') //-->
Belum lama ini terbit sebuah buku
berjudul: "Al-Qur'an Kitab Toleransi" yang ditulis oleh Saudara
Zuhairi Misrawi. Tak lama setelah peluncuran karya itu di Universitas
Paramadina pada tanggal 28 Maret 2008 dan dibedah oleh beberapa tokoh pluralis
seperti Jalaludin Rahmat, Said Agil Siraj dan Amin Abdullah, pada tanggal 3
April lalu saya diundang oleh Pogram Pasca-sarjana PTIQ (Perguruan Tinggi Ilmu
Al-Qur'an) untuk membedah buku itu bersama penulisnya langsung.
Selaku pembaca, saya akan berupaya menyoroti karya Zuhairi Misrawi dari
beberapa aspek berikut:
Asumsi-asumsi Dasar dalam Buku
Asumsi awal dari buku ini adalah fakta bahwa penulis sangat gusar dengan
fenomena menguatnya arus ideology kembali kepada Al-Qur'an dan Sunnah. Dalam
amatannya, ideologi ini paling favorit dan paling laris di berbagai belahan
dunia Islam. (h.17) Lokus problematisnya dapat dilihat dari fungsionalisasi
Al-Qur'an untuk tindakan intoleransi. Seperti: pemurtadan, penyerangan,
terorisme dll. Kondisi tersebut telah menyebabkan umat Islam mengalami krisis
iman di satu sisi dan krisis nalar di sisi lain. Krisis iman, karena terjebak
pada ideologi kekerasan. Krisis nalar karena iman tidak dilandasi pada analisa
dan metodologi yang kuat (h.18) . Kegusaran ini bagi saya sebenarnya tak perlu.
Yang diperlukan saat ini adalah usaha yang berkesinambungan untuk melakukan
pencerahan tafsir keagamaan yang moderat, memahami dinamika zaman, tetapi juga
tidak tercerabut dari akar-akar keimanan dan doktrin keIslaman.
Kedua, dengan karyanya dia berharap dapat menyelamatkan Al-Qur'an dari
ideologisasi dan fungsionalisasi ekstrimisme. Upaya ini perlu diutamakan
sehingga Al-Qur'an menjadi kitab suci yang membawa pesan-pesan toleransi,
kerukunan dan kedamaian (h.19). Bagi saya selaku pembaca, hal ini sama
pentingnya dengan menyelamatkan Al-Qur'an dari tafsir sekularisasi dan ideologi
humanisme sekuler. Karena kedua hal ini akan menjadi masalah besar bagi umat
Islam dan kemanusiaan universal. Yang pertama, ingin menghancurkan peradaban
atas nama Allah swt (legitimasi agama). Dan yang kedua, ingin menghancurkan
sendi agama atas nama keadaban dan peradaban.
Ketiga, karya itu juga ingin meletakkan fungsi Al-Qur'an dalam kehidupan
manusia sebagai 'cahaya' dan 'petunjuk'. Ia lalu merujuk pada surah an-Nur: 35
ditegaskan bahwa Allah adalah cahaya langit dan bumi. Penulis kemudian
menafsiri kata 'bumi' dalam ayat itu sebagai salah satu perhatian yang besar
terhadap masalah 'antroposentrisme'. Sementara kata 'langit' dimaknai penulis
sebgai dimensi 'teosentrisme' yang harus berkait kelindan dengan bumi yang
menyimbolkan antroposentrisme (h.92). Tetapi pada faktanya, penulis lebih
berpihak pada klaim antroposentrisme. Hal ini bisa dilihat pada pilihan
metodologis penulis yang menekankan arus orientasi penafsir teks
("pemahaman" subjektif) ketimbang orientasi teks itu sendiri
("penjelasan" objektif), seperti yang akan kita kupas dalam masalah
metodologi buku (h.115-116). Penulis kemudian melompat pada kesimpulan berikut:
"Karena itu keterbukaan Al-Qur'an harus dimaknai secara komprehensif.
