') //-->
ÞÇá Çááå ÊÚÇáì: æó íóÞõæáõ ÇáøóÐíäó ßóÝóÑõæÇ áóÓúÊó ãõÑúÓóáÇð Þõáú ßóÝìþ ÈöÇááøóåö ÔóåíÏÇð Èóíúäíþ æó Èóíúäóßõãú æó ãóäú ÚöäúÏóåõ Úöáúãõ ÇáúßöÊÇÈö
Allah Swt berfirman: "Orang- orang kafir berkata:" Kamu bukan seorang Rasul". Katakanlah (wahai Muhammad):" Cukuplah Allah menjadi saksi antaraku dan kalian, dan orang yang mempunyai ilmu Al Kitab".(Ar-Ra'd 43).
Poros Pembahasan
Satu lagi ayat Al-Quran yang menjelaskan tentang keutamaan Amirul Mukminin Ali a.s. dan menjadi dalil akan wilayah beliau adalah ayat Ilmu Kitab. Dalam ayat yang mulia ini telah disebutkan dua saksi untuk Rasulullah Saw atas kebenaran risalah beliau. Saksi pertama adalah Allah Swt sendiri dan saksi lainnya adalah orang yang memiliki ilmu kitab. Pada makalah ini akan kami jelaskan maksud dari penyaksian keduanya kemudian kami akan berusaha menjelaskan siapa yang dimaksud dari Man 'Indahu Ilmul Kitab?. Akan tetapi sebelum memasuki pembahasan inti tersebut perlu dijelaskan terlebih dahulu beberapa mukadimah.
Menolak Hal-hal Yang Tak Berdalil
Salah satu ajaran penting dan pokok dari Al-Quran untuk umat Islam khususnya dan umat manusia pada umumnya adalah mencampakkan hal-hal yang tak memiliki dalil dan tak berargumen. Menurut Islam, penerimaan sesuatu hendaknya berlandaskan dalil dan argumentasi.
Dalam hal ini, terdapat 4 ayat Al-Quran yang menyebutkan poin ini. Dalam hal ini kita membaca: Þá åÇÊæÇ ÈÑåÇäßã "Berikanlah dalil kalian".[1]
Kelompok yang menjadi mukhatab ayat-ayat semacam ini terkadang orang-orang Yahudi dan terkadang kaum Nasrani. Allah Swt berfirman kepada nabi-Nya: "katakan kepada mereka jika klaiman mereka itu benar (di mana surga hanya milik mereka dan tidak akan diperoleh oleh selain Yahudi atau Nasrani) maka berikanlah dalil."
Terkadang mukhatab ayat ini adalah para penyembah arca yang mengklaim hal-hal kosong dan tak berdasar tentang sesembahan mereka. Mereka juga hendaknya menjelaskan dalil dan burhan mereka karena jika tidak, klaiman mereka juga tak bernilai sama sekali.
Bahkan salah satu dari empat ayat tersebut berkaitan dengan masalah hari kiamat, jika seseorang mengklaim hal-hal di hari itu, hendaknya dibarengi dengan dalil.
Oleh karena itu, dari ayat-ayat tadi dapat disimpulkan bahwa untuk menetapkan sebuah perkara, baik di dunia atau di akhirat dan dari bangsa manapun saja hendaknya berdasarkan dalil dan burhan. Jika budaya luhur ini dapat berjalan secara benar niscaya kebohongan dan omongan kosong yang tak berdasar dapat dihindari, begitu juga akan hilang isu-isu, kegaduhan dan tuduhan-tuduhan yang dapat dimanfaatkan oleh mereka yang selalu mencari kesempatan, memancing di air keruh dan mengorbankan hal-hal yang paling sakral bagi umat manusia untuk kepentingan dirinya sendiri! Atas dasar inilah Rasulullah Saw sendiri untuk membuktikan kebenaran klaimnya dituntut memberikan saksi-saksi dan bukti konkret yang diakui. Dan di sini, beliau telah mengajukan dua bukti dan syahid yang diterima oleh semua kalangan.
