') //-->
Hermenetika (hermeneutics) atau metode penafsiran yang diterapkan pada teks kitab suci akhir-akhir ini sedang banyak digandrungi intelektual muda Islam di Indonesia, khususnya yang melabelkan diri sebagai kaum liberal. Tentu saja, seperti biasanya, kegandrungan itu adalah hasil impor apa yang telah lebih dahulu berkembang di luar, di kalangan intelektual berbasis Barat atau dunia Islam sendiri. Para orientalis, termasuk mereka yang memiliki niat kuat untuk melemahkan Islam, adalah yang paling menggemari pendekatan ini. Kendati demikian, pemikir-pemikir Islam sendiri telah pula mengadopsi dan mengembangkannya dengan berbagai ragam keekstriman perspektifnya.
Pangkal tolak hermenetika kaum liberal adalah bahwa al-Quran perlu direinterpretasi secara kritis. Patut digarisbawahi bahwa spektrum para pengusung hermentika ini cukup beragam, dari yang lebih moderat sampai ke yang ekstrim. Satu dua intelektual muda liberal dengan sangat berani memastikan adanya kesalahan atau kekurangan dalam kitab suci itu. Beberapa dengan tegas mempercayai al-Quran dengan sederet reservasi. Adapun hadist, sebagai lapisan kedua dalam doktrin Islam, sudah pasti diperlakukan dengan lebih keras.
Hermenetika tentu saja bukan pendekatan baru. Metode analisis yang namanya dinisbatkan pada hermeneus, dewa penafsiran Yunani, telah dipakai sejak lama oleh intelektual Kristen. Pada mulanya justeru dimaksudkan untuk melindungi Bibel dari berbagai kelemahan epistemologis. Namun kemudian, tanpa terbendung kritik hermenetika berhasil memporak-porandakan kitab suci umat Kristiani tersebut.
Benar bahwa ilmu pengetahuan sedang berkiblat ke Barat beberapa abad terakhir ini. Apa yang telah ada di sana, dipandang harus ada di sini. Barangkali karena beritikad fair belaka, intelektual muda Islam yang terbentur dengan kesulitan mencerna kemajuan modernitas, secara filosofis merasa perlu untuk memperlakukan Quran dan Hadist seperti terhadap kitab-kitab suci sebelum Islam. Keberhasilan para orientalis, secara langsung atau by proxy, dalam menanamkan semangat mengutak-atik Islam telah merasuk jauh. Untuk Indonesia, selain dari alumni studi teologi di Amerika atau Kanada, semangat ini justeru sedang merebak di kalangan intelektual muda penganjur liberalisme yang kental basis pesantrennya. Sebuah paradoks?
Dapat dimaklumi bahwa semangat hermenetika intelektual muda tersebut tidak harus dipandang secara diabolik, sebagai suatu agenda terselubung untuk menghancurkan Islam. Semangat yang menggebu-gebu tidak selalu berasal dari para penghujat, tetapi ada juga yang didasari oleh sikap otokritik yang rasional. Yang pasti, titik tolak antara pengusung hermenetika al-Quran dan penentangnya memang berlainan. Dilemanya adalah karena urusan mengutak-atik kitab suci akan selalu menimbulkan perbenturan antagonistik, yakni antara para pemeluk yang seutuhnya menempatkan kitab suci pada tingkat yang suci dan final di satu pihak; dan di pihak lainnya, para pengkritik atau pengusung hermentika yang mengenyampingkan dulu urusan kesucian untuk menguji klaim kefinalan yang ada.
Dari perspektif berprasangka baik, kedua pihak dapat sama-sama bermaksud membuktikan kesucian sebuah kitab suci, namun dengan cara-cara yang berlainan. Kedua pihak dapat mencapai titik akhir yang sama, yakni mengakui keagungan Tuhan melalui kodifikasi firman-firmannya, baik secara teks maupun konteks. Bedanya hanyalah bahwa pengusung hermenetika menemukannya belakangan setelah melalui proses yang kritis, sedangkan penentang hermenetika dari sejak awal telah berada pada tahap tersebut. Pada hakikatnya, untuk berada pada satu tujuan dapat dilakukan dengan berjalan memutar dan kembali ke titik awal, atau sama sekali tidak melakukannya karena sudah haqqul yakin akan kembali ke titik yang sama.
Yang pasti berlainan antara pemeluk yang pro-hermenetika dan penentangnya adalah bagaimana meresapi rasa keberagamaan itu sendiri. Dalam menegaskan kesucian Quran penentang hermenetika bukanlah sekedar pemeluk yang jumud dan tidak rasional. Mereka adalah pemeluk yang berpijak pada keyakinan bahwa Quran sepenuhnya firman Allah yang otentik dan itu telah lulus melampaui semua hal, baik segi metode dokumentasi, konteks historisitas dan sebagainya. Al-Quran seperti bentuk apa yang dimiliki sekarang adalah final, teruji dan tidak berubah sedikit pun.
