') //-->
Pada tafsir Tabari, jilid 30 hal. 171 diriwayatkan dari Ibnu Hamid mengatakan bahwa, Isa bin Farqad dari Abil Jarud dari Muhammadi bin Ali, Rasulullah saww ketika ditanya siapakah khairul bariyyah itu, beliau saww menjawab,:”Hum anta, wa syi’atuka….Engkau ya Ali dan Syiahmu ( pengikutmu)”. Sementara riwayat lain menyebutkan, Jabir bin Abdullah Anshari ra berkata ketika ayat ‘khairul bariyyah’ turun, Nabi saww menghadap kepada Ali as dan berkata, “Hum anta, wa syi’atuka, taridu ‘alayya wa syi’atuka radhiina mardiyyiina, (maksud dari khairul bariyyah) adalah kamu (Ali) dan pengikutmu, di hari kiamat kamu dan syiahmu masuk bersama saya dalam keadaan Allah ridha kepadamu, dan kamu ridha kepada Allah.” Riwayat ini terdapat dalam kitab Syawahid at Tanzil, oleh Imam Al-Hakim An-Naisyaburi, pada jilid 2 hal. 360.
“Sungguh orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk. Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah surga ‘Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhan-nya.” (Qs. Al-Bayyinah [98]: 7-8)
Berkenaan dengan ayat di atas, kita memfokuskan pembicaraan pada kata-kata, khairul bariyyah, sebaik-baik makhluk. Bariyyah berasal dari kata baraa yang artinya ciptaan. Karenanya kita mengenal Allah SWT dengan sebutan Al-Barii yang artinya khaliq atau pencipta dan makhluk atau ciptaan-Nya disebut, Bariyyah. Pendapat lain mengatakan, Bariyyah, berasal dari kata baryan (meraut), seperti pada kalimat baraitul qalam, saya meraut pensil. Karena itulah makhluk disebut juga bariyyah, karena Allah SWT lewat firman-Nya, meraut atau membentuk ciptaannya dalam bentuk yang berbeda-beda, sebagaimana misalnya pabrik yang memproduksi pensil dalam bentuk yang bermacam-macam.
Untuk lebih dalam menelisik makna khairul bariyyah, kita bisa memulainya dari ayat sebelumnya pada surah yang sama. Pada ayat surah Al-Bayyinah, Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya orang-orang kafir dari kalangan ahli kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahanam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.” Pada ayat ini Allah SWT berbicara mengenai, syarrul bariyyah, seburuk-buruknya makhluk. Seburuk-buruk makhluk khusus pada ayat ini adalah orang-orang kafir dari kalangan ahli kitab dan orang-orang musyrik. Mengenai seburuk-buruknya makhluk kita juga bisa melihat misalnya pada surah Al-Anfal ayat 22, “Sesungguhnya binatang (makhluk) yang seburuk-buruknya di sisi Allah ialah orang-orang yang bisu dan tuli yang tidak mengerti apa-apa pun.” Pada ayat ini, Allah lebih memperluas cakupan siapa saja yang termasuk seburuk-buruknya makhluk dengan memperinci karakteristiknya. Dalam surah Al-A’raf ayat 179 Allah SWT lebih memperincinya lagi, mereka mempunyai hati namun tidak mempergunakannya untuk memahami ayat-ayat Allah, mempunyai mata namun tidak menggunakannya untuk melihat tanda-tanda kekuasaan Allah dan mempunyai telinga namun tidak menggunakannya untuk mendengarkan ayat-ayat Allah, oleh Allah mereka tidak hanya disebut sebagai seburuk-buruknya makhluk bahkan lebih sesat dari binatang ternak.
