') //-->
Belum lama ini terjadi pencekalan Prof. Nasr Hamid Abu Zayd ketika akan tampil di seminar internasional yang diadakan oleh Universitas Islam Malang, Jawa Timur. Abu Zayd terkenal dengan metode hermeneutik, yaitu penafsiran Al-Quran dengan pendekatan linguistik, yang biasa digunakan untuk menginterpretasi Injil dengan menganalisis kondisi pengarangnya. Saya tidak akan menyoroti peristiwa pencekalan itu secara sosiologis-politis. Sebab yang menarik bagi saya justru pernyataannya dalam wawancara singkat dengan majalah Tempo menjelang kepulangannya ke Belanda setelah dicekal tampil di Malang. Dengan sangat mengejutkan, sang Profesor dalam wawancaranya itu tidak dapat membedakan konsep takwil dalam tradisi keilmuan Islam dengan konsep hermeneutika sebagaimana berkembang di Barat. (rubrik Agama, Majalah Tempo edisi. 42/XXXVI/10 - 16 Desember 2007)
Nasr Hamid dalam wawancaranya mengatakan bahwa: "Hermeneutik dalam bahasa Arab adalah takwil. Takwil adalah metode yang sangat-sangat Islami untuk memahami Al-Qur'an. Tidak peduli Anda Sunni, Syiah, atau apa, Anda perlu menginterpretasi Al-Qur'an. Hermeneutik adalah teori untuk menginterpretasi Al-Qur'an." Pada poin ini terjadi konfusi dan kerancuan terjemahan terminologi. Hermeneutika, mengingat alur pemikirannya di Barat, lebih tepatnya diterjemahkan sebagai: falsafat al-fahm (filsafat pemahaman teks) atau fahmu al-fahmi (memahami pemahaman teks), bukan takwil atau falsafat al-takwil. (lihat 'Adil Musthafa: Fahmu al-Fahmi Madkhal ila al-Hermeneuthiqa, Ro'yah for Publishing & Distribution, 2007). Sama halnya dengan kekeliruan menerjemahkan sekularisme dengan al-'Almaniyah/al-'Ilmaniyah (yang berkonotasi ilmiah, berlandaskan ilmu dan sains), yang seharusnya lebih tepat dipadankan dengan istilah "al-Huna - al-Aniyah" (kedisinian dan kekinian).
Beda Takwil dengan Hermeneutika
Sebenarnya tidaklah sulit bagi kita, apalagi sekelas Prof. Abu Zayd, untuk
membedakan konsep takwil dalam tradisi keilmuan Islam dengan konsep
Hermeneutika di Barat.
Pertama, dari sisi etimologis saja padanan dua kata itu tidak dapat dikatakan
sama. Karena orientasi takwil itu adalah penetapan makna, sementara orientasi
hermeneutika itu adalah pemahaman yang berubah-ubah dan nisbi mengikuti
pergerakan manusianya. Kekeliruan penerjemahan istilah peradaban lain ke dalam
kamus peradaban kita, disadari atau tidak, akan dapat merusak konsep istilah
keilmuan kita yang telah mapan.
Kedua, dari segi latar belakang historisnya. Sebagaimana maklum, metode
hermeneutika lahir dalam ruang lingkup yang khas dalam tradisi Barat-Kristen.
Perkembangan khusus dan luasnya opini tentang sifat dasar Perjanjian Baru,
dinilai memberi sumbangan besar dalam mengentalkan problem hermeneutis dan
usaha berkelanjutan dalam menanganinya. Hal ini berbeda dengan Alquran. Tidak
ada alternatif pemahaman selain bahwa Alquran, seluruh redaksi dan maksudnya
langsung dari Allah swt. Nabi Muhammad saw menjadi sekadar "Juru bicara
ada" (loudspeaker of being). Status otoritatif yang diduduki Alquran tidak
pernah dipertanyakan lagi, yang disebabkan dua hal:
1. Alquran sendiri dengan tegas menekankan teori ini dan tidak menyediakan
ruang untuk spekulasi. Nabi tidak pernah gagal menarik garis yang tegas antara
kata-katanya dan kata-kata dari Alquran.
2. Kaum Muslim tanpa ragu meyakini bahwa di tangan mereka, huruf, kata, kalimat
dan sistematika Alquran tetap terjaga seperti keadaannya di masa Nabi.
