Penafsiran Ilmiah Al-Quran

Al-Quran Al-Karim, yang merupakan sumber utama ajaran Islam, berfungsi sebagai "Petunjuk ke jalan yang sebaik-baiknya" (QS 17:9) demi kebahagiaan hidup manusia di dunia dan akhirat. Petunjuk-petunjuk tersebut banyak yang bersifat umum dan global, sehingga penjelasan dan penjabarannya dibebankan kepada Nabi Muhammad saw. (QS 16:44; 4:105, dan sebagainya).

Di samping itu, Al-Quran juga memerintahkan umat manusia untuk memperhatikan ayat-ayat Al-Quran (QS 39:18; 47:24), dengan perhatian yang, di samping dapat mengantar mereka kepada keyakinan dan kebenaran Ilahi, juga untuk menemukan alternatif-alternatif baru melalui pengintegrasian ayat-ayat tersebut dengan perkembangan situasi masyarakat tanpa mengorbankan prinsip-prinsip pokok ajarannya (Al-Ushul Al-Ammah) atau mengabaikan perincian-perincian yang tidak termasuk dalam wewenang ijtihad. Dengan demikian, akan ditemukan kebenaran-kebenaran penegasan Al-Quran, bahwa:

a. Allah akan memperlihatkan tanda-tanda kebesaran-Nya di seluruh ufuk dan pada diri manusia, sehingga terbukti bahwa ia (Al-Quran) adalah benar (baca QS 41:53).

b. Fungsi diturunkannya Kitab Suci kepada para Nabi (tentunya terutama Al-Quran), adalah untuk memberikan jawaban atau jalan keluar bagi perselisihan dan problem-problem yang dihadapi masyarakat (baca QS 2:213).

Perkembangan Penafsiran Ilmiah

Dalam rangka pembuktian tentang kebenaran Al-Quran, wahyu Ilahi ini telah mengajukan tantangan kepada siapa pun yang meragukannya untuk menyusun "semisal" Al-Quran. Tantangan tersebut datang secara bertahap:

a. Seluruh Al-Quran (QS 17:88; 52:34).

b. Sepuluh surah saja dari 114 surahnya (QS 11:13).

c. Satu surah saja (QS 10:38).

d. Lebih kurang semisal satu surah saja (QS 2:23).[76]

Arti semisal mencakup segala macam aspek yang terdapat dalam Al-Quran,[77] salah satu di antaranya adalah kandungannya yang antara lain berhubungan dengan ilmu pengetahuan yang belum dikenal pada masa turunnya.

Dari sini tidaklah mengherankan jika sementara pihak dari kaum Muslim berusaha untuk membuktikan kemukjizatan Al-Quran, atau kebenaran-kebenarannya sebagai wahyu Ilahi melalui penafsiran, sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan, walaupun tidak jarang dirasakan adanya "pemaksaan-pemaksaan" dalam penafsiran tersebut yang antara lain diakibatkan oleh keinginan untuk membuktikan kebenaran ilmiah melalui Al-Quran, dan bukan sebaliknya.

Corak penafsiran ilmiah ini telah lama dikenal. Benihnya bermula pada masa Dinasti Abbasiyah, khususnya pada masa pemerintahan Khalifah Al-Ma'mun (w. 853 M), akibat penerjemahan kitab-kitab ilmiah. Namun, agaknya, tokoh yang paling gigih mendukung ide tersebut adalah Al-Ghazali (w. 1059 - 1111 M)[78] yang secara panjang lebar dalam kitabnya, Ihya' 'Ulum Al-Din dan Jawahir Al-Qur'an mengemukakan alasan-alasan untuk membuktikan pendapatnya itu. Al-Ghazali mengatakan bahwa: "Segala macam ilmu pengetahuan, baik yang terdahulu (masih ada atau telah punah), maupun yang kemudian; baik yang telah diketahui maupun belum, semua bersumber dari Al-Quran Al-Karim."[79]

Hal ini, menurut Al-Ghazali, karena segala macam ilmu termasuk dalam af'al (perbuatan-perbuatan) Allah dan sifat-sifat-Nya. Sedangkan Al-Quran menjelaskan tentang Zat, af'al dan sifat-Nya. Pengetahuan tersebut tidak terbatas. Dalam Al-Quran terdapat isyarat-isyarat menyangkut prinsip-prinsip pokoknya.[80] Hal terakhir ini, antara lain, dibuktikan dengan mengemukakan ayat, "Apabila aku sakit maka Dialah yang mengobatiku" (QS 26:80).