Penjelasan Dan Tafsir
Saksi-Saksi Kenabian
æó íóÞõæáõ ÇáøóÐíäó ßóÝóÑõæÇ áóÓúÊó ãõÑúÓóáÇð
Orang-orang kafir mengatakan bahwa kamu (Rasulullah Saw) bukan utusan dari Allah; oleh karenanya Rasulullah harus membawakan dalil untuk menetapkan risalah beliau sesuai budaya Al-Quran. Atas dasar ini Allah melanjutkan dalam firman-Nya:
Þõáú ßóÝìþ ÈöÇááøóåö ÔóåíÏÇð Èóíúäíþ æó Èóíúäóßõãú æó ãóäú ÚöäúÏóåõ Úöáúãõ ÇáúßöÊÇÈö
Wahai Rasul kami katakanlah kepada orang-orang kafir, bahwa aku akan membawakan dua saksi untuk kalian; saksi pertama adalah Allah Swt sendiri, sedang saksi lainnya adalah orang yang mengetahui ilmu kitab; maksudnya orang yang mengetahui seluruh kandungan kitab. Kedua saksi ini akan bersaksi atas kebenaran risalahku. Dan keduanya merupakan saksi yang cukup bagi mereka yang benar-benar ingin mengetahui kebenaran.
Bagaimana Penyaksian Allah Swt
Soal: Allah Swt yang gaib dari penglihatan umat manusia, bagaimana mungkin dapat menjadi saksi atas kebenaran risalah nabi Islam?
Jawab: Allah melalui mukjizat yang diberikan kepada Rasul-Nya merupakan bentuk penyaksian terhadap risalah Rasulullah Saw; karena mustahil Allah Yang Mahabijak memberikan sebuah mukjizat atau ratusan mukjizat kepada seorang nabi gadungan yang membuat tersesatnya umat manusia. Dan kita ketahui Allah tidak ingin hambanya tersesat. Oleh karena itu dengan mukjizat yang dimiliki oleh para nabi, itu sudah cukup sebagai saksi Allah atas risalah yang diemban oleh Rasulullah Saw.
Orang Yang Mengetahui Ilmu Kitab
Allamah Thabrisi dalam Majma'ul bayan telah memaparkan tiga pendapat:
1. Maksud dari orang yang mengetahui ilmu kitab adalah Allah Swt. Dengan demikian ini merupakan athaf tafsiri kepada kata Billah dan keduanya pada hakikatnya satu; oleh karena itu dalam ayat ini hanya ada satu saksi yang disebutkan yaitu Allah.[2]
Akan tetapi pendapat ini tidak dapat diterima; karena yang pokok dalam kaedah Athaf adalah ta'addud atau perbedaan artinya, ma'thuf adalah hal baru bukan ma'thuf alaih dan athaf tafsiri bertentangan dengan patokan dasar. Ini merupakan fakta yang disepakati oleh pakar tata bahasa Arab. Oleh karena itu selagi kita belum mendapatkan dalil yang memuaskan dan kuat tentang athaf tafsiri maka kita harus mengakui kalau jumlah yang jatuh setelah athaf adalah hal baru bukan pengulangan sebelumnya. Dengan demikian pendapat pertama ini tidak benar.
2. Pendukung pendapat kedua dengan membatalkan pendapat pertama mengatakan: yang dimaksud dari man indahu ilmul kitab adalah orang-orang Ahlul kitab yang telah memeluk Islam yang salah satu di antara mereka adalah Abdullah bin Salam;[3] dia salah satu ulama Yahudi yang jujur dan baik. Dia telah mendapatkan tanda-tanda kenabian Rasullah dalam Taurat, dan saat dia melihat tanda-tanda itu cocok dengan nabi akhir zaman, Muhammad Saw akhirnya dia iman terhadap rasul, padahal jika dia masih tetap pada agamanya dia akan mendapatkan tempat yang terhormat atau bisa jadi dia akan mendapatkan imbalan materi yang melimpah. Dengan demikian dialah orang yang tahu akan ilmu kitab dan telah menjadi saksi dari dua saksi yang menyatakan kenabian nabi dengan tanda-tanda yang terdapat dalam kitab Taurat.
Akan tetapi pendapat kedua ini juga tak dapat diterima; karena surah Ar-Ra'd termasuk surah-surah yang turun di kota Mekkah, sedangkan Abdullah bin Salam masuk Islam sewaktu berada di kota Madinah; dengan demikian, pada saat ayat ini turun Abdullah bin Salam belum masuk Islam sehingga dapat dikatakan bahwa ayat ini berkaitan dengannya.
