') //-->
íÇ ÃóíøõåóÇ ÇáøóÐíäó ÂãóäõæÇ ÃóØíÚõæÇ Çááøóåó æó ÃóØíÚõæÇ ÇáÑøóÓõæáó æó Ãõæáöí ÇáúÃóãúÑö ãöäúßõãú ÝóÅöäú ÊóäÇÒóÚúÊõãú Ýíþ ÔóíúþÁò ÝóÑõÏøõæåõ Åöáóì Çááøóåö æó ÇáÑøóÓõæáö Åöäú ßõäúÊõãú ÊõÄúãöäõæäó ÈöÇááøóåö æó Çáúíóæúãö ÇáúÂÎöÑö Ðáößó ÎóíúÑñ æó ÃóÍúÓóäõ ÊóÃúæíáÇð
Hai orang- orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan Ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul, jika kamu benar- benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Poros pembahasan
Ayat di atas yang juga dikenal dengan ayat Itha’ah adalah salah satu ayat yang secara tegas menjelaskan kepemimpinan Amirul mukminin Ali a.s. Kata kunci dalam ayat ini adalah Ulil Amr di mana pendapat yang beragam telah mengemuka dan nantinya akan kita bahas.
Penjelasan dan Tafsir
Siapakah Ulil Amr itu?
íÇ ÃóíøõåóÇ ÇáøóÐíäó ÂãóäõæÇ ÃóØíÚõæÇ Çááøóåó æó ÃóØíÚõæÇ ÇáÑøóÓõæáó æó Ãõæáöí ÇáúÃóãúÑö ãöäúßõãú Allah SWT dalam bagian ini memberitahukan kepada seluruh umat manusia di mana saja dan kapan saja hingga hari kiamat tentang kewajiban menaati tiga orang; Pertama, taat kepada Allah kemudian taat kepada Rasul-Nya dan terakhir taat kepada Ulil Amr.
ÝóÅöäú ÊóäÇÒóÚúÊõãú Ýíþ ÔóíúþÁò ÝóÑõÏøõæåõ Åöáóì Çááøóåö æó ÇáÑøóÓõæáö Åöäú ßõäúÊõãú ÊõÄúãöäõæäó ÈöÇááøóåö æó Çáúíóæúãö ÇáúÂÎöÑö Pada bagian kedua dari ayat ini telah dijelaskan rujukan kaum muslimin saat berselisih dan bersengketa, seakan-akan ayat ini sedang mencetuskan sebuah sistem peradilan independen; Allah berfirman, Jika kalian berselisih tentang sesuatu maka mintalah kepada Allah dan Rasul-Nya untuk menghukumi dan jangan kalian bawa masalah itu kepada pihak asing (musuh Islam).
Dengan memperhatikan adanya keimanan terhadap Allah dan hari kiamat, maka dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa mereka yang tidak berlandaskan sumber-sumber Islam dalam menghakimi sesuatu maka pada hakikatnya mereka bukanlah orang-orang yang mukmin terhadap Allah dan hari kebangkitan tersebut.
Poin lain yang patut dipahami adalah pada awal ayat dan pada jajaran orang-orang yang wajib ditaati kita temukan nama Ulil amr; akan tetapi pada bagian kedua ayat itu di mana orang-orang yang harus dirujuk dalam pertikaian tidak disebutkan lagi nama Ulil Amr lagi. Poin ini merupakan salah satu soal penting dalam rangka memahami ayat ini yang insya Allah akan dibahas pada kesempatan mendatang.
Ðáößó ÎóíúÑñ æó ÃóÍúÓóäõ ÊóÃúæíáÇð Kalimat ini pada dasarnya merupakan sebab dari dua bagian ayat sebelumnya. Kenapa orang-orang beriman harus menaati Allah, Rasul dan Ulil Amr?
Kenapa dalam perselisihan tidak boleh memilih wasit dan hakim selain Allah dan Rasul-Nya? Karena tindakan semacam ini lebih baik bagi mereka dan sebaik-baik akibat.
Batasan ketaatan kepada Ulil amr
Ini merupakan hal penting dari ayat ini. Jika misdaq dari Ulil Amr ini jelas maka hal ini juga akan jelas pula. Karena para mufasir dalam hal siapakah Ulil Amr ini berbeda pendapat dan tak kurang 7 pendapat muncul ke permukaan.
Soal: sebelum membahas pendapat para mufasir tentang arti dari ulil amr, terlebih dahulu lazim bagi kita menjawab sebuah soal yang jawabannya itu akan banyak membantu lebih jernih dalam menyelami makna ulil amr. Apakah ketaatan terhadap Ulil Amr memiliki syarat-syarat atau seperti ketaatan terhadap Allah dan Rasul-Nya; tanpa syarat dan batas apapun? Dengan ungkapan lain apakah ketaatan terhadap Ulil Amr terbatas pada satu masa, tempat dan lain-lain, atau ketaatan kepada wajib di segala situasi dan kondisi di mana dan kapanpun juga?
