') //-->
Ýóãóäú ÍóÇÌøóßó Ýíåö ãöäú ÈóÚúÏö ãÇ ÌÇÁóßó ãöäó ÇáúÚöáúãö ÝóÞõáú ÊóÚÇáóæúÇ äóÏúÚõ ÃóÈúäÇÁóäÇ æó ÃóÈúäÇÁóßõãú æó äöÓÇÁóäÇ æó äöÓÇÁóßõãú æó ÃóäúÝõÓóäÇ æó ÃóäúÝõÓóßõãú Ëõãøó äóÈúÊóåöáú ÝóäóÌúÚóáú áóÚúäóÊó Çááøóåö Úóáóì ÇáúßÇÐöÈíäó.
Siapa yang membantahmu (tentang kisah Isa) sesudah datang ilmu (yang sampai kepadamu), maka katakanlah (kepada mereka):" Marilah kita memanggil anak- anak kami dan anak- anak kamu, istri- istri kami dan istri- istri kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah, kemudian kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang- orang yang dusta.(Ali Imran; 61 )
Poros Pembahasan
Ayat Mubahalah termasuk satu ayat lain yang berkaitan dengan wilayah Amirul Mukminin Ali a.s. dan kedua putranya; Al-Hasan dan Al-Husain. Tema utama yang dikandung oleh ayat mulia ini adalah berkaitan dengan masalah Mubahalah kaum muslimin dengan kaum Nasrani Najran. Pada satu sisi membuktikan kebenaran kenabian Rasulullah Saw, sisi kedua juga memberitahukan kepada semuanya bahwa para imam Ahlul bait a.s. memiliki posisi dan kedudukan yang begitu tinggi dan pada sisi ketiga ayat ini juga dapat digunakan untuk menetapkan wilayah Amirul mukminin Ali a.s.
Pendahuluan
Sebelum memasuki penafsiran ayat mulia ini terlebih dahulu perlu dipahami dua poin penting berikut ini:
Mubahalah berasal dari kata Bahl. Dalam bahasa Arab kata ini bermakna melepas. Unta-unta saat beranak, terkadang pemiliknya mengikat puting susunya agar supaya air susu unta tersebut tidak dihabiskan oleh anak-anaknya. Terkadang pula sebagian pemilik unta membiarkan susu-susu itu dan tidak mengikatnya sehingga anak-anak unta dapat meminum air susu sesuka mereka. Orang-orang Arab menyebut unta yang demikian dengan Ibil Bahil, artinya unta yang susunya terbuka dan dilepas untuk anak-anaknya.
Sedang dalam Istilah, kata ini berkaitan dengan sebuah kasus ketika dua orang tidak mampu memuaskan satu sama lain dengan berbagai argumentasi yang disampaikan, maka satu sama lain saling menghujat seraya berkata: jika aku dalam posisi yang benar dan engkau dalam posisi yang salah maka engkau akan terkena siksaan tuhan. Peristiwa semacam ini dengan berbagai syarat yang ada disebut dengan Mubahalah.
Kaitan arti linguistik dan terminologis kata Mubahalah sangat gamblang; karena dalam Mubahalah seseorang yang mengklaim bahwa dirinya benar telah melepaskan lawannya dan menyerahkan kelanjutannya kepada Allah Swt.
Ýóãóäú ÍóÇÌøóßó Ýíåö ãöäú ÈóÚúÏö ãÇ ÌÇÁóßó ãöäó ÇáúÚöáúãö Wahai Nabi! Barang siapa dari kaum Nasrani, setelah pembahasan panjang lebar tentang Nabi Isa a.s. yang disertai pelbagai argumen yang kuat masih tetap keras kepala dan tidak mau mengakui kebenaran maka tempuhlah jalan lain; bermubahalahlah dengan mereka.