Artinya tidak semata-mata untuk keselamatan agama itu sendiri (salvation of
religion) akan tetapi yang terpenting juga adalah keselamatan manusia
(salvation of human) dan seluruh makhluk yang berada di muka bumi."
(h.92). Barangkali penulis melupakan substansi ayat 153 surah al-An'am yang
menyatakan dengan tegas bahwa: "Dan bahwa (yang kami perintahkan ini)
adalah jalan-Ku yang lurus, Maka ikutilah Dia, dan janganlah kamu mengikuti
jalan-jalan (yang lain), Karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari
jalan-Nya. yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa."
Dalam kurun waktu yang lama, menurut penulis, "Al-Qur'an sebagai alat
justifikasi politik lebih dominan daripada sebagai cahaya. Akibatnya, Al-Qur'an
digunakan untuk memvonis sesat pihak lain yang berbeda. Padahal dalam Al-Qur'an
disebutkan bahwa tuhan lebih tahu tentang siapa dari hamba-Nya yang sesat dan
dia pula yang akan menentukan siapa yang sesat di hari akhir nanti." (h.
93). Sepertinya ia sedang mengutip ayat 125 surah al-Nahl dalam hal ini. Namun
jika diperhatikan ayat itu lengkap dari awalnya, maka ada perintah berdakwah ke
jalan Allah dengan cara hikmah, maw'izah dan dialog argumentatif. Logika
perintah dakwah tentu meniscayakan adanya dua pihak: pertama, yang telah
tertunjuki dan yakin berada di posisi yang benar, dan pihak kedua sebagai objek
dakwah adalah orang yang belum tertunjuki dan diyakini berada dalam kesesatan
sehingga pihak pertama merasa sangat perlu untuk mendakwahi pihak kedua. Lagi
pula vonis sesat (fa qad dlalla dlalalan ba'idan) telah dinyatakan Al-Qur'an
dengan sangat lugas kepada orang musyrik (an-Nisa': 116), orang yang
mengingkari (kufur) kepada rukun iman (an-Nisa': 136), orang kafir yang
menghalang-halangi orang lain mendapatkan hidayah (an-Nisa": 168), dan
orang-orang yang zalim (Nuh: 24). Jadi bagi saya, vonis sesat itu sah-sah saja
jika berlandaskan bukti-bukti yang qath'i, karena Al-Qur'an pun telah memberi
contoh "penyesatan" suatu kelompok. Namun yang harus digarisbawahi
dan tak perlu terjadi adalah anarkisme di lapangan dan amuk massa. Karena hal
ini akan mencoreng citra Islam sebagai rahmat untuk semesta alam.
Metodologi yang Ditawarkan
Tampak sekali, penulis sangat mengidolakan metode Hermeneutika yang diimpor
dari tradisi interpretasi Bible dan filsafat Barat. Sepertinya ia cenderung
kepada pemikiran sosok hermeneut, Paul Riccoeur (1913-2005 M). Mengutip
pandangan Riccoeur, bahwa dalam penafsiran akan muncul dua titik yang berbeda,
yaitu penjelasan (explanation) dan pemahaman (understanding). Sebagai
"penjelasan", tafsir tidak mempunyai kapasitas untuk mengembangkan
makna yang sesuai dengan subjek penafsir. Makna harus mengikuti objek, teks
Al-Qur'an. Apa yang dikatakan Al-Qur'an harus diterima mutlak. Tafsir tak boleh
melampaui isi dari teks (h.115). Sebagai "pemahaman", tafsir memiliki
kesempatan luas untuk menghasilkan sebuah tafsiran yang mensinergikan kehendak
penafsir dan kehendak pengarang dan teks (h.116). Tafsir sebagai penjelasan
melahirkan arus "teosentrisme", sedangkan tafsir sebagai pemahaman
melahirkan arus "antroposentrisme". Yaitu tafsir yang memberi
perhatian terhadap posisi manusia sebagai penafsir yang tujuan utama penafsirannya
adalah menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan (h.116). Bahkan dalam
penilaian penulis, salah satu penyebab sebagian besar umat Islam bertindak
intoleran adalah karena terjebak dalam tafsir yang lebih berdimensi taklid
daripada berdimensi hermeneutis (h.18).
