayat yang telah ditafsirkan secara saintis pada kurun-kurun terakhir ini dan tidak menyinggung masalah ilmu astronomi hanya berjumlah sedikit dan dapat dihitung dengan jari.
b. Membandingkan tendensi penafsiran saintis di kalangan buku-buku tafsir Syi'ah dan Ahlusunah; membandingkan antara buku-buku tafsir Syi'ah dan Ahlusunah yang telah ditulis pada abad keempat belas ini menunjukkan bahwa tendensi penafsiran saintis di dalam buku-buku Syi'ah berjalan dengan seimbang dan secara lebih hati-hati. Berbeda dengan sebagian buku-buku tafsir Ahlusunah, seperti buku tafsir tulisan al-Iskandarani dan buku tafsir karya ath-Thanthawi yang kadang-kadang berjalan melebihi batas normal.
c. Kecenderungan para ilmuwan dari berbagai spesialisasi kepada tendensi penafsiran ilmiah Al-Qur'an; di dalam mazhab Syi'ah, penafsiran saintis terhadap ayat-ayat Al-Qur'an yang dilakukan oleh para spesialis dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan di mana mereka tidak memiliki titel mufassir Al-Qur'an, dan meskipun demikian, mereka masih menafsirkan beberapa ayat Al-Qur'an yang masih berhubungan dengan bidang spesialisasinya sangatlah sedikit terjadi dan hanya beberapa orang yang bisa dihitung dengan jari, seperti Ir. Bazargan yang melakukan penafsiran Al-Qur'an secara saintis. Adapun di kalangan Ahlusunah, gebrakan ini mendapatkan tanggapan yang sangat luas dari kalangan mereka.
[1]Ahmad Umar Abu Hajar, at-Tafsîr al-'Ilmî li Al-Qur'an fî al-Mîzân, hal. 145.
[2]Tafsir Mafâtîh al-Ghaib, tafsir surah al-Baqarah [2]:22, 29, 164, dan surah al-A'raf [7]:54.
[3]Adz-Dzhahabi, Muhammad Husain, at-Tafsir wa al-Mufassirûn, jilid 1, hal. 326.
[4]Ibid. hal. 300.
[5]Ibid. hal. 358.
[6]At-Tafsîr al-'Ilmî li Al-Qur'an fî al-Mîzân, hal. 156-165.
[7]Az-Zarkasyi, Badruddin, al-Burhân fî 'Ulûm Al-Qur'an, jilid 1, hal. 154.
[8]Ath-Thusi, Muhammad bin Hasan, at-Tibyân, jilid 1, hal.102.
[9]Ibid. hal. 125.
[10]Mughniyah, Muhammad Jawad, al-Kâsyif, jilid 1, hal. 38.