ÝóÞõáú ÊóÚÇáóæúÇ äóÏúÚõ ÃóÈúäÇÁóäÇ æó ÃóÈúäÇÁóßõãú æó äöÓÇÁóäÇ æó äöÓÇÁóßõãú æó ÃóäúÝõÓóäÇ æó ÃóäúÝõÓóßõãú Pada bagian ini, telah ditentukan mereka yang pantas hadir dalam Mubahalah tersebut. Wahai Nabi! Katakan kepada mereka bahwa dari setiap pihak harus mengikut sertakan empat kelompok ini;
Pada pembahasan mendatang akan dibahas secara terperinci maksud dari anak-anak, wanita dan jiwa-jiwa tesebut.
Ëõãøó äóÈúÊóåöáú ÝóäóÌúÚóáú áóÚúäóÊó Çááøóåö Úóáóì ÇáúßÇÐöÈíäó Setelah empat kelompok dari kedua belah pihak telah hadir untuk bermubahalah, maka prosesi ini demikian, bahwa barang siapa yang berdusta dan apa yang didakwakannya itu gombal semata, maka siksa tuhan akan menimpa kepadanya sehingga akan tampak jelas di hadapan manusia hakikat dan kebenaran yang sebenarnya.
Apakah Mubahalah yang disebut di atas telah terjadi?
Soal: apakah prosesi Mubahalah yang digambarkan oleh Al-Quran itu telah terjadi? Jika demikian apa hasil yang didapat darinya?
Jawab: Al-Quran dalam hal ini tidak mengungkapkan apa-apa dan dari ayat-ayatnya tidak dapat disimpulkan apapun tentangnya. Akan tetapi kisah ini sangat terkenal di dalam sejarah Islam.
Sesuai penukilan sejarah, Rasulullah Saw telah memaparkan kisah yang dialami beliau bersama kaum Nasrani Najran tersebut, dan beliau telah menentukan hari H-nya. Kepala pendeta Nasrani yang memiliki posisi tertinggi berkata kepada para jamaahnya:
“Bersiap-siaplah untuk bermubahalah dan hadirlah tepat pada waktu yang ditentukan. Jika Nabi Islam pada hari itu membawa para sahabat terkenalnya maka lakukanlah mubahalah itu! Akan tetapi jika dia (Muhammad Saw) datang dengan membawa anak dan istrinya, maka janganlah kalian melanjutkannya! Karena pada kemungkinan pertama telah terbukti kebohongan risalah yang dibawanya dan pertanda kekalahannya. Namun dalam bentuk kedua telah jelas kalau dia memiliki hubungan dengan Allah Swt dan dengan penuh pasrah maju ke medan laga.
Al-hasil, hari H tersebut tiba, para Nasrani menyaksikan Rasulullah Saw telah menuntun tangan dua anak kecil; Hasan a.s. dan Husain a.s. dan didampingi oleh Ali a.s. dan Fathimah Zahra s.a.
Ketua para pendeta saat menyaksikan hal tersebut berkata: Aku melihat raut-raut muka yang jika mereka berdoa akan dikabulkan segala permohonannya dan kalian semua akan binasa.[1] Urungkan niat kalian untuk bermubahalah, dan beri tahukan kepada kaum muslimin bahwa kita sebagai pengikut agama minoritas siap untuk hidup berdampingan dan membayar pajak/upeti.
Rasulullah Saw mengabulkan permintaan mereka dan tidak jadi bermubahalah.
Kisah mubahalah –yang singkat tadi- telah dicatat dalam kitab-kitab sejarah. Abu Bakar Jashash; salah seorang ulama abad ke-empat Hijriah dalam dua kitabnya telah mengungkapkan dua ungkapkan yang begitu indah:
Oleh karena itu, telah terdapat riwayat-riwayat yang begitu banyak yang menjelaskan turunnya ayat tersebut. Berikut ini dua riwayat darinya:
Di dalam bagian “Fadhail Sahabah” kitab Sahih Muslim, tercatat sebuah riwayat yang begitu menarik dan mencengangkan. Sebuah riwayat yang dinukil dari Sa’ad bin Abi Waqash. Sa’ad berkata: Aku datang menemui Mu’awiyah, Dia berkata kepadaku, aku mendengar engkau tidak mencaci Ali? Kenapa engkau tidak melaknat putra Abi Thalib itu? Apa yang mencegahmu?[4]
Sa’ad menjawab: aku mendengar tiga hal dari Rasulullah Saw tentang Ali yang mencegahku untuk melaksanakan perintahmu itu;
Sa’ad setelah memaparkan hal tersebut kepada Mu’awiyah, berkata: wahai Mu’awiyah apakah dengan keutamaan-keutamaan yang aku dengar dari Rasulullah Saw tentang Ali itu, aku mau melaknatnya?