Jawab: Dhahir ayat mengatakan ketaatan kepada mereka mutlak dan tidak dibatasi oleh syarat-syarat apapun. Artinya dalam ayat ini, ketaatan terhadap mereka tidak disyaratkan mereka tidak melakukan kesalahan. Dalam ungkapan ketiga sebagaimana ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya secara mutlak wajib, maka kepada merekapun juga demikian. Oleh karena itu Ulil Amr harus terjaga dari kesalahan karena kewajiban taat kepada seseorang tanpa syarat tidak akan mungkin mengarah kepada seseorang yang berbuat kesalahan pastilah orang itu maksum dan terjaga darinya.
Bahkan para Marja’ taklid yang wajib ditaati oleh para muqallidnya jika melakukan kesalahan dalam sebuah perkara, maka dia sudah tidak dapat diikuti lagi. Sebagai sebuah contoh jika seorang marja’ saat malam ketiga puluh bulan Ramadhan tidak melihat hilal bulan Syawal dan memberitahukan bahwa puasa harus tetap dilakukan, sedang sebagain mukallidnya telah melihat hilal tersebut dengan mata kepala sendiri, maka dalam hal ini mereka tidak bisa bertaklid kepada marja’nya tadi, karena berkeyakinan marja’nya salah mengambil sebuah keputusan dalam masalah itu.
Oleh karena itu, ketaatan mutlak dan tanpa kenapa dan mengapa hanya dapat dilakukan kepada seseorang yang maksum dan tidak boleh dilakukan kepada selain mereka. Dan mengingat Allah SWT menyebut ketaatan kepada Ulil Amr itu mutlak maka kita dapat menarik sebuah kesimpulan bahwa mereka adalah pribadi-pribadi yang maksum.
Pendapat-pendapat Tentang Ulil Amr
Berkenaan dengan tafsir Ulil Amr terdapat pendapat yang beragam, berikut ini penjelasan pendapat-pendapat tersebut;
1. Ulil Amr adalah para pemimpin masyarakat sosial. Barang siapa dengan segala cara menjadi pemimpin masyarakat sosial dan pemimpin urusan-urusan kaum muslimin maka dia adalah Ulil Amr, dan tanpa kaid dan syarat wajib ditaati. Walaupun kepemimpinan itu diraih melalui kekuatan, tanpa restu dari masyarakat dan orang yang fasik. Oleh karena itu, bangsa Mongolia yang begitu ganas jika mereka dapat menundukkan masyarakat Islam maka mereka wajib ditaati.
Ada beberapa ulam Ahli sunah yang mendukung pendapat ini.
Akan tetapi apakah pendapat semacam ini dapat diterima oleh akal sehat?
Tidakkah Allah SWT mengutus para Nabi-Nya untuk menebar keadilan? Lalu bagaimana mungkin seorang yang zalim menjadi pengganti Rasul dan memberangus keadilan?
Sesuai hukum Islam yang manakah tafsir Ulil Amr semacam ini muncul? Apakah pencetus pendapat ini berpikiran kalau seorang pemimpin yang memegang tampuk kepemimpinan dengan kudeta, lalu menginjak seluruh nilai-nilai Islam, kemungkaran disebarkan dan makruf disingkirkan harus dianggap sebagai pengganti Rasul dan ketaatan kepadanya wajib dilakukan tanpa syarat?
Sayang sekali segelintir ulama mengiyakan pertayaan di atas dan pemimpin fasik seperti Mu’awiyah dan anaknya disebut sebagai Ulil amr.
2. Sebagian dari para mufasir berkeyakinan bahwa pendapat pertama tidak dapat dibenarkan dan mereka meyakini Ulil Amr maksum; terbebas dari kesalahan dan dosa. Mengingat manusia terkadang melakukan kesalahan dan tidak maksum oleh karena itu maksud dari Ulil Amr adalah seluruh masyarakat Islam, dan tanpa diragukan lagi Umat Islam maksum dan tidak mungkin seluruh umat Islam bersalah. Kendati setiap individunya bersalah. Oleh karena itu sebagaimana ketaatan kepada Allah Swt dan rasul-Nya sebuah kewajiban maka mengikuti umat adalah kewajiban juga!
Akan tetapi kita dapat melihat jelas kesalahan teori ini; karena bagaimana mungkin pendapat seluruh umat Islam bisa didapatkan? Apakah untuk mendapatkan pendapat seluruh umat, tidak perlu menanyakan kepada semua individu yang ada? Jika dikatakan setiap individu tidak perlu mengeluarkan pendapat akan tetapi wakil-wakil mereka yang bermufakat. Kita akan tetap bertanya apakah mungkin pendapat para wakil-wakil muslimin itu dikumpulkan?