Sayang, ia lalu menekankan bahwa tak ada pilihan lain kecuali 'membongkar
tradisi tafsir', yang semula hanya berkutat pada penjelasan menjadi pemahaman
atas Al-Qur'an (h.124). Sehingga pupus lah harapan pembaca yang ingin melihat
karya itu sebagai elaborasi pembacaan atas tafsir klasik yang masih menerapkan
metode tafsir sebagai penjelasan.
Perlu ditekankan di sini bahwa perspektif hermeneutika filosofis atas pemahaman
eksistensial secara umum dan pemahaman teks secara khusus merupakan terobosan
mutakhir dan tidak pernah dikenal sebelumnya. Sebaliknya, jika kita telusuri
dan dalami filsafat pemahaman teks-teks Islam yang telah dikonstruk dan
diaplikasikan selama berabad-abad oleh ulama muslim, kita dapatkan kesimpulan
yang kontraproduktif dengan perspektif filsafat "pemahaman" Barat.
Karena filsafat pemahaman dalam Hermeneutika meniscayakan hal-hal berikut: 1)
Kemungkinan mengajukan bacaan-bacaan yang berbeda dan tak terbatas bagi teks
agama. 2)Historisitas pemahaman dan keajegan perubahan pemahaman itu sendiri.
3) Legalitas terlibatnya subjektifitas penafsir dalam proses penafsiran teks.
4) Pengaruh pra-konsepsi, kecenderungan, dan harapan penafsir teks kepada
pemahaman agama.
Sebelum kita menyinggung tantangan pemikiran yang disebabkan hermeneutika
filsafat kontemporer, ada baiknya kita menyimak secara global metode umum dalam
pemahaman teks yang selama ini kita kenal:
1- Tugas mufassir adalah menangkap makna teks. Makna yang final itu adalah
suatu hal yang objektif dan ril, mufasir berusaha untuk sampai dan menangkap
makna itu. 2- Untuk mencapai tujuan di atas, sewajarnya penafsir teks menempuh
alur metode yang umum dalam menangkap teks. Hal ini diformulasikan dalam bentuk
bahasa teks sebagai jembatan memahami tujuan hakiki atau makna yang diinginkan.
3- Kondisi penafsir yang diidealkan adalah sampai kepada pemahaman yang valid
dan meyakinkan terhadap kehendak pengarang teks. Meskipun ada bentuk
"nash" yang berindikasi pemahaman objektif yang sesuai dengan fakta,
namun "zhahir" teks tetap tidak tercerabut dari objektifitas dan
norma asli pemahaman. 4- Jarak waktu yang memisahkan masa penafsir dengan masa
saat teks diproduksi tidak akan menghalangi penafsir untuk menangkap makna
hakiki yang dimaksud oleh teks agama. 5- Perhatian penafsir harus terpusat
kepada kesadaran memahami misi teks. Dalam teori tafsir semacam ini, tidak
diperkenankan munculnya pra-konsepsi dan pra-asumsi penafsir, karena hal itu
akan mengotori upaya penafsiran, sehingga dikategorikan sebagai tafsir dengan
pandangan akal semata yang dicela agama (bil ra'yi al-madzmum). 6- Teori tafsir
klasik sangat menentang teori relativitas tafsir. Metode tafsir klasik menolak
setiap upaya penafsiran yang merelatifkan setiap pemahaman sebagai upaya
subjektif penafsir. Dengan kata lain, ketika terjadi perbedaan penafsiran
sebuah teks, maka otoritas pemahaman tetap berada pada aspek teks dan pengarang
teks itu sendiri, alias kewenangan mufasir terabaikan sama sekali.