Mu’awiyah terdiam tidak mau melanjutkan permintaannya.[5]
Siapakah ÃóÈúäÇÁóäÇ äöÓÇÁóäÇæó ÃóäúÝõÓóäÇ ?
Berkenaan dengan yang dimaksud kata äöÓÇÁóäÇ adalah putri Rasulullah Saw, Fathimah s.a kurang lebih tidak ada perbedaan di antara Syi’ah dan Ahli sunah. Sebagaimana para ulama juga tidak berselisih bahwa yang dimaksud dengan ÃóÈúäÇÁóäÇ adalah Hasan dan Husain a.s.
Oleh karena itu poros pembahasan ayat ini hanya berkaitan dengan maksud ÃóäúÝõÓóäÇ sehingga untuk memahami maksudnya tersebut butuh kepada pembahasan lebih lanjut.
Marhum Qadhi Nurullah Syusytari dalam kitabnya yang sangat berharga Ihqaqul hak berkata:” Para mufasir telah bersepakat bahwa ÃóÈúäÇÁóäÇ adalah Hasan a.s. dan Husain a.s. dan äöÓÇÁóäÇ yang dimaksud adalah Sayyidah Fathimah s.a. dan maksud dari ÃóäúÝõÓóäÇ adalah Ali a.s. Ayatullah ‘Udzma Mar’asyi r.a. dalam catatan kaki kitab ini menukil poin di atas dari sekitar 60 kitab (dari Ahli sunah).[6] Dengan demikian, masalah ini begitu gamblang sehingga tidak hanya terdapat di kitab-kitab Syi’ah tapi juga disebut dalam kitab-kitab Ahli sunah.
Akan tetapi sayang sekali, kendati riwayat yang begitu banyak ini ada segelintir mufasir Ahli sunah yang terjebak dalam kefanatikan dan tafsir bi Ra’y sehingga mereka terpaksa menyodorkan hal-hal yang membingungkan. Berikut ini dua contoh darinya:
Jawaban soal ini begitu jelas; karena sesuai ayat ini Rasul telah memanggil tiga kelompok. Jika maksud dari ÃóäúÝõÓóäÇ adalah beliau, apakah maksud dari menyeru diri sendiri? Mengingat Al-Quran kitab yang paling fasih, tentu tidak akan membawakan hal yang tidak fasih semacam ini dan tidak akan pernah menyuruh Rasul untuk mengajak dirinya sendiri. Dengan demikian maksud dari ÃóäúÝõÓóäÇ bukan Rasul. Di samping itu, dalam tata bahasa Arab tidak didapati seorang mantu juga tergolong dalam anak sendiri, kalaupun ada, hal itu metafora saja dan jarang dijumpai.
Kita tidak perlu terlalu heran akan ungkapan semacam ini; karena ini adalah hasil fanatisme yang tidak pada tempatnya, fanatisme semacam ini sanggup membawa seseorang memaksakan keyakinannya yang menyimpang untuk memahami Al-Quran karim.
Sungguh, ungkapan Muhammad Abduh ini begitu menggelikan. Awal dan akhir ungkapannya bertentangan. Karena di awal dia mengklaim riwayat ini disepakati dan menjadi ijmak ulama, tapi di akhirnya dia menisbatkannya kepada kalangan Syi’ah.