Para pengusung hermenetika sebaliknya siap mempertaruhkan perasaan keberagamaannya dengan bertumpu pada rasionalitas sebagai manusia yang berintelektual, bahkan dengan sikap mental yang rela meninggalkan Islam apabila temuan ijtihad akalnya menjadi buntu. Kemampuan rasionalitas tersebut ditempatkan demikian tingginya, bahkan sebagai takaran final, seolah-olah perangkat rasional yang dimiliki umat manusia saat ini telah merupakan sebuah puncak yang sempurna. Lebih parah lagi, ketika retorika rasionalitas intelektual liberal ini masih dalam tahap proses, pandangan-pandangan mereka tersebut telah dibentangkan kepada umat yang sangat beragam tingkat pemahaman keIslamannya, sehingga lebih berhasil menimbulkan kegundahan dan keresahan umat daripada memperteguhnya.
Lantas bermunculanlah berbagai pemahaman yang kontroversial itu. Dengan menyebut sebagian saja, mulai dari halalnya kawin campur agama, klaim pluralisme bahwa semua agama itu sama saja, berpindah agama tidak murtad, hukum waris harus diubah, shalat jamaah berimamkan perempuan dan shaf bercampur baur sah-sah saja, shalat dalam bahasa lokal, perlunya dearabisasi dalam historitas Islam, hukum-hukum syariat dianggap tidak relevan, bahkan sudah keluar pula fatwa oleh anak-anak IAIN Semarang yang mendorong kawin sesama jenis. Kalau soal sekularisme yang menempatkan urusan agama sebagai masalah pribadi belaka, sudah pasti dinomorsatukan.
Dengan pengamatan selintas kilas saja akan segera terlihat bahwa yang dikampanyekan kalangan liberal lewat hermenetikanya tidak lebih daripada upaya memaksakan masuk dan diterimanya nilai-nilai Barat dalam masyarakat Islam. Hermentika pun, yang tidak lebih dari sekedar ilmu tafsir gaya modern, adalah alat penyortir dan pemenggal agar dasar-dasar Islami yang mendukung nilai-nilai itu diperoleh. Yang nyata terlihat sebetulnya adalah adanya posisi bertolak yang telah ditetapkan sejak awal, bahwa nilai-nilai Barat ini dengan satu dan lain cara harus dapat diakomodir dalam Islam. Oleh karena itu, isu-isu keliberalan ini sudah pasti akan semakin panjang, sesuai dengan bagaimana pergolakan nilai di Barat itu sendiri. Barangkali tidak akan lama ditunggu keluarnya fatwa kaum liberal bahwa hidup berpasangan tanpa ikatan pernikahan boleh-boleh saja dalam Islam atau para kyai dan ulama sah-sah saja memilih pasangan homoseksual karena hal tersebut telah mulai diakomodir dalam tradisi gereja.
Sebagai misal dalam konteks kaum liberal di tanah air, secara sadar atau tidak Ulil Abshar Abdalla dengan gamblang mengatakan bahwa apabila Islam tidak mampu menjawab tantangan modernitas, maka ia akan menjadi agama fosil yang harus dicampakkan. Benar bahwa Ulil mungkin berkeyakinan penuh bahwa Islam tidak akan mengecewakannya dalam menjawab perubahan zaman. Dengan peralatan rasio, segala sesuatu dalam konteks keislaman diuji, sebuah pandangan yang menggarisbawahi keangkuhan individual yang meletakkan akal manusia (rasio) dan perubahan zaman (modernitas) di atas kesucian Islam, termasuk kesucian al-Quran. Yang paling mengkhawatirkan adalah bahwa versi Islam yang diyakininya merupakan bentuk yang dapat dipotong dan dibengkokkan sekehendak hati, sebuah revisi sekenanya tak lebih sebagai a matter of conveinience.
Barangkali semua dapat sepakat bahwa hermenetika sebagai perangkat analisis penafsiran dapat bermanfaat dalam memperkuat pemahaman umat terhadap kitab suci maupun hadits. Namun hermenetika demikian ini baru bernilai apabila ia digunakan tidak lebih sebagai alat dengan didasarkan pada prasangka baik terhadap rencana-rencana Tuhan atas kita dengan menggarisbawahi keterbatasan rasionalitas sebagai makhluk. Di luar itu, terlebih-lebih dengan sikap pongah yang berburuk sangka kepada Allah, adalah batil dan harus ditolak.
Umat Islam pada dasarnya sangat meyakini kesucian al-Quran dan sangat maklum akan datangnya kalangan-kalangan yang mencabarnya dalam setiap zaman. Allah sendiri telah menjamin bahwa al-Quran akan selalu terlindungi dan para pencabar akan gagal. Namun sebagai pemeluk, ketika kitab suci tersebut diperlakukan tidak lebih sebagai sebuah karya yang pantas diragukan dan dibongkar pasang, baik oleh kalangan di luar Islam, apalagi dari dalam umat Islam sendiri, maka ada perasaan keberagamaan yang terluka di situ. Sesungguhnya hanya Allah lah yang Maha Mengetahui.
(Catatan: Penulisan hermeneutics kalau dalam bahasa Indonesia semestinya adalah hermenetika, bukan hermeneutika. Saya pakai yang ini).