"Obat" dan "penyakit", menurut Al-Ghazali, tidak dapat diketahui kecuali oleh yang berkecimpung di bidang kedokteran. Dengan demikian, ayat di atas merupakan isyarat tentang ilmu kedokteran.

Agaknya, ulasan yang dikemukakan ini sukar untuk dipahami, karena, walaupun diyakini ilmu Tuhan tidak terbatas, namun apakah seluruh ilmu-Nya telah dituangkan dalam Al-Quran? Dan apakah setiap kata yang menyangkut disiplin ilmu telah merupakan bukti kecakupan pokok disiplin ilmu tersebut di dalamnya? Tentulah berbeda antara ilmu dan "kalam". Karenanya, tidak semua yang diketahui itu diucapkan.

Fakhruddin Al-Raziy (1209 M), walaupun tidak sepenuhnya, sependapat dengan Al-Ghazali. Namun, kitab tafsirnya, Mafatih Al-Ghayb, dipenuhi dengan pembahasan ilmiah menyangkut filsafat, teologi, ilmu alam, astronomi, kedokteran, dan sebagainya. Sampai-sampai, kitab tafsirnya tersebut dinilai secara berlebihan sebagai mengandung segala sesuatu kecuali tafsir.[81]

Penilaian yang mirip dengan ini juga diberikan oleh Tafsir Al-Jawahir karangan Thantawi jauhari (1870-1940). Bahkan, sebelumnya, Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935) dengan Tafsir Al-Manar-nya, dinilai berusaha juga membuktikan hal tersebut. Ia, menurut penilaian Goldziher, berusaha membuktikan bahwa: "Al-Quran mencakup segala hakikat ilmiah yang diungkapkan oleh pendapat-pendapat kontemporer (pada masanya), khususnya di bidang filsafat dan sosiologi."[82]

Di lain sisi, Al-Syathibi (w. 1388) merupakan tokoh yang paling gigih menentang sikap di atas secara berlebih-lebihan pula, sehingga ia mengatakan bahwa "Al-Quran tidak diturunkan untuk maksud tersebut,"[83] dan bahwa "Seseorang, dalam rangka memahami Al-Quran, harus membatasi diri menggunakan ilmu-ilmu bantu pada ilmu-ilmu yang dikenal oleh masyarakat Arab pada masa turunnya Al-Quran. Siapa yang berusaha memahaminya dengan menggunakan ilmu-ilmu bantu selainnya, maka ia akan sesat atau keliru dan mengatasnamakan Allah dan Rasul-Nya dalam hal-hal yang tidak pernah dimaksudkannya."[84]

Namun, apa yang dikemukakan oleh Al-Syathibi tersebut, juga sukar untuk dipahami, karena kita berkewajiban memahami Al-Quran sesuai dengan masa sekarang ini sebagaimana wajibnya orang-orang Arab yang hidup di masa dakwah Muhammad saw.[85]

Di samping itu, bagaimana kita dapat melaksanakan maksud ayat seperti "Apakah mereka tak berpikir", dan sebagainya, yang biasanya menjadi fashilah (penutup) ayat-ayat yang berbicara tentang biologi, astronomi, dan lainnya, apabila kita tidak memahaminya melalui bantuan ilmu-ilmu tersebut yang jelas belum dikenal dan berkembang dengan pesat sebagaimana yang kita alami dewasa ini?

Pendapat kedua tokoh yang memiliki reputasi tinggi di bidang ilmu keislaman dan yang bertolak belakang itu, masing-masing mempunyai pendukung sejak masa mereka hingga dewasa ini, walaupun pendapat yang dipelopori oleh Al-Ghazali lebih tersebar akibat faktor-faktor ekstern, baik menyangkut konflik yang terjadi di Eropa pada abad kedelapanbelas, antara pemuka Kristen dan ilmuwan-ilmuwan, maupun kondisi sosial umat Islam serta pengaruh kemajuan ilmu pengetahuan.