Dua faktor ini, dan ditambah fakta bahwa Alquran mengandung prinsip-prinsip
penafsiran dalam dirinya sendiri, mempersulit tematisasi problem hermeneutis
dalam Islam, suatu hal yang di Barat dipaksakan kemunculannya oleh kebutuhan
mendesak. Belum ada seorang pemikir Muslim pun yang pernah mengajukan problem
ini sebagai tema utama pemikirannya.
Metode Takwil di Tengah Tarikan
Humanisme Sekuler-Liberal
Wacana kaum sekuler-liberal dengan semangat mempropagandakan takwil sebagai
brand untuk membaca Al-Qur'an di era modern ini. Oleh karena istilah takwil ini
adalah istilah yang sering digunakan Al-Qur'an (paling tidak 17 kali) dibanding
istilah tafsir (hanya 1 kali), maka dengan mudah dimaknai untuk kepentingan dan
target ideologis yang hampir dipraktekkan oleh seluruh sekte-sekte sempalan
dalam setiap agama, tak terkecuali Islam, dalam membaca dan menafsir ulang
teks-teks kitab suci.
Takwil dalam pandangan kelompok liberal dan sekte sempalan lainnya adalah batu
karang kokoh yang akan memecah kesatuan sistem pemikiran Islam yang telah
dikonstruksi dengan teliti dan seksama oleh para ulama muslim selama kurun
perjalanan Islam sebagai agama sekaligus peradaban. Dengan mengendarai
tumpangan takwil inilah, mereka berupaya untuk melakukan kontribusi
penghancuran dan perusakan Islam dari dalam secara mengerikan. Melalui
mekanisme takwil itu, teks suci Islam dijebol pemaknaannya dengan cakrawala
ijtihad "modern" dengan mengajukan tawaran superioritas realitas
hidup manusia yang terus berubah, terutama ke arah keburukan, untuk dibenturkan
dengan ajaran ideal normatif dari teks suci, dengan harapan teks dapat
dikuasai, dikendalikan dan diarahkan maknanya oleh realitas manusia yang jauh
dari idealisasi teks Al-Qur'an dan sunnah nabi.
Modus pemikiran semacam inilah yang telah menyebabkan mereka secara membabi
buta membela terminologi takwil dalam konteks penafsiran kitab suci. Takwil
yang telah sekian lama ditinggalkan dan dikubur oleh otoritas agama kemudian
diangkat dan dihidupkan lagi, serta diposisikan sebagai pihak 'terzalimi' dan
'tertindas' di tengah pertarungan ideologi dan otoritas keagamaan. Meminjam
bahasa Nasr Hamid, bahwa selama perjalanan panjang tradisi keilmuan Islam, para
ulama Islam melakukan praktik belah bambu; "mengangkat nilai tafsir"
dan "menginjak, meremehkan nilai takwil", menerima yang pertama dan kemudian
menolak yang kedua dengan stigmatisasi kekufuran dan kesesatan bagi ilmuan yang
mempraktekkannya dalam upaya penafsiran kitab suci. (Abu Zayd: Mafhumu al-Nash;
Dirasah fi 'Ulumil Qur'an)
Konsep orisinalitas takwil dalam tradisi keilmuan Islam yang telah dikenal baik
dan dipraktekan dengan apik selama berabad-abad ini pun telah direduksi dan
ditelanjangi dari berbagai batasan dan aturan yang melingkupinya oleh sang
kampiun ahli sastra (dan belakangan dipuja pengikutnya sebagai pakar
Al-Qur'an!). Konsep itu tidak lagi dimengerti sebagai pengalihan suatu lafal
kepada makna lain yang dimungkinkan berdasarkan dalil kuat (secara bahasa, adat
dan syar'i) , yang tanpanya ia tidak boleh sembarangan dialih makna. Sehingga
menjadi semacam proses dekonstruksi yang menghancurkan sistem keterkaitan
antara teks dan pemiliknya, dan antara makna dan segala kemungkinan arti yang
diakomodasi oleh dalil yang kuat itu tadi.