3. Pendapat ketiga yang banyak disebut oleh kitab-kitab tafsir, hadis, sejarah dan yang lain di mana ayat ini berkaitan dengannya adalah yang dimaksud dengan Man 'Indahu Ilmul Kitab adalah Amirul mukminin Ali a.s.[4]
Abu Said Al-Khudri, salah seorang sahabat Rasulullah Saw yang diterima oleh kalangan Ahli sunah dan "dipercaya" kalangan Syi'ah, berkata: "di saat aku berada di sisi Rasulullah Saw, aku bertanya kepada beliau: apa maksud dari Alladzi 'Indahu Ilmul Kitab?[5] Beliau menjawab: ia adalah menteri saudaraku, Sulaiman bin Daud; Aship bin Barkhiya. Kemudian aku bertanya lagi: lalu siapa yang dimaksud oleh Allah dengan firman-Nya: Man 'Indahu ilmul Kitab dalam surah itu? Beliau kembal menjawab: dia adalah saudaraku Ali bin Abi Thalib”.[6]
Riwayat ini, selain diriwayatkan oleh Abu Said Al-Khudri juga diriwayatkan pula oleh Abdullah bin Abbas, Salman, Said bin Jubair, Muhammad bin Hanafiyah, Zaid bin Ali dan yang lain. Dan di antara para ulam yang menukil riwayat tersebut adalah Qurthubi,[7] Suyuti,[8] Allamah Dasytki Syirazi,[9] Tirmizi[10] dan masih banyak yang lain. Oleh karena itu, tafsiran terbaik dari man indahu ilmul kitab adalah Amirul mukminin Ali a.s.
Bagaimana Bentuk Penyaksian Ali a.s.
Soal: Dengan merujuk kepada riwayat-riwayat yang menjelaskan kondisi turunnya ayat tersebut. Kita terima bahwa ayat ini berkaitan dengan Amirul mukminin Ali a.s. Akan tetapi ada satu pertanyaan yang masih mengganjal di benak kita, bagaiman bentuk penyaksian beliau terhadap risalah Rasulullah Saw?
Jawab: Untuk memperjelas jawaban pertanyaan di atas, terlebih dahulu kami jelaskan dua contoh berikut ini:
a. Jika seseorang memasuki sebuah kota di mana ia tidak mengenal seorangpun dari penduduk kota tersebut, saat waktu shalat, dia memasuki masjid, bagaimana dia akan mendapatkan fadhilah shalat jamaah di awal waktu saat dia tidak mengenal imam yang sedang berdiri di mihrab itu orang yang adil atau tidak? Para faqih mengatakan: mengingat masyarakat bermakmum kepada imam itu, maka ini merupakan dalil keadilan sang imam, seperti jika dia melihat beberapa rohaniawan bermakmum kepadanya. Dari sini kita mengetahui keadilan seorang imam melalui para makmumnya.
b. Jika kita mengetahui seseorang dari sisi keilmuan sangat terkenal dan disegani oleh seluruh masyarakat; ternyata dia berlutut di hadapan seorang guru yang tidak kita kenal maka dengan pengetahuan kita terhadap ilmu sang murid kita akan mengetahui sejauh mana ketinggian orang tersebut. Sebuah contoh, jika Syekh Anshari atau Allamah Hilli kita saksikan keduanya belajar kepada seorang guru yang tak dikenal maka kita pasti yakin kalau ustad tersebut begitu tinggi ilmu dan pengetahuannya.
Dengan memeprhatikan dua contoh di atas marilah kita perhatikan jawaban dari pertanyaan di atas.
Saat kita mengkaji kepribadian Ali a.s. kita mendapati bahwa beliau sosok manusia kamil dari segi moral, etika dan kemanusiaan.
Ali a.s. dengan ilmunya di mana Nahjul balaghah cerminan dari kedalaman dan keluasan ilmunya. Sebuah kitab jika manusia menyelami kandungannya akan berkata: kitab yang derajatnya sedikit lebih rendah firman tuhan dan lebih tinggi dari kalimat manusia biasa.
Ali a.s. dengan metode pengadilannya yang menakjubkan, di mana masalah paling rumit diselesaikan dengan metode terbaik dan tiada orang yang terinjak hak-haknya.
Ali a.s. dengan ibadah dan kekhusyuaannya yang tak dapat disifati, di mana saat shalat tidak ada yang dipikirkan selain Allah Swt. Sehingga upaya pengobatan yang sulit dilakukan (karena sakit yang ditimbulkan) untuknya di saat di luar shalat mampu dijalani dengan mudah ketika dikerjakan waktu beliau berdialog dengan tuhannya.
Ali a.s. dengan keberanian yang dimiliki, setiap peperangan selalu dimenangkannya dan tidak pernah lari dari medan laga.