Biasanya, pengambilan pendapat dari para wakil-wakil umat Islam sekalipun merupakan hal sulit terwujud; kemudian jika pendapat keseluruhan itu tidak perlu yang penting tolok ukurnya adalah mayoritas, maka saat mayoritas wakil-wakil umat menyetujui sebuah perkara maka pelaksanaannya adalah hal yang lazim karena mereka nama lain dari Ulil amr. Apakah hakikat Ulil amr ini adalah mayoritas wakil-wakil umat Islam?
3. Sebagian malah lebih jauh lagi melangkah, karena pengaruh dunia barat dan budaya semu mereka, kelompok ini meyakini demokrasi yang sedang dipraktekkan oleh Barat termasuk salah satu misdaq dari Ulil amr.
Apakah penafsiran dan pendapat semacam ini bukan termasuk tafsir bi ra’y? Apakah ini bukan praduga yang mengatasnamakan Al-Quran?! Apakah pemahaman semacam ini bukan termasuk menginjak-injak keagungan Al-Quran?
Terlepas dari itu semua, apa keistimewaan demokrasi barat itu? Mereka sendiri menerima bahwa metode ini bukan yang ideal, mereka menjalankannya karena keterpaksaan;karena jika ini tidak dilaksanakan mereka akan tertimpa kesulitan yang lebih fatal lagi, akhirnya untuk mencari hal yang lebih ringan efeknya (Aqallu Dhararain) mereka memilih demokrasi. Karena bagaimana mungkin seorang yang berakal normal mau membenarkan bahwa jika dari 100 persen wakil rakyat hanya 50 persennya yang mengikuti sebuah pemilihan, lalu mereka memilih seseorang calon pemimpin dengan 26 persen suara dan yang calon lainnya 24 persen suara, maka calon yang memiliki 26 persen suara terpilih menjadi pemimpin! Maka ini sebuah keadilan!?
Demokrasi, tumbuh dan berkembang di Amerika, dan untungnya akibat pemilu terakhir yang terjadi di negeri Paman Syam ini dan terbongkarnya kecurangan / kebobrokan Pemilu terakhir di sana membuat semua kalangan membuka mata dan sadar akan esensi sebenarnya dari sebuah demokrasi. Mereka yang hidup dengan sistem komputerisasi namun masih bersengketa tentang kelebihan suara sekitar 10 hingga 15 suara. Sehingga manakah yang lebih baik menghitung dengan tangan atau dengan komputer!!!
Hal semacam ini merupakan bukti konkret ketidakpercayaan para pemuja demokrasi dengan sistem yang sedang dijalankan! Dunia sudah waktunya menertawakan sistem ini! Para muhaqiq hendaknya lebih gigih lagi meneliti peristiwa ini supaya esensi para pengklaim demokrasi ini jelas di depan semua orang khususnya bagi mereka menjadikannya Ka’bah obsesi mereka.
Al-hasil, menafsirkan Ulil amr dengan demokrasi barat yang ada sekarang adalah penafsiran yang bertentangan dengan dhahir ayat yang mulia ini, bahkan itu sebuah kezaliman besar terhadap al-Quran.
4. Pendapat mayoritas ulama Syi’ah adalah Ulil amr harus maksum; terjaga dari semua dosa, tidak mungkin dia lebih dari satu orang dalam setiap masa. Pada masa pertama Islam, dia adalah sosok suci Rasulullah Saw, lalu Amirul mukminin a.s. dan dilanjutkan oleh para imam setelahnya yang berjumlah 11 orang.
Penjelasan lebih lanjut: a. Sebagaimana telah dijelaskan Ulil amr sesuai ayat mulia ini (ketaatan terhadap Allah, Rasul-Nya dan Ulil amr mutlak dan tanpa batasan) harus maksum, sehingga kita dapat mengikutinya secara mutlak. Artinya Ulil amr haruslah seorang yang sudah memiliki asuransi bebas dari dosa dan kesalahan. Dengan ungkapan lain kemaksuman adalah kekuatan spiritual dan ketakwaan yang tinggi di mana karenanya sosok maksum tidak berbuat dosa dan kesalahan tidak akan muncul dari mereka, walaupun mereka kemampuan dan pilihan untuk melakukannya. Namun karena ketakwaan maha tinggi yang mereka sandang mereka tidak melakukannya.