Untuk mendudukkan persoalan di atas pada proporsinya yang benar, perlu kiranya ditinjau korelasi antara Al-Quran dan ilmu pengetahuan.

Korelasi antara Al-Quran dan Ilmu Pengetahuan

Hemat penulis, membahas hubungan antara Al-Quran dan ilmu pengetahuan bukan dinilai dari banyak atau tidaknya cabang-cabang ilmu pengetahuan yang dikandungnya, tetapi yang lebih utama adalah melihat: adakah Al-Quran atau jiwa ayat-ayatnya menghalangi ilmu pengetahuan atau mendorongnya, karena kemajuan ilmu pengetahuan tidak hanya diukur melalui sumbangan yang diberikan kepada masyarakat atau kumpulan ide dan metode yang dikembangkannya, tetapi juga pada sekumpulan syarat-syarat psikologis dan sosial yang diwujudkan, sehingga mempunyai pengaruh (positif ataupun negatif) terhadap kemajuan ilmu pengetahuan.[86]

Sejarah membuktikan bahwa Galileo --ketika mengungkapkan penemuan ilmiahnya-- tidak mendapat tantangan dari satu lembaga ilmiah, kecuali dari masyarakat di mana ia hidup. Mereka memberikan tantangan kepadanya atas dasar kepercayaan agama. Akibatnya, Galileo pada akhirnya menjadi korban penemuannya sendiri.

Dalam Al-Quran ditemukan kata-kata "ilmu" --dalam berbagai bentuknya-- yang terulang sebanyak 854 kali. Di samping itu, banyak pula ayat-ayat Al-Quran yang menganjurkan untuk menggunakan akal pikiran, penalaran, dan sebagainya, sebagaimana dikemukakan oleh ayat-ayat yang menjelaskan hambatan kemajuan ilmu pengetahuan, antara lain:

  1. Subjektivitas: (a) Suka dan tidak suka (baca antara lain, QS 43:78; 7:79); (b) Taqlid atau mengikuti tanpa alasan (baca antara lain, QS 33:67; 2:170).
  2. Angan-angan dan dugaan yang tak beralasan (baca antara lain, QS 10:36).
  3. Bergegas-gegas dalam mengambil keputusan atau kesimpulan (baca, antara lain QS 21:37).
  4. Sikap angkuh (enggan untuk mencari atau menerima kebenaran) (baca antara lain QS 7:146).

Di samping itu, terdapat tuntutan-tuntutan antara lain:

  1. Jangan bersikap terhadap sesuatu tanpa dasar pengetahuan (QS 17:36), dalam arti tidak menetapkan sesuatu kecuali benar-benar telah mengetahui duduk persoalan (baca, antara lain, QS 36:17), atau menolaknya sebelum ada pengetahuan (baca, antara lain, QS 10:39).
  2. Jangan menilai sesuatu karena faktor eksternal apa pun --walaupun dalam pribadi tokoh yang paling diagungkan seperti Muhammad saw.

Ayat-ayat semacam inilah yang mewujudkan iklim ilmu pengetahuan dan yang telah melahirkan pemikir-pemikir dan ilmuwan-ilmuwan Islam dalam berbagai disiplin ilmu. "Tiada yang lebih baik dituntun dari suatu kitab akidah (agama) menyangkut bidang ilmu kecuali anjuran untuk berpikir, ... serta tidak menetapkan suatu ketetapan yang menghalangi umatnya untuk menggunakan akalnya atau membatasinya menambah pengetahuan selama dan di mana saja ia kehendaki."[87] Inilah korelasi pertama dan utama antara Al-Quran dan ilmu pengetahuan.

Korelasi kedua dapat ditemukan pada isyarat-isyarat ilmiah yang tersebar dalam sekian banyak ayat Al-Quran yang berbicara tentang alam raya dan fenomenanya. Isyarat-isyarat tersebut sebagiannya telah diketahui oleh masyarakat Arab ketika itu.[88] Namun, apa yang mereka ketahui itu masih sangat terbatas dalam perinciannya.