Metode umum yang dipraktekkan para pakar tafsir Al-Qur'an, sebagaimana terangkum
dalam 6 poin di atas, memang cocok dengan karakter dasariah teks Al-Qur'an yang
menjadi objek penafsiran dari masa ke masa. Karena, seperti diyakini kaum
muslim, Al-Qur'an merupakan kitab 'hidayah', petunjuk bagi manusia dalam
membedakan yang haq dengan yang batil. Dalam berbagai versinya, Al-Qur'an
sendiri menegaskan beberapa sifat dan ciri yang melekat dalam dirinya, di
antaranya bersifat transformatif. Yaitu membawa misi perubahan untuk
mengeluarkan manusia (Ikhraju al-Nas) dari kegelapan-kegelapan, Zhulumât (di
bidang akidah, hukum, politik, ekonomi, sosial budaya dll) kepada sebuah
cahaya, Nûr petunjuk ilahi untuk menciptakan kebahagiaan dan kesentosaan hidup
manusia, dunia-akhirat. Dari prinsip yang diyakini kaum muslim inilah
usaha-usaha manusia muslim dikerahkan untuk menggali format-format petunjuk
yang dijanjikan bakal mendatangkan kebahagiaan bagi manusia. Nah dalam upaya
penggalian prinsip dan nilai-nilai Qur'ani yang berdimensi keilahian dan
kemanusiaan itulah penafsiran dihasilkan.
Namun demikian, teori tafsir itu mulai digugat dan ditantang oleh aliran-aliran
hermeneutika filsafat pada abad ke 20. Problem isu hermeneutika filsafat
kontemporer telah melontarkan berbagai diktum yang mengkritisi dan berambisi
menjadi alternatif pintas bagi kebuntuan dan kebekuan penafsiran teks agama
yang rigid, kaku dan kehilangan elan vital "maqashid syariah".
Filsafat pemahaman lalu mengajukan tandingan terhadap teori tafsir:
1- Pemahaman teks adalah hasil perpaduan antara cakrawala pemahaman penafsir dengan
cakrawala makna dalam teks. 2- Upaya pemahaman teks adalah proses tiada henti;
seperti halnya pluralitas pemahaman teks tidak mengenal batas-batas. Dengan
demikian setiap terjadi perubahan dalam diri penafsir berikut cakrawala
pikirannya, maka dimungkinkan lahirnya pemahaman baru. 3- Pra-konsepsi penafsir
adalah syarat tercapainya suatu pemahaman. Tak mungkin ada makna objektif tanpa
melibatkan subjektifitas penafsir. 4- Tidak ada pemahaman yang tetap dan tidak
berubah. 5- Tujuan penafsiran teks pada saat ini, bukan untuk menangkap maksud
pengarang teks. Sebab, penafsir saat ini menghadapi sebuah teks, dan bukannya
pengarang teks. Teks sebagai entitas yang mandiri, berdialog dengan penafsir
sehingga melahirkan suatu pemahaman, dengan demikian setiap penafsir tidak
diharuskan mencari dan menangkap maksud dan tujuan yang ingin diungkapkan si
pengarang teks. 6- Tidak ada patokan dan standarisasi dalam menilai salah atau
benar suatu penafsiran. Karena sejatinya tidak ada tafsir yang benar dan
tunggal. Hermeneutika filsafat mengakui otoritas penafsir dan mengabaikan
tujuan pengarang sama sekali. 7- Hermeneutika filsafat sesuai dengan teori
relatifitas penafsiran, dan membuka ruang yang sangat luas bagi
penafsiran-penafsiran yang radikal sekalipun.
Dari ke-7 metode umum "pemahaman" teks dalam filsafat hermeneutika
yang telah dipaparkan, terkuak dengan jelas ketidakcocokan teori filsafat
pemahaman ini dengan sifat dan karakter dasariah Al-Qur'an seperti yang telah
dijelaskan. Memang diakui luas oleh para pakar Al-Qur'an bahwa teks-teks kitab
suci mengandung pelbagai kemungkinan makna dan pemahaman sesuai kecenderungan
bidang ilmu yang dikuasai setiap mufasir. Dalam sejarah tafsir, telah lahir
berbagai produk karya ulama yang mencoba menguraikan kandungan Al-Qur'an dari
berbagai perspektif dan corak penafsiran. Ada jenis tafsir 'bil riwayah' dan
juga 'bil dirayah'. Metode penulisan tafsir bil dirayah ini juga telah
melahirkan berbagai corak, di antaranya tafsir analitik yang memiliki orientasi
bermacam-macam sesuai dengan keahlian dan kepakaran masing-masing penafsir.