Dengan ungkapan ketiga, takwa memiliki tingkatan yang beragam. Pada satu tingkat takwa menghindar dari dosa-dosa besar, di mana saat itu dilakukan langsung bertaubat; pada tingkatan berikutnya, selain menjauhi dosa besar dia juga menjauhi dosa-dosa kecil dan saat dilakukan dia cepat-cepat bertaubat. Tingkatan ketiga yang lebih tinggi dari dua tingkat di atas adalah selain dosa besar dan kecil dia juga meninggalkan hal-hal yang makruh. Tingkatan takwa begitu seterusnya tambah tinggi hingga sampai pada tingkatan tertingginya di mana manusia terjaga dari dosa dan kesalahan. Oleh karena itu, kemaksuman bukanlah seperti yang dibayangkan oleh sebagian orang yang menganggapnya semacam jabr (determinasi), melainkan sebuah tingkatan tertinggi dari sebuah ketakwaan.
b. Ulil amr yang maksum tidak mungkin seluruh umat Islam, para ulama, wakil-wakil umat atau mayoritas dari mereka. Dia harus seorang person dan sosok tertentu.
c. Mengingat kemaksuman sebuah kekuatan spiritual dan tingkatan tertinggi ketakwaan yang tidak bisa diketahui tolok ukurnya oleh manusia biasa, maka yang berhak mengenalkan seorang maksum adalah Allah SWT, Rasulullah atau sosok-sosok maksum lain yang sudah terbukti kemaksumannya.
Konklusinya: pertama, Ulil amr harus maksum; Kedua, harus seorang yang ditentukan; ketiga, penentuan maksum dan Ulil amr harus dari sisi Allah SWT.
Penafsiran Ayat Dalam Kaca Mata Riwayat
Terdapat riwayat yang begitu banyak yang telah mengenalkan kepada kita sosok maksum yang dimaksud oleh ayat Athi’ullah ..., yang paling penting darinya adalah riwayat Tsaqalain.
Sesuai riwayat ini, Rasulullah Saw pada detik-detik akhir kehidupan beliau bersabda:” Sesungguhnya aku telah meninggalkan di antara kalian dua hal yang penuh berharga, di mana jika kalian berpegang teguh kepada keduanya setelah Kepergianku, niscaya kalian tidak akan tersesat... (kedua hal itu) kitabullah Ahlul baitku.”[1]
Arti hadis ini demikian, Al-Quran terjaga dari kesalahan dan kekeliruan, sehingga jika orang berjalan di atas panduannya dia akan terjaga dari kesalahan, dengan demikian Ahlul bait nabi juga harus maksum, sehingga berpegang teguh dengannya juga membuat manusia terjauhkan dari kesalahan. Karena tidak mungkin Ahlul bait tidak maksum sedang orang yang mengikutinya terjaga dari kesalahan.
Oleh karena itu, sesuai riwayat ini, Ahlul bait suci dari dosa dan sebagaimana kita sebutkan dalam penjelasan ayat Athi’ullah, Ulil amr harus orang yang sudah terpilih dari sisi Allah SWT, maka dia haruslah Ahlul bait nabi satu demi satu.
Urgensitas Hadis Tsaqalain
Hadis Tsaqalain termasuk hadis yang sangat penting dalam permasalahan wilayah dan imamah. Hadis ini dari segi dilalah begitu kuat dan jelas dan dari segi sanad, riwayat ini termasuk riwayat mutawatir yang disebut dalam sumber-sumber Ahli sunah dan Syi’ah. Dan dari kumpulan sumber-sumber tersebut dapat dipahami bahwa Rasulullah Saw menegaskan hal tersebut tidak sekali saja. Riwayat di atas dapat dijumpai di dalam kitab-kitab rujukan utama Syi’ah; At-Tahdzib, Al-Istibshar, Al-Kafi, Man La Yahduruhul Faqih. Sedang dalam Ahli sunah dapat dirujuk dalam kitab-kitab standar mereka yaitu Sahih Sittah. Perlu ditekankan juga hadis ini bukan berada di enam kitab hadis itu saja, akan tetapi ada kitab-kitab lain yang menyebut hadis tersebut, seperti Hakim pemilik kitab Mustadrakush Shahihain di mana dia mengumpulkan hadis-hadis sahih yang tidak dikumpulkan oleh Bukhari dan Muslim dalam sahih mereka.
Hakim mengatakan:” Semua riwayat yang dimuat dalam Mustadrak ini sesuai dengan tolok ukur Bukhari dan Muslim.”[2]
Riwayat Tsaqalain disebut dalam kitab Sahih Muslim,[3] Sunan Tirmizi dan Mustadrak Hakim,[4] berikut ini riwayat tersebut menurut hikayat Sahih Muslim. Yazid bin Hayyan berkata: bersama Hashin bin Sabrah dan Umar bin Muslim aku pergimenemui seorang sahabat nabi yang ternama, Zaid bin Aram. Hashin berkata kepada Zaid, Wahi Zaid bin Arqam kamu telah mendapatkan kebanggaan yang besar, kamu bersama nabi, mendengar hadis-hadisnya, berperang di sisinya, shalat di belakangnya, sungguh ini adalah kebanggaan yang maha besar! Sekarang tolong sampaikan kepada kami hadis yang pernah engkau dengar langsung dari beliau.