Di lain segi, paling sedikit ada tiga hal yang dapat disimpulkan dari pembicaraan Al-Quran tentang alam raya dan fenomenanya:

  1. Al-Quran memerintahkan atau menganjurkan manusia untuk memperhatikan dan mempelajarinya dalam rangka meyakini ke-Esa-an dan kekuasaan Tuhan. Dari perintah ini, tersirat pengertian bahwa manusia memiliki potensi untuk mengetahui dan memanfaatkan hukum-hukum yang mengatur fenomena alam tersebut, namun pengetahuan dan pemanfaatan ini bukan merupakan tujuan puncak (ultimate goal).
  2. Alam raya beserta hukum-hukum yang diisyaratkannya itu diciptakan, dimiliki, dan diatur oleh ketetapan-ketetapan Tuhan yang sangat teliti. Ia tidak dapat melepaskan diri dari ketetapan-ketetapan tersebut kecuali bila Tuhan menghendakinya. Dari sini, tersirat bahwa: (a) alam raya atau elemen-elemennya tidak boleh disembah; (b) manusia dapat menarik kesimpulan tentang adanya ketepatan-ketepatan yang bersifat umum dan mengikat yang mengatur alam raya ini (hukum-hukum alam).
  3. Redaksi yang digunakan oleh Al-Quran dalam uraiannya tentang alam raya dan fenomenanya itu, bersifat singkat, teliti dan padat, sehingga pemahaman atau penafsiran tentang maksud redaksi-redaksi tersebut sangat bervariasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan pengetahuan masing-masing."[89]

Dalam kaitannya dengan butir ketiga ini, kita perlu menggarisbawahi beberapa prinsip pokok:

a. Setiap Muslim, bahkan setiap orang, berkewajiban untuk mempelajari dan memahami kitab suci yang dipercayainya. Namun, walaupun demikian, hal tersebut bukan berarti bahwa setiap orang bebas untuk menafsirkan atau menyebarluaskan pendapatnya tanpa memenuhi syarat-syarat yang dibutuhkan guna mencapai maksud tersebut.

b. Al-Quran diturunkan bukan hanya khusus untuk orang-orang Arab ummiyin yang hidup pada masa Rasul saw., tidak pula untuk generasi abad keduapuluh ini, tetapi juga untuk seluruh manusia hingga akhir zaman. Mereka semua diajak berdialog oleh Al-Quran dan dituntut untuk menggunakan akalnya.

c. Berpikir secara modern, sesuai dengan keadaan zaman dan tingkat pengetahuan seseorang; tidak berarti menafsirkan Al-Quran secara spekulatif[90] atau terlepas dari kaidah-kaidah penafsiran yang telah disepakati oleh para ahli di bidang ini.

Nah, kaitan prinsip ini dengan penafsiran ilmiah terhadap ayat-ayat Al-Quran, membawa kita kepada, paling tidak, tiga hal pula yang perlu digarisbawahi, yaitu (1) Bahasa; (2) Konteks ayat-ayat; dan (3) Sifat penemuan ilmiah.

1. Bahasa

Disepakati oleh semua pihak bahwa untuk memahami kandungan Al-Quran dibutuhkan pengetahuan bahasa Arab. Untuk memahami arti suatu kata dalam rangkaian redaksi suatu ayat, seorang terlebih dahulu harus meneliti apa saja pengertian yang dikandung oleh kata tersebut. Kemudian menetapkan arti yang paling tepat setelah memperhatikan segala aspek yang berhubungan dengan ayat tadi.

Dahulu Al-Thabariy (251-310 H), misalnya, menjadikan syair-syair Arab pra-Islam (jahiliah) sebagai salah satu referensi dalam menetapkan arti kata-kata dalam ayat-ayat Al-Quran.[91] Bila apa yang ditempuh Al-Thabariy ini dikaitkan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, maka penafsiran tentang ayat Al-Quran dapat saja sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Atau dengan kata lain, kita --yang hidup pada masa kini-- tidak terikat dengan penafsiran mereka yang belum mengenal perkembangan ilmu pengetahuan.

Sebagai contoh, kata 'alaq (terdapat dalam QS 96:2) tidak mutlak dipahami dengan "darah yang membeku", karena arti tersebut bukan satu-satunya arti yang dikenal oleh masyarakat Arab pada masa pra-Islam atau masa turunnya Al-Quran. Masih ada lagi arti-arti lain seperti "sesuatu yang bergantung atau berdempet".[92]

Dari sini, penafsiran kata itu dengan implantasi, seperti apa yang dikemukakan oleh embriolog ketika membicarakan proses kejadian manusia, tidak dapat ditolak.