Kesemua corak dan orientasi penafsiran itu tetap saja berporos pada spirit yang
sama bahwa Al-Qur'an dapat ditinjau dari pelbagai spektrum kemanusiaan dengan
penekanan khusus sebagai kitab hidayah, petunjuk untuk kebaikan manusia, yang
datang dari Zat Yang Maha Transenden (Tanzil min Rabbi al-'Alamin).
Fatwa Haram Pluralisme Agama
Di dalam buku itu, penulis menyinggung fatwa yang dikeluarkan MUI dalam Munas
tahun 2005. Dengan menyitir berbagai pandangan tokoh pluralisme seperti Diana
Eck, Peter Berger dan Isiah Berlin, katanya, fatwa MUI itu sangat simplistis
dan mudah dipatahkan (h.210). Padahal pengertian pluralisme yang dimaksud oleh
MUI adalah pengertian ilmiah dan filosofis yang berkembang biak dalam kajian
filsafat agama. Tentu saja pluralisme dalam pengertian sosio-politis sebagai
suatu sistem yang mengakui koeksistensi keragaman kelompok, baik yang bercorak
ras, suku, aliran maupun partai dengan tetap menjunjung tinggi aspek-aspek
perbedaan yang sangat karakteristik di antara kelompok-kelompok tersebut , bisa
diterima baik dalam sudut pandang keagamaan Islam. Namun yang diharamkan MUI
tentu saja bukan dalam pengertian di atas, namun paham yang khas dalam dunia
keilmuan filosofis yang telah dirintis oleh John Hick dan para pengikutnya di
dunia Islam seperti Sayyed H. Nasr, Rene Guenon, dan Fritchof Schuon dll.
Istilah pluralisme agama sering digunakan dalam studi-studi dan wacana
sosio-ilmiah pada era modern ini, dan istilah itu telah menemukan definisinya
sendiri yang berbeda dengan yang dimiliki semula (dictionary definition). John
Hick misalnya menegaskan bahwa: "... pluralisme agama adalah suatu gagasan
bahwa agama-agama besar dunia merupakan persepsi dan konsepsi yang berbeda
tentang, dan secara bertepatan merupakan respon yang beragam terhadap, Yang
Real atau Yang Maha Agung dari dalam pranata kultural manusia yang bervariasi;
dan bahwa transformasi wujud manusia dari pemusatan diri menuju pemusatan
hakikat terjadi secara nyata dalam setiap masing-masing pranata kultural
manusia tersebut - - dan terjadi, sejauh yang dapat diamati, sampai pada batas
yang sama." "... terminologi (pluralisme agama) ini mengacu pada
sebuah teori khusus tentang hubungan antara berbagai agama dengann klaim-klaim
(kebenaran)nya yang berbeda tentang dan respons yang bervariasi terhadap
realitas ketuhanan yang sama dan ultimate dan misterius."
Sangat jelas, rumusan Hick tentang pluralisme agama diatas berangkat dari
pendekatan substantif yang mengungkung agama dalam ruang privat yang sempit,
dan memandang agama lebih sebagai konsep hubungan manusia dengan kekuatan
sakral yang transendental dan bersifat metafisik ketimbang sebagai suatu sistem
sosial. Dengan demikian telah terjadi proses reduksi pengertian agama yang
sangat dahsyat. Tapi ternyata pemahaman reduksionistik inilah justru yang
semakin populer dan bahkan diterima di kalangan para ahli dari berbagai
disiplin ilmu dan pemikiran yang berbeda, sehingga menjadi sebuah fenomena baru
dalam dunia pemikiran. Yang unik dalam fenomena baru ini adalah bahwa pemikiran
"persamaan agama" (religous equality) ini, tidak saja dalam memandang
eksistensi ril agama-agama (equality of existence) namun juga dalam memandang
aspek esensi dan ajarannya (syariat), sehingga dengan demikian diharapkan akan
tercipta suatu kehidupan bersama antar agama yang harmonis, penuh toleransi,
saling menghargai atau apa yang diimpikan para pluralis sebagai
"Pluralisme Agama". Rumusan seperti inilah, sejauh yang saya fahami,
yang difatwakan haram untuk diikuti oleh umat Islam menurut pandangan para
ulama di MUI.