Zaid bin Arqam berkata: usia sudah lanjut, sehingga hadis-hadis yang aku hafal sebelumnya telah banyak yang hilang dari ingatan. Kemudian dia menukil hadis berikut ini kepada kita: Pada suatu hari di Gadir Khum Rasulullah Saw berpidato di hadapan kita, setelah memanjatkan puja puji ke hadirat Allah dan nasihat-nasihat beliau bersabda: Wahai manusia, sesungguhnya aku adalah manusia, sebentar lagi utusan Allah (malaikat pencabut nyawa) akan datang dan aku akan memenuhi panggilannya. (oleh karena itu) aku akan tinggalkan di antara kalian dua hal yang berharga; yang pertama kitabullah, di dalamnya hidayah dan cahaya, maka berpeganganlah kepada kitab itu. Kemudian beliau menganjurkan kita untuk cinta dan memegang kitab suci itu. Kemudian beliau melanjutkan sabdanya, dan keluargaku[5].
Selain tiga kitab di atas, riwayat itu juga dapat dilihat dalam kitab Khashaish Nasai.[6] Yang menarik adalah Ibnu Hajar, salah seorang fanatik di mana dia menulis sebuah kitab anti Syi’ah yang berjudul, Ash-Shawaiqul Muhriqah. Banyak poin yang dia tuduhkan terhadap Syi’ah, namun dia tetap menukil riwayat tersebut.[7]
Yang lebih menarik lagi, Ibnu Taimiyah, pendiri sekte sesat Wahabiyah dalam kitabnya Minhajus Sunah, juga tak ketinggalan menukil hadis Tsaqalian.[8]
Konklusinya, hadis Tsaqalian merupakan hadis mutawatir yang bukan hanya dinukil oleh kitab-kitab Syi’ah, akan tetapi disebut juga dalam kitab-kitab Ahli sunah.[9]
Ini menunjukkan bahwa riwayat di atas memiliki urgensitas khusus. Oleh karenanya Imam Khomeini r.a. memulai wasiat bersejarah beliau dengan hadis mulia ini.
Dengan hadis Tsaqalain akan terbukti bahwa Ulil amr adalah para imam di mana setiap masa setiap dari mereka wajib ditaati tanpa syarat dan kaid.
Selain hadis Tsaqalain terdapat riwayat-riwayat khusus lain yang menjelaskan kondisi ayat mulia ini.
Berikut ini dua contoh darinya:
Orang tadi bertanya kembali tolong jelaskan lebih lanjut siapa yang anda maksud dengan Hujjah ilahi itu? Imam menjawab: Hujjah ilahi adalah orang-orang yang di dalam ayat 59 surah Annisa’ disebut sebagai Ulul Amr. Orang itu untuk ketiga kalinya bertanya siapa itu Ulul Amr tolong lebih Gamblang lagi? Imam dalam menjawab pertanyaan ini bersabda: Dia adalah sosok yang sering kali Rasulullah Saw mengucapkannya: Sesungguhnya aku tinggalkan dua hal di antara kalian di mana kalian tidak akan tersesat selamanya jika berpegang teguh kepada keduanya kitab allah dan Ahlul Baitku. Dalam riwayat ini begitu jelas hubungan antara hadits Tsaqalain dengan Ulul Amr.
Hasilnya adalah ayat mulia ini tanpa melihat riwayat-riwayat telah menunjukkan bahwa Ulul Amr adalah orang-orang yang sudah ditentukan dan terjaga dari dosa-dosa yang telah dilantik oleh allah SWT sedang dengan merujuk kepada riwayat-riwayat dapat dipahami bahwa sosok yang dimaksud itu adalah para imam dia belas yang telah diyakini oleh kaum Syiah, mereka adalah Ali dan kesebelas cucuknya.
Pertanyaan-pertanyaan dan Jawaban-Jawaban penting
Terdapat berbagai pertanyaan seputar ayat mulia ini, di mana yang terpenting darinya adalah tiga pertanyaan berikut:
Pertanyaan pertama, Jika Ali a.s. misdaq dari Ulil amr seperti yang diyakini oleh Syi’ah, lalu kenapa ketaatan terhadapnya di zaman Nabi Saw tidak wajib, padahal ayat ini mengatakan bahwa ketaatan kepadanya sama seperti ketaatan terhadap Allah dan Rasul-Nya? Dengan kata lain di zaman Nabi, Ali bukanlah pemimpin (pemberi titah) yang harus diikuti oleh seluruh muslimin; oleh karena itu, penafsiran di atas tidak sesuai dengan ketaatan yang tersirat dalam ayat.
Jawab, pertanyaan ini dapat dijawab dengan dua bentuk:
Sedangkan Ulil amr tidak memiliki tugas peletakan hukum, akan tetapi dia bertugas menjaga kelestarian hukum itu dan penerapannya. Jika kita mau umpamakan dengan sistem pemerintahan sekarang, Rasul adalah badan Legislatif sedang ulil amr adalah badan Eksekutif.