Bagi Nasr Hamid dan semisalnya konsep tafsir dalam 'Ulumul Quran klasik tidak
cukup untuk memuaskan kepentingan ideologisnya yang lebih berpihak kepada
realitas manusia dan hukum-hukum yang disadur dari deklarasi HAM ala Barat.
Konsep tafsir yang sudah matang atau "gosong" (meminjam istilah Prof.
Amin Abdullah) itu hanya bertujuan untuk menyingkap kehendak pemilik teks dan makna
yang dikandungnya. Tentu saja hal ini tidak memuaskan kepentingan ideologis
kaum liberal, yang berupaya lebih dari itu untuk mengosongkan teks dari makna
dan maksud pemiliknya untuk diisi dengan konsepsi-konsepsi ideologis berlatar
HAM dan modernitas ala Barat; tentu dengan mengusung terminologi takwil yang
dipraktekkan sewenang-wenang tanpa batasan (hudud) dan aturan (dlawabith).
Pola Kerja Metode Takwil yang Ideal
Penulis setuju dengan pendapat bahwa bahasa teks sebagai sumber tak pernah
kering bagi keragaman pembacaan (at-Ta'addud al-Ta'wīlī, meminjam istilah Abu
Zayd). Tetapi patut dicurigai pula bahwa bahasa memiliki sifat untuk mengelak
(murāwaghah) dan liar jika tidak dibatasi oleh pagar-pagar metodologis. Dengan
demikian amat penting untuk membedakan dua tingkatan dalam menentukan sistem
penandaan suatu makna (dalālah). Pertama, tingkatan dalālah yang bersifat
sistemik dan kolektif, melalui prosedur-prosedur penciptaan makna secara
leksikal (perkamusan), gramatikal (nahw), filologi (fiqh lughah, balaghah dll),
dan Kedua, tingkatan dalālah yang non sistemik-individual yang memberikan ruang
luas untuk proses qiro'ah dan ta'wil. Seorang penafsir dituntut untuk menjaga
'equillibrium' pola pikir individual non sistemik dengan pola kerja sistemik
yang kolektif. Tidak boleh pola pikir individual seorang penafsir menodai
memori kolektif bagi suatu takwil yang justru dapat menyelamatkannya dari
kesesatan. Sebaliknya pola kerja sistemik yang kolektif tetap bisa menyisakan
ruang bagi imajinasi individu sang penafsir sesuai dengan tambahan pengetahuan
dan kekayaan pengalaman hidupnya.
Pola kerja kolektif dalam proses takwil misalnya terumuskan dengan baik oleh
otoritas keilmuan Islam dengan istilah 'dalil' (didukung argumentasi kuat) dan
'la'b' (permainan kata-kata yang terlepas dari dalil maupun ta'wil). "Man
yadzhab ila al-ta'wil yaftaqir ila al-dalil", siapa yang mau mentakwil
maka ia memerlukan indikator kuat. Rumusan mereka bahwa "Nash memiliki dua
macam dalālah yaitu penandaan lafaz atas maknanya dan penandaan makna yang
telah ditunjuk oleh nash atas makna yang lain" ('Abdul Qāhir al-Jurjāni:
Dalā'il al-I'jāz) dan bahwa "Lā mathmaha fi al-wushul ila al-bāthin qabla
ihkām al-zhāhir", tidak ada harapan sampai kepada makna batin teks sebelum
meraih makna zahirnya (Al-Zarkāsyi: Al-Burhān fi 'Ulum Al-Qur'ān),
mengindikasikan kuatnya memori kesadaran kolektif disamping memperhatikan aspek
'ma'tsur' (sabda dan perilaku Rasul, sebagai penafsir utama) dalam proses
pentakwilan. Oleh karena itu dibutuhkan nilai pertanggungjawaban atau
akuntabilitas dalam setiap upaya takwil sebagai akibat perimbangan nilai
individual dan kolektif.
Sehingga akhirnya, penulis sepakat dengan apa yang dilontarkan Musthafa Nashif
(Mas'uliyyat al-Ta'wil: 2004) bahwa kemunculan takwil dalam lingkungan tradisi
Islam terkait dengan upaya menjaga keseimbangan dan merupakan wujud dari
pemberian kesempatan bagi kehidupan yang berubah dengan cepat dan pengakuan
terhadap kerangka dasar dan otoritas sekaligus.(Fahmi salim, MA)