Muhammad 'Abduh berpendapat bahwa adalah lebih baik memahami arti kata-kata dalam redaksi satu ayat, dengan memperhatikan penggunaan Al-Quran terhadap kata tersebut dalam berbagai ayat dan kemudian menetapkan arti yang paling tepat dari arti-arti yang digunakan Al-Quran itu.[93]

Metode ini, antara lain, ditempuh oleh Hanafi Ahmad dalam tafsirnya ketika memahami bahwa penggunaan kata dhiya' untuk matahari dan nur untuk bulan (QS 10:5). Ini mengandung arti bahwa sumber sinar matahari adalah dari dirinya sendiri, sedangkan cahaya bulan bersumber dari sesuatu selain dari dirinya (matahari). Pemahaman ini ditarik dari penelitian terhadap penggunaan kata dhiya' yang terulang --dalam berbagai bentuknya-- sebanyak enam kali dan nur sebanyak lebih kurang 50 kali.[94]

Disamping kedua metode di atas, perlu pula kiranya dipertimbangkan tentang perkembangan arti dari suatu kata. Karena disadari bahwa ketika mendengar atau mengucapkan suatu kata, maka yang tergambar dalam benak kita adalah bentuk material atau yang berhubungan dengan materinya. Namun, dilain segi, bentuk materi tadi dapat mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan ilmu pengetahuan.

Sebagai contoh, kata "lampu" bagi masyarakat tertentu berarti suatu alat penerang yang terdiri dari wadah yang berisi minyak dan sumbu yang dinyalakan dengan api. Namun apa yang tergambar dalam benak kita dewasa ini tentang gambaran material tersebut telah berubah. Yang tergambar dalam benak kita kini adalah listrik.

Kita tidak dapat membenarkan seseorang menafsirkan arti sayyarah (QS 12:10 dan 19; dan 5: 96) dengan mobil. Walaupun demikian, itulah terjemahannya yang secara umum dipakai dewasa ini, karena pada masa lalu, mobil --dalam pengertian kita sekarang-- belum ada. Namun, kita dapat membenarkan penafsiran zarrah dalam ayat-ayat Al-Quran, dengan atom karena kata ini menurut Al-Biqa'iy (885 H/ 1480 M), "digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang amat kecil atau ketiadaan."[95]

Selain aspek yang dikemukakan di atas, aspek-aspek kebahasaan lainnya pun perlu mendapat perhatian. Dr. Mustafa Mahmud, misalnya, ketika menafsirkan surah Al-'Ankabut, ayat 41, mengatakan bahwa yang membuat sarang laba-laba adalah betina laba-laba bukan jantannya. Karena, katanya, ayat tersebut menggunakan kata kerja mu'annats "ittakhadzat" bukan "ittakhadza"

Menurutnya, Al-Quran telah mengisyaratkan bahwa tali-temali yang dihasilkan oleh laba-laba dalam membuat sarangnya bukanlah sesuatu yang rapuh, karena penelitian ilmiah membuktikan bahwa tali-temali tersebut, dalam kadar yang sama, lebih kuat daripada baja atau sutera-sutera alam.[96]

Prof. Dr. 'Aisyah Abdurrahman binti Al-Syathi', Guru Besar Studi Ilmu-ilmu Al-Quran Universitas Qarawiyin di Maroko, serta Sastra Bahasa Arab di Universitas Kairo, menanggapi pendapat di atas. Ia menyatakan: "Para pelajar bahasa Arab tingkat pertama mengetahui bahwa bahasa ini menggunakan bentuk mu'annats (feminin) untuk kata al-ankabut (laba-laba), sebagaimana halnya dengan bentuk-bentuk mufrad (tunggal) dari kata-kata: namlah, nihlah, dan dawdah (semut, lebah, dan ulat)".