Ali a.s. dengan keadilannya, di mana tidak ada seorang atau apapun yang mampu mengeluarkannya dari jalan tersebut, dan akhirnya di jalan keadilan inilah beliau terpaksa meneguk cawan syahadah.
Jika Ali a.s. dengan sifat-sifat yang tidak ada tandingganya dan mengungguli seluruh umat manusia, iman kepada Rasulullah Saw dan dia siap mewakafkan seluruh umurnya untuk mentabligkan agamanya, bahkan dalam sebuah riwayat dia menganggap dirinya hamba Muhammad Saw, apakah ini tidak berakhir dengan sebuah pemahaman bahwa dengan Ali a.s. kebenaran Islam dapat ditetapkan? Oleh karena itu, Ali a.s. merupakan saksi lain akan risalah yang dibawa oleh Rasulullah Saw.
Bisa dikatakan juga, saksi ini begitu penting terhadap pembuktian kebenaran Islam, sehingga jika Rasulullah Saw sudah tidak memiliki saksi lain maka cukuplah beliau sebagai seorang saksi.
Perbandingan Antara Ashif bin Barkhiya Dan Ali bin Abi Thalib a.s.
Ashif bin Barkhiya, menteri Nabi Sulaiman a.s. di mana ceritanya tercatat dalam Al-Quran karim di dalam surah An-Naml. Ringkas kisah beliau demikian:
Di saat Ratu negeri Saba’ telah menyerah kepada Nabi Sulaiman a.s. dan sedang bergerak menuju beliau. Beliau berbicara di hadapan para pengikutnya yang terdiri dari kaum jin dan manusia dengan ungkapannya: Siapakah di antara kalian yang sanggup mendatangkan singgasana Ratu Saba’ sebelum dia tiba di sini? Salah satu dari bangsa jin berkata: aku sanggup melakukannya akan tetapi memakan waktu; yaitu sebelum engkau berdiri dari tempatmu!.
Seakan-akan Nabi Sulaiman a.s. tidak puas dengan hal tersebut dan ingin pemindahan tahta itu dilakukan lebih cepat lagi. Oleh karena itu, ada seseorang yang mengetahui sebagian dari ilmu kitab (yang dengan ini dia mampu melakukan hal-hal di luar kebiasaan) yang tak lain adalah Ashif bin Barkhiya berkata: aku sanggup melakukannya sebelum engkau membuka mata. Maka, saat nabi Sulaiman a.s. membuka mata singgasana itu telah hadir! Nabi Sulaiman akhirnya bersyukur atas nikmat yang beliau terima dan percaya bahwa hal itu bersumber dari Allah Swt semata.[11]
Ashif bin Barkhiya yang mengetahui sebagian dari ilmu kitab mampu melakukan hal-hal yang di luar kemampuan umat manusia lalu apakah kemampuan Ali a.s. yang mengetahui seluruh kandungan Al-kitab dapat disamakan dengan Ashif? Dari pembahasan ini dengan mudah kita dapat menaiki atau menyeberangi jembatan menuju pembahasan wilayah takwiniyah para imam maksum a.s.; karena arti dari ilmu takwini adalah bukan berarti Ali a.s. pencipta langit dan bumi (kita berlindung dari Allah atas tuduhan semacam itu), akan tetapi beliau dapat melakukan dengan seizin dari-Nya sebagaimana hal yang diperagakan oleh Ashif bin Barkhiya.
[1]Ungkapan semacam ini, dapat dijumpai di surah Al-Baqarah ayat 111, Surah Anbiya', ayat 64, surah Naml dan Surah Qashash ayat 75.
[2]Majma'ul Bayan, jilid 3, hal 301.
[3]Ibid.
[4]Ibid.
[5]Surah Naml, ayat 40.
[6]Yanabi'ul Mawaddah, hal 102. sesuai penukilan dari Ihqaqul hak, jilid 3, hal 281.
[7]Al-Jami' li Ahkamil Quran, jilid 9, hal 336. Sesuai penulikan Ihqaqul Hak, jilid 3, hal 280.
[8]Al-Itqan, jilid 1, hal 13. Sesuai penulikan Ihqaqul Hak, jilid 3, hal 280.
[9] Raudlatul Ihbab, jilid 1, peristiwa tahun kesembilan. Sesuai penulikan Ihqaqul Hak, jilid 3, hal 280.
[10]Manaqib Murthadawi, hal 49. Sesuai penulikan Ihqaqul Hak, jilid 3, hal 280.
[11]Kisah di atas merupakan ringkasan dari kumpulan ayat ketiga uluh dekapan hingga empat puluh surah An-Nam