Mengenai syarrul bariyyah, yang dimaksud pada surah Al-Bayyinah -sebagaimana yang difirmankan Allah SWT pada ayat-ayat sebelumnya- tidaklah mencakup seluruh orang-orang kafir dari kalangan ahli kitab ataupun seluruh orang-orang musyrik, namun terbatas hanya bagi mereka yang telah mendapatkan hujjah yang sangat jelas mengenai kebenaran ajaran Islam yang dibawa Nabi Muhammad saww, namun mereka bukan hanya sekedar menolaknya namun juga melakukan penentangan yang keras. Sementara mereka yang tidak beriman dan bertauhid yang benar, karena dakwah Islam belum sampai kepada mereka atau karena memiliki halangan-halangan tertentu, bukan karena sejak awal melakukan penentangan, perhitungannya ada pada sisi Allah SWT.
Selanjutnya, kita kembali berbincang mengenai khairul bariyyah. Pada ayat ke tujuh dan delapan, Allah SWT menyampaikan karakteristik orang-orang yang termasuk khairul bariyyah.
Pertama, orang-orang yang beriman (alladziina aamanuu). Yang dimaksud mereka yang beriman adalah yang beriman kepada Allah SWT, para Anbiyah as dan kitab-kitab yang mereka bawa serta mereka yakin akan keberadaan hari akhirat. Sementara mereka yang musyrik ataupun orang-orang kafir dari kalangan ahli kitab ataupun dari agama-agama selain Islam tidak termasuk dalam golongan ini.
Kedua, mereka yang beramal shalih (wa ‘amilushshaalihat). Setelah mereka mengimani Allah SWT dan ajaran-ajaran yang dibawa para Anbiyah as mereka mengejewantahkannya dalam laku perbuatan, dalam amalan-amalan dzahir mereka. Pengertian amal saleh, telah sedemikian jelas dan tidak memerlukan penjelasan lebih lanjut, sebagaimana yang termaktub dalam Shahih Muslim kitab al-Iman disebutkan bahwa sekedar menghilangkan penghalang yang menganggu pada jalanan yang dilalui kaum muslimin termasuk amal shalih dan sebaik-baiknya amal shalih adalah beriman kepada Allah SWT dan bersaksi hanya Allah yang berhak untuk disembah.
Ketiga, mereka yang takut pada Tuhannya (dzalika liman khasiya Rabba). Mereka yang termasuk dalam khairul bariyyah adalah mereka yang beriman, beramal shalih dan takut kepada Rabbnya. Ketiga karakteristik ini mesti dimiliki seseorang yang ingin termasuk dalam khairul bariyyah, tidak memilah dan mengabaikan yang lain. Amal shalih misalnya, bisa saja dilakukan tanpa mesti beriman atau atas dasar takut kepada Allah, bisa saja karena paksaan, takut atau karena terbentuk dari kebiasaan dan tradisi keluarga atau lingkungan dimana dia berada.
Setelah menjelaskan karakteristik khairul bariyyah, Allah SWT melanjutkannya, dengan menyampaikan balasan bagi mereka. Di akhirat mereka tidak hanya mendapat balasan dan pahala secara lahiriah saja namun juga secara maknawi atau batiniah. Sebagaimana mafhum, manusia terdiri atas dua bagian, lahiriah dan batiniah, jasmani dan ruhiyah, maka masing-masing dari kedua sisi manusia ini mendapatkan balasannya. Sebagaimana pada ayat terakhir pada surah Al-Bayyinah, “Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah surga ‘Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.” ini menunjukkan balasan lahiriah. Dan kata-kata selanjutnya, “Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya.” Menunjukkan balasan atau pahala maknawi. Keridhaan adalah perasaan batiniah. Keridhaan Allah terhadap mereka karena amalan-amalan shalih mereka di dunia yang dibaluri keimanan yang kuat kepada-Nya dan keridhaan mereka kepada Allah karena balasan dan pemberian Allah berupa kenikmatan-kenikmatan yang tiada tara kepada mereka. Alangkah beruntungnya mereka yang termasuk khairul bariyyah, adakah kenikmatan dan balasan yang lebih mulia daripada keridhaan Allah SWT?.