Dengan penjelasan tadi, kita mengetahui bahwa badan Legislatif di zaman Rasul adalah beliau sendiri, sebagaimana badan pelaksananya juga beliau; oleh karena itu pada zaman hidupnya beliau Saw beliau merangkap dua gelar tersebut; Rasul juga Ulil amr, sebagaimana Nabi Ibrahim a.s. di mana selain rasul dan nabi beliau juga sampai kepada posisi Imamah dan pelaksanaan hukum sekaligus. Dengan demikian posisi risalah adalah posisi legislatif sedang imamah adalah posisi eksekutif dan pada zaman rasul kedua-duanya dipegang oleh beliau. Sedangkan pada masa setelah beliau, adalah sosok maksum yang telah dilantik oleh Allah dan dipublikasikan oleh rasul dan itu adalah ulil amr, sosok itu tidak mungkin siapa-siapa selain sosok Ali a.s. dan setelahnya para Imam lain yang datang silih berganti, karena selain Ali a.s. dan para anak cucunya tidak ada orang lain yang mengklaim dirinya telah mendapat mandat untuk itu.
Hasilnya, klaiman bahwa ketaatan terhadap ulil amr harus aktual tidak merusak penetapan Ali a.s. dan para imam yang lain sebagai ulil amr, sebagaimana hal ini juga dipahami dari berbagai riwayat.
Perang Tabuk
Perang Tabuk merupakan perang terakhir yang dialami oleh Rasulullah Saw sepanjang risalah dan detik-detik kehidupan beliau. Peperangan ini terjadi di kawasan paling utara Hijaz, perbatasan antara Hijaz dengan Romawi timur.
Saat Islam berkembang dan asas-asas pemerintahan semakin kokoh di kota Madinah serta gemanya mulai terdengar di seluruh penjuru dunia. Para tetangga negeri Islam ini, termasuk Romawi timur yang tak lain (Palestina dan Suriah) merasa terancam dan untuk membendung pengaruh Islam ke negeri mereka, maka diambillah keputusan untuk menyerang kaum muslimin.[11] Untuk merealisasikannya bangsa Romawi mengirim sekitar 40 ribu bala tentara bersenjata lengkap menuju Hijaz.
Kabar ini tercium oleh kaum muslimin dan Rasulullah Saw. Rasulullah Saw menganjurkan kaum muslimin untuk menyambut para musuh dan tidak menunggunya mereka menyerang ke dalam kota Madinah. Ini adalah taktik perang yang sangat baik; karena kondisi defensif sangat berbahaya, maka penyerangan dilawan dengan serangan. Pertahanan terbaik adalah menyerang.
Kebetulan masa peperangan ini adalah masa yang tidak baik; karena dari satu sisi cuaca panas Hijaz dan cadangan makanan kaum muslimin sudah habis dan sumber makanan belum dapat dimanfaatkan, sedang dari sisi ketiga jarak antara Madinah dan Tabuk begitu jauh yang harus ditempuh dengan kaki oleh kaum muslimin, mengingat tumpangan yang terbatas. Mereka harus antrei untuk menaiki tunggangan yang ada. Al-hasil, titah untuk bergerak keluar dan terpaksa cuci gudang-gudang makanan dilakukan, hasilnya sedikit kurma yang sudah kering atau bahkan sudah rusak dapat dikumpulkan. Pasukan berjumlah 30 ribu orang dengan dikomandoi oleh Rasulullah Saw sendiri bergerak menuju Tabuk. Rasa lapar dan dahaga telah menyiksa bala tentara muslimin. Kaki-kaki para pasukan sudah banyak yang bengkak karena perjalanan yang sangat panjang, namun dengan berbagai problem itu perjalanan terus dilanjutkan. Pasukan Islam menemui berbagai kesulitan baik di waktu pergi atau pulangnya sehingga pasukan ini disebut dengan pasukan kesulitan (Jaisyul ‘asrah).
Di saat pasukan Romawi mendengar pasukan muslimin yang berjumlah 30 ribu orang sedang bergerak dari Madinah, menempuh perjalanan yang begitu panjang dan dengan perbekalan yang sangat minim namun dengan rasa cinta dan iman menyambut para musuhnya, akhirnya mereka mengambil keputusan untuk mundur dan kembali. Kaum muslimin saat tiba di Tabuk mendengar bersyukur kepada Allah atas mundurnya bala tentara musuh.
Rasulullah Saw dalam kesempatan ini bermusyawarah dengan kaum muslimin, dan memilih apakah memilih kembali ke kota Madinah atau mengejar musuh dan berperang di Syamat. Hasil musyawarah adalah pendapat pertama yaitu kembali ke Madinah; mengingat Islam masih seusia jagung dan belum memiliki banyak pengalaman dalam menguasai bangsa lain sehingga mengambil tindakan semacam ini adalah hal yang sangat berbahaya.