Visi Al-Qur'an tentang Pluralitas dan
Toleransi
Akhirnya, sebagai etape akhir pembacaan saya atas pembacaan (Qira'ah 'ala
Qira'ah) sdr. Zuhairi, disini perlu ditegaskan bahwa mengakui eksistensi praktis
agama-agama lain yang beragam dan saling berseberangan ini, dalam pandangan
Islam, tidak secara otomatis mengakui legalitas dan kebenarannya seperti yang
diajarkan oleh kaum pluralis. Bagi saya sikap yang tepat adalah menerima
kehendak Allah SWT dalam menciptakan agama-agama ini sebagai berbeda-beda dan
beragam. Karena Allah swt Yang Maha Bijak telah menghendaki untuk menciptakan
jagad raya dan segala isinya ini dengan bentuk dan kondisi yang demikian
sistematis dan seimbang; ada baik dan buruk, haq dan bathil, cahaya dan gelap,
bahagia dan sengsara. Tapi kehendak Ilahiah ini ada dua macam, merujuk kepada
istilah yang dipopulerkan Syekh Muhammad 'Abduh (1849-1903 M), yaitu: 1)
kehendak ontologis (iradah kawniyyah) dan 2) kehendak legalistis (iradah syar'iyyah).
Di satu sisi, Allah SWT menciptakan sesuatu dan memang menghendakinya secara
ontologis dan legalistis, seperti: kebaikan, kebenaran, iman, malaikat, dan
segala sesuatu yang Dia cintai dan ridhai. Tapi di sisi lain, Allah SWT
menciptakan sesuatu dan menghendakinya secara ontologis tapi tidak secara
legalistis, seperti: kejahatan, kebatilan, setan, kekufuran dan segala sesuatu
yang Dia benci.
Yusuf al-Qaradhawi menyebutkan empat faktor yang melahirkan sikap toleransi
yang unik selalu mendominasi perilaku umat Islam terhadap non-muslim: i)
keyakinan terhadap kemuliaan manusia, apapun agamanya, kebangsaan dan
kesukuannya. Kemuliaan ini mengimplikasikan hak untuk dihormati. ii) kayakinan
bahwa perbedaan manusia dalam agama dan keyakinan merupakan realitas
(ontologis) yang dikehendaki Allah SWT yang telah memberi mereka kebebasan
untuk memilih iman atau kufur. Oleh karenanya tidak dibenarkan memaksa mereka
untuk Islam. iii) seorang muslim tidak dituntut untuk mengadili kekafiran orang
kafir atau menghukum kesesatan orang sesat. Allah SWT lah yang akan mengadili
mereka di hari perhitungan kelak. (al-Hajj: 69, al-Syura: 15) Dengan demikian
hati seorang muslim menjadi tenang, tidak perlu terjadi konflik batin antara
kewajiban berbuat baik dan adil kepada mereka (al-Mumtahanah: 8), dan dalam
waktu yang sama harus berpegang teguh pada kebenaran keyakinannya sendiri. iv)
keyakinan bahwa Allah SWT memerintahkan untuk berbuat Adil dan mengajak kepada
budi pekerti mulia meskipun kepada orang musyrik (at-Tawbah: 6). Begitu juga
Allah SWT mencela perbuatan zalim meskipun terhadap orang kafir (al-Maidah: 8).
Demikianlah visi toleransi dalam perspektif Al-Qur'an. Wallahu A'lam bil
Shawab.
(Fahmi Saliim)