Dengan demikian, menurutnya, bentuk mu'annats untuk kata al-'ankabut dalam ayat ini adalah atas pertimbangan bahasa dan tak ada hubungannya sedikit pun dengan biologi.[97] Demikian pula, menetapkan ayat di atas dengan berpendapat bahwa sarang laba-laba lebih kuat daripada baja atau sutera-sutera alam, akan mengakibatkan runtuhnya ungkapan yang dikenal oleh bahasa Al-Quran, bagi sesuatu Yang sangat rapuh yakni sarang laba-laba, sehingga jika penafsiran yang diungkapkan itu benar, maka akan kelirulah redaksi Al-Quran dan kandungannya yang mengatakan bahwa (serapuh-rapuh rumah tempat berlindung adalah sarang laba laba)."[98]

Dari sini dapat dipahami mengapa ulama-ulama Tafsir berkesimpulan bahwa "tidak wajar kita beralih dari pengertian hakiki suatu kata kepada pengertian kiasan (majazi), kecuali bila terdapat tanda-tanda yang jelas yang menghalangi pengertian hakiki tersebut".[99]

Dengan demikian, kita dapat mentoleransi (walaupun tidak sependapat dengan) para ahli yang memahami ayat 37 surah Fushshilat, atau ayat 33 surah Al-Anbiya; yang berbicara tentang matahari dan bulan, malam dan siang, kemudian menggunakan kata ganti hunna yang berbentuk jamak (plural), bahwa terdapat sekian banyak matahari dan bulan di alam raya. Tetapi, adalah tidak wajar jika kita menetapkan suatu pengertian terhadap satu kata atau ayat terlepas dari konteks kata tersebut dengan redaksi ayat secara keseluruhan dan dengan konteksnya dengan ayat-ayat yang lain.

2. Konteks antara Kata atau Ayat

Memahami pengertian satu kata dalam rangkaian satu ayat tidak dapat dilepaskan dari konteks kata tersebut dengan keseluruhan kata-kata dalam redaksi ayat tadi. Seseorang yang tidak memperhatikan hubungan antara arsalna al-riyah lawaqi' dengan fa anzalna min aisama' ma'a (QS 15:22), yakni hubungan antara lawaqi' dan ma'a akan menerjemahkan dan memahami arti lawaqi' dengan "mengawinkan (tumbuh-tumbuhan)".[100] Namun, bila diperhatikan dengan seksama bahwa kata tersebut berhubungan dengan kalimat berikutnya, maka hubungan sebab dan akibat atau hubungan kronologis yang dipahami dari huruf fa pada fa anzalna tentunya pengertian "mengawinkan tumbuh-tumbuhan", melalui argumentasi tersebut, tidak akan dibenarkan. Karena, tidak ada hubungan sebab dan akibat antara perkawinan tumbuh-tumbuhan dengan turunnya hujan --juga "jika pengertian itu yang dikandung oleh arti fa anzalna min al-sama' ma'a", maka tentunya lanjutan ayat tadi adalah "maka tumbuhlah tumbuh-tumbuhan dan siaplah buahnya untuk dimakan manusia".[101]

Demikian pula hubungan antara satu ayat dengan ayat yang lain.

Sebelum dinyatakan bahwa ayat 88 surah Al-Naml, ... dan engkau lihat gunung-gunung itu kamu sangka tetap pada tempatnya, padahal ia berjalan sebagaimana jalannya awan ..., mengemukakan tentang "teori gerakan bumi, baik mengenai peredarannya mengelilingi matahari maupun gerakan lapisan pada perut bumi",[102] terlebih dahulu harus dipahami konteks ayat ini dengan ayat-ayat sebelum dan ayat-ayat sesudahnya dan dibuktikan bahwa keadaan yang dibicarakan adalah keadaan di bumi kita sekarang ini, bukan kelak di hari kemudian.[103]

Ada yang menyatakan bahwa ayat 33 surah Al-Rahman telah mengisyaratkan kemampuan manusia menjelajahi angkasa luar. Tapi dengan memperhatikan konteksnya dengan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya, khususnya dengan ayat 35, Kepada kamu (Jin dan Manusia) dilepaskan nyala api dan cairan tembaga, maka kamu tidak akan dapat menyelamatkan diri, maka pemahamannya itu hendaknya ditinjau kembali agar ia tidak terperangkap oleh suatu kemungkinan tuduhan adanya kontradiksi antara dua ayat: ayat 33, berbicara tentang kemampuan manusia menjelajahi angkasa luar, sedangkan ayat 35, menegaskan ketidakmampuannya.