Dengan memperhatikan penjelasan di atas, dari berbagai sudut khususnya panjangnya waktu absen Rasulullah dan kaum muslimin dan jauhnya mereka dari Madinah, perang Tabuk berbeda dari peperangan yang lain. Dan kemungkinan munculnya kudeta kaum munafik dan konspirasi dari pihak luar sangat terbuka lebar. Oleh karena itu, pada waktu absennya Nabi harus ada seseorang yang sangat kuat yang menggantikan beliau di pusat pemerintahan dan menghalau berbagai konspirasi yang dapat terjadi. Orang itu bukan siapa-siapa lagi selain Ali a.s.
Dengan demikian Imam Ali a.s. pada zaman Rasulpun –kendati sebentar- pernah menjadi Ulil amr dan ketaatan kepadanya adalah hal yang wajib dilakukan.
Pertanyaan kedua, Ulil amr berbentuk jamak lalu bagaimana mungkin Ali a.s. yang seorang diri menjadi misdaq dari kata ini?
Jawab: Memang benar Ulil amr jamak, dan maksudnya bukan Ali a.s. saja, akan tetapi mencakup para imam 12 Syi’ah. Sebagaimana hadis Tsaqalain disebut Ahlu baiti, jamak akan tetapi bukan khusus untuk beliau tapi mencakup seluruh para imam yang lain.
Bukti ungkapan ini adalah sebuah riwayat yang terdapat dalam kitab Yanabi’ul mawaadah tadi. Dalam riwayat tadi Ulil amr telah ditafsirkan dengan hadis Tsaqalain dan telah kita katakan maksud dari ‘Itrati Ahli baiti dalam hadis Tsaqalain adalah para Imam maksum a.s.
Hasilnya, maksud dari Ulil amr adalah para imam 12 Syi’ah di mana di masanya masing dia adalah Ulil amr yang ketaatan kepada mereka mutlak tanpa kaid dan syarat apapun bagi semua.
Pertanyaan ketiga: Kenapa Ulil amr tidak diulang di akhir ayat sehingga menjadi rujukan pula dalam mengatasi segala pertikaian di antara muslimin?
Jawab: Pertama, sanggahan ini tidak hanya mengarah kepada Syi’ah akan tetapi kepada Ahli sunah juga, karena mereka juga menghadapi pertanyaan ini, entah siapa misdaq dari Ulil amr yang mereka lontarkan.
Kedua, kenapa tidak diulang kata Ulil amr dalam bagian terakhir ayat itu disebabkan perbedaan antara Rasul dan kata ini yang telah dijelaskan di atas. Rasul penjelas hukum, sedang Ulil amr pelaksananya. Dan jelas jika seseorang memiliki keraguan tentang hukum-hukum maka dia harus pergi ke peletak hukum bukan kepada pelaksananya.
Atas dasar ini, pengulangan kata ini bukan sebuah kekurangan dalam ayat mulia ini, akan tetapi sebuah bentuk kefasihan dan balagah lain dari Al-Quran karim.
Poin yang perlu diperhatikan adalah seluruh Imam adalah pelaksana undang-undang Islam sedang apa yang mereka jelaskan tentang hukum-hukum tersebut mereka ambil dan pelajari dari kakek mereka Rasulullah Saw.
Dalam Jami’ Hadis Syi’ah, jilid 1, halaman 183, terdapat beberapa riwayat yang menjelaskan bahwa seluruh penjelasan hukum yang dilakukan oleh para Imam diterima dari Rasulullah Saw.
Hasilnya, Ulil amr bukan berarti peletak hukum akan tetapi berarti pelaksananya, sehingga dalam bagian terakhir ayat yang berkaitan dengan penyelesaian polemik tidak diulang.
Pesan-pesan Ayat
Al-Quran dalam hal ini memiliki ungkapan yang sangat indah, yang terdapat dalam ayat ke-65 surah Nisa’:” Sumpah demi tuhanmu, mereka bukan golongan mukmin sampai mereka memintamu sebagai hakim atas apa yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam dirinya atas keputusan yang engkau ambil dan mereka pasrah apa adanya.”
Ayat ini merupakan tolok ukur yang baik dan detail untuk mengetahui sejauh mana kepasrahan seseorang; sesuai ayat ini, seorang muslim hakiki setelah hukum dikeluarkan oleh Rasul kendati merugikannya, bukannya sakit hati akan tetapi dengan jiwa pasrah menerima dan mengamalkannya. Artinya dalam ucapan dan tindakan serta dalam lubuk hati dia pasrah terhadap ketentuan Allah SWT. Jika tidak demikian dan dia merasa keberatan menerima sebuah hukum maka dia bukanlah seorang muslim sejati.