Selain itu sebagaimana telah lewat, ungkapan Muhammad Abduh tidak dapat dibenarkan karena mayoritas riwayat-riwayat ini dinukil dari Ahli sunah.
Tidak ada yang dapat diungkapkan lagi atas ungkapan semacam ini, selain rasa prihatin.
Al-hasil, dengan penjelasan tadi ayat Mubahalah termasuk ayat Muhkamat dan jelas yang menunjukkan wilayah Amirul mukminin Ali a.s. dan putra-putra beliau.
Soal: memang benar ayat Mubahalah termasuk ayat yang menjelaskan keutamaan Amirul mukminin Ali a.s., akan tetapi apa hubungan ayat ini dengan masalah wilayah dan kepemimpinan beliau dan memasukkan ayat ini dalam kategori ayat-ayat wilayah?
Jawab: sebagaimana telah lewat maksud dari Anfusana dalam ayat Mubahalah adalah Ali a.s. Rasul Saw yang memanggil Ali a.s. sebagai jiwanya sendiri apakah itu bermakna hakiki atau hanya metafora saja?
Tanpa ragu lagi, seruan itu tidak bermaksud hakiki; artinya Ali bukanlah seorang nabi! Akan tetapi maksudnya adalah Ali a.s. memiliki keutamaan seperti beliau dalam keberanian, kematangan, ketakwaan dan pengorbanan serta keutamaan yang lain. Konklusinya, Ali a.s. dalam kedudukan dan keutamaannya sepadan dengan Rasulullah Saw.
Dengan mengacu kepada poin ini jika memang harus ada pengganti setelah Rasulullah Saw dan ada seseorang yang dilantik dari sisi Allah Swt atau ummat Islam ingin memilih pemimpin untuk mereka, apakah mereka tidak mau memilih seorang sosok yang setingkat atau sedikit di bawah Rasulullah?
Tidakkah sosok pilihan masyarakat orang yang memiliki keutamaan, ketakwaan dan kemaksuman Rasulullah Saw?
Dan jika ada sosok yang dimaksud ini, akan tetapi orang-orang selainnya yang dipilih, apakah akal sehat tidak menyebutnya sebagai tindakan yang tercela?
Oleh karena itu saat misdaq kata anfusana itu adalah Ali a.s. maka itu merupakan jembatan menuju wilayah beliau.
[1] Orang yang hadir dalam Mubahalah harus memiliki dua hal pokok. Pertama, sesuai pengakuan Pendeta harus memiliki keimanan, seorang pembohong tidak akan pernah maju untuk bermubahalah. Kedua, orang seperti ini memiliki hubungan yang erat dengan Allah Swt, di mana saat dia berdoa atau mengutuk akan dikabulkan. Ulama Najran yang berjumlah tiga atau sepuluh orang itu, saat melihat dua hal ini pada diri Rasulullah Saw dan para pendampingnya mengurungkan niatnya untuk bermubahalah.
[2] Ahkamul Quran, jilid2, halaman 16. (Sesuai penukilan Ihqaqul hak, jilid 3, halaman 48).
[3] Ma’rifatu ulumil Hadis, Cetakan Mesir, halaman 50. (Sesuai penukilan Ihqaqul hak, jilid 3, halaman 48).
[4] Ungkapan ini merupakan cerminan puncak ketertindasan Imam Ali a.s. dan klimaks kebencian dan permusuhan bani Umayyah terhadap beliau. Mereka begitu keji dan kotor sehingga melegalkan laknat terhadap sosok Ali a.s. di mana seluruh kaum muslimin minimal menerima beliau sebagai khalifah keempat, bahkan mereka akan menyiksa orang yang tidak melakukannya! Yang perlu disayangkan adalah sebagian Ulama Ahli sunah masih tetap membela kekejian yang dilancarkan oleh bani Umayyah dengan pentolannya Mu’awiyah ini, mereka menyebutnya sebagai pemimpin kita.
[5] Sahih Muslim, jilid 4, halaman 187, hadis ke-32.
[6] Ihqaqul hak, jilid 3, halaman 46.