Disamping memperhatikan konteks ayat dari segi kata demi kata, ayat demi ayat, maka pemahaman atau penafsiran ayat-ayat Al-Quran yang berhubungan dengan satu cabang ilmu pengetahuan --bahkan semua ayat yang berbicara tentang suatu masalah dari berbagai disiplin ilmu-- hendaknya ditinjau dengan metode mawdhu'iy, yaitu dengan jalan menghimpun ayat-ayat Al-Quran yang membahas masalah yang sama, kemudian merangkaikan satu dengan yang lainnya, hingga pada akhirnya dapat diambil kesimpulan-kesimpulan yang jelas tentang pandangan atau pendapat Al-Quran tentang masalah yang dibahas itu.[104]

3. Sifat Penemuan Ilmiah

Seperti telah dikemukakan di atas bahwa hasil pemikiran seseorang dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain, perkembangan ilmu pengetahuan dan pengalaman-pengalamannya. Perkembangan ilmu pengetahuan sudah sedemikian pesatnya, sehingga dari faktor ini saja pemahaman terhadap redaksi Al-Quran dapat berbeda-beda.

Namun perlu kiranya digarisbawahi bahwa apa yang dipersembahkan oleh para ahli dari berbagai disiplin ilmu, sangat bervariasi dari segi kebenarannya. Nah, bertitik tolak dari prinsip "larangan menafsirkan Al-Quran secara spekulatif", maka penemuan-penemuan ilmiah yang belum mapan tidak dapat dijadikan dasar dalam menafsirkan Al-Quran.

Seseorang bahkan tidak dapat mengatasnamakan Al-Quran terhadap perincian penemuan ilmiah yang tidak dikandung oleh redaksi ayat-ayatnya, karena Al-Quran --seperti yang telah dikemukakan dalam pembahasan semula-- tidak memerinci seluruh ilmu pengetahuan, walaupun ada yang berpendapat bahwa Al-Quran mengandung pokok-pokok segala macam ilmu pengetahuan.

Ayat 30 surat Al-Anbiya', yang menjelaskan bahwa langit dan bumi pada suatu ketika merupakan suatu gumpalan kemudian dipisahkan Tuhan, merupakan suatu hakikat ilmiah yang tidak diketahui pada masa turunnya Al-Quran oleh masyarakatnya. Tetapi ayat ini tidak memerinci kapan dan bagaimana terjadinya hal tersebut.

Setiap orang bebas dan berhak untuk menyatakan pendapatnya tentang "kapan dan bagaimana", tetapi ia tidak berhak untuk mengatasnamakan Al-Quran dalam kaitannya dengan pendapatnya jika pendapat tadi melebihi kandungan redaksi ayat-ayat tersebut. Tetapi, hal ini bukan berarti bahwa seseorang dihalangi untuk memahami arti suatu ayat sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Hanya selama pemahaman tersebut sejalan dengan prinsip ilmu tafsir yang telah disepakati, maka tak ada persoalan.[105]

Dahulu, misalnya, ada ulama yang memahami arti sab' samawat (tujuh langit) dengan tujuh planet yang mengedari tata surya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan ketika itu. Pemahaman semacam ini, ketika itu, dapat diterima. "Ini adalah suatu ijtihad yang baik yang merupakan pendapat seseorang, selama dia tidak mewajibkan dirinya mempercayai hal tersebut sebagai suatu i'tiqad (kepercayaan) dan tidak pula mewajibkan kepercayaan tersebut kepada orang lain."[106]

Pemahaman semacam ini tidak dapat dinamakan "tafsir", tetapi lebih mirip untuk dinamai tathbiq (penerapan).[107]107

Penutup

Melihat kompleksnya permasalahan Al-Quran dan ilmu pengetahuan, dimana dibutuhkan pengetahuan bahasa dengan segala cabang-cabangnya serta pengetahuan menyangkut berbagai bidang ilmu pengetahuan yang diungkapkan oleh ayat-ayat Al-Quran, maka sudah pada tempatnya jika pemahaman dan penafsirannya tidak hanya dimonopoli oleh sekelompok atau seorang ahli dalam suatu bidang tertentu saja. Tetapi hendaknya merupakan usaha bersama dari berbagai ahli dalam pelbagai bidang lain.