Imam Ali a.s. dalam sebuah hadis yang begitu indah bersabda:” Aku akan menafsirkan Islam sebuah tafsir yang belum dilakukan oleh sebelumku: Islam adalah penyerahan mutlak, penyerahan adalah keyakinan (karena selagi manusia belum meyakini sesuatu di tidak akan pasrah seutuhnya) dan yakin terlahir dari pembenaran, dan tasdik merupakan sebuah ikrar, dan ikrar adalah rasa tanggung jawab dan rasa tanggung jawab itu adalah amal perbuatan, (karena rasa tanggung jawab tanpa amal tak memiliki nilai sama sekali).”[12]
Sesuai riwayat yang sangat indah ini, Islam dimulai dari lubuk hati manusia, tumbuh di sana dan melalui beberapa tahapan dia berubah menjadi sebuah amal perbuatan; artinya Islam tanpa keyakinan di dalam hati, dan hanya mementingkan amal saja itu tidak memiliki nilai, sebagaimana keyakinan saja tanpa dibarengi oleh amal perbuatan juga tidak cukup. Oleh karena itu Islam sekumpulan keyakinan dan amal perbuatan yang kedua-duanya merupakan hal yang lazim.
Orang Syam yang sudah dibakar oleh amarah dan kebencian itu setelah melihat perlakuan imam yang begitu menyejukkan tertegun dan membasuh mukanya dengan air dingin. Dia berbalik 180 derajat, (mungkin dalam hatinya dia berkata: Ya Allah apakah yang aku saksikan ini mimpi atau sebuah kenyataan?, orang yag sudah dihujani cercaan dan makian sanggup berbuat hal seperti itu?)
Orang Syam itu berkata: wahai putra Rasulullah Saw, sesaat aku melihatmu (karena propaganda di Syam) sebagai orang yang paling jelek di muka bumi. Akan tetapi sekarang anda adalah orang yang paling baik di atas muka bumi.[13]
[1] Mizanul hikmah, bab 161, hadis ke-917.
[2] Ibnu Abil Hadid berkata:” Aku bertanya kepada ustadku, Abdul Wahab, Apakah seluruh hadis-hadis yang sahih sudah dicatat dalam sahih sittah atau ada riwayat-riwayat sahih yang belum dicatat dalam keenam kitab tersebut? Dia menjawab, terdapat riwayat yang begitu banyak yang tidak tercatat dalam kitab-kitab itu. Aku bertanya kembali: Hadis yang berbunyi La saifa illa dzul fiqar la fata illa Ali, (yang turun berkenaan dengan Imam Ali a.s.) sahih atau tidak? Dia menjawab, Hadis itu sahih dan masih banyak lagi riwayat-riwayat sahih lain yang tidak dimuat di dalam sahih sittah.
[3] Sunan Tirmizi, jilid 5, halaman 662, hadis 3786. (Sesuai penukilan kitab Feyam Quran, jilid 9, halaman 64).
[4] Mustadrak Sahihain, jilid pertama, halaman 93 dan jilid 3, halaman 109.
[5] Shahih muslim, jilid 4, halaman 1873.
[6] Khashaish Nasai, halaman 20. (Sesuai penukilan Feyam Quran, jilid 9, halaman 66).
[7] Ash-Shawaiqul Muhriqah, halaman 226, cetakan Abdul Lathif,Mesir. (Sesuai penukilan Feyam Quran, jilid 9, halaman 67).
[8] Minhajus Sunah, jilid 4, halaman 104. (Sesuai penukilan Feyam Quran, jilid 9, halaman 69).
[9] Untuk lebih lanjut dapat dilihat dalam kitab Feyam Quran, jilid 9, halaman 62 dan selanjutnya, juga kitab Ihqaqul hak, jilid 4, halaman 438 dan selanjutnya.
[10] Sebab ditinggalkannya Sayyidina Ali di Madinah dikarenakan medan peperangan Tabuk jauh terletak dari kota Madinah dan terdapat kemungkinan saat nabi tidak ada para munafik yang berada di dalam kota Madinah melakukan konspirasi dan bekerja sama dengan munafik di luar kota untuk mengacau suasana. Oleh karena itu rasul Saw melantik seorang yang terkuat di antara para sahabat yang dapat menduduki posisi beliau.
[11] Negeri Hijaz sebelum Islam tidak pernah dilirik oleh bangsa-bangsa besar; karena baik dari sudut rakyatnya tidak pernah dianggap sebuah ancaman atau dari segi budaya atau sumber-sumber ekonomi penting tidak terwujud di sana. Saat itu masyarakat Hijaz dikenal dengan bangsa setengah liar yang selalu sibuk berperang dan sengketa, sehingga tidak akan muncul ancaman bagi tetangga mereka. Oleh karena itu, andai Hijaz dihibahkan kepada bangsa-bangsa besar saat itu, mereka pasti akan menolak. Dengan sebab inilah para imperialis tidak pernah bermimpi untuk menjajah tanah ini. Akan tetapi setelah munculnya Islam dan persatuan di antara mereka juga munculnya budaya baru, para tetangganya merasa terancam eksistensinya.
[12] Nahjul balagah, Kalimat qishar (ungkapan singkat), nomor 125.
[13] Muntahal Amal, jilid 1, halaman 417.