Pertanyaan yang biasanya hadir ketika berbicara mengenai ayat, diantaranya, apakah ayat tersebut termasuk ayat umum atau ayat khusus?. Berkenaan dengan pembahasan kita, maka kemungkinan timbul pertanyaan, apakah yang dimaksud Allah SWT khairul bariyyah adalah mencakup kesemua kaum mukminin yang beramal shalih atau hanya terbatas pada kelompok tertentu?. Untuk menjawabnya, tidak ada cara lain selain melihat asbabun nuzul (penyebab turunnya ayat), yang terdapat dalam riwayat-riwayat nabawiyah. Di sini saya mengajukan beberapa referensi dari kitab-kitab Ahlus Sunnah. Pada tafsir Tabari, jilid 30 hal. 171 diriwayatkan dari Ibnu Hamid mengatakan bahwa, Isa bin Farqad dari Abil Jarud dari Muhammadi bin Ali, Rasulullah saww ketika ditanya siapakah khairul bariyyah itu, beliau saww menjawab,:”Hum anta, wa syi’atuka….Engkau ya Ali dan Syiahmu ( pengikutmu)”. Sementara riwayat lain menyebutkan, Jabir bin Abdullah Anshari ra berkata ketika ayat ‘khairul bariyyah’ turun, Nabi saww menghadap kepada Ali as dan berkata, “Hum anta, wa syi’atuka, taridu ‘alayya wa syi’atuka radhiina mardiyyiina, (maksud dari khairul bariyyah) adalah kamu (Ali) dan pengikutmu, di hari kiamat kamu dan syiahmu masuk bersama saya dalam keadaan Allah ridha kepadamu, dan kamu ridha kepada Allah.” Riwayat ini terdapat dalam kitab Syawahid at Tanzil, oleh Imam Al-Hakim An-Naisyaburi, pada jilid 2 hal. 360.
Saya mencukupkan dengan menukilkan riwayat dari dua kitab ini saja. Akan sangat membutuhkan banyak tempat kalau harus menukilkan dari semua kitab yang menjelaskan asbabun nuzul ayat yang sedang kita bicarakan, yang jelas semua riwayat mengerucut pada imam Ali as dan Syiahnya lah yang dimaksud Khairul Bariyyah. Timbul pertanyaan, mengapa harus ada tambahan persyaratan untuk terkategorikan sebagai makhluk yang terbaik, yakni harus menjadi pengikut dan syiahnya Imam Ali as?. Sebagaimana masyhur telah tercatat dalam kitab-kitab tarikh yang mu’tabar, umat Islam sepeninggal nabi Muhammad saww -terutama di masa pemerintahan Imam Ali as- terpecah menjadi bergolong-golongan. Perseteruan antara Imam Ali as dan Muawiyah menjadikan umat Islam setidaknya berpecah menjadi 4 kelompok besar. Pengikut imam Ali as, pengikut Muawiyah, Khawarij (yang tidak mengikuti salah satu diantara keduanya, malah membenci dan memusuhi keduanya) dan kelompok keempat yang terdiri dari banyak sahabat Nabi, tidak menjadi pengikut salah satu diantara keduanya, namun juga tidak membenci keduanya. Keempat golongan besar ini kesemuanya mendakwahkan diri sebagai umatnya Muhammad saww, namun lewat nubuat yang jauh-jauh sebelumnya telah disampaikan Nabi, bahwa tidak mungkin keempat golongan yang berpecah dan saling bermusuhan ini, bahkan terlibat dalam pertumpahan darah yang tragis semuanya benar. Sesungguhnya Nabi Muhammad saww ketika memberi penjelasan mengenai ayat “Khairul Bariyyah”, hakekatnya ingin menyampaikan, bahwa untuk menjadi makhluk yang terbaik, ikutilah Ali as jika terjadi perselisihan sepeninggalku.
Saya menutup tulisan ini, dengan menukilkan kembali sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim rahimahullah, dari Ali as yang berkata, “Demi Allah yang menumbuhkan jenis biji, menciptakan jenis insan, sesungguhnya Rasulullah saww telah menegaskan kepadaku, bahwa takkan cinta kepadaku kecuali orang mukmin, dan takkan benci kepadaku kecuali orang munafik.” (HR. Muslim hadits no. 48 bab Keimanan jilid I).
Rasulullah saww menyampaikan kepada kita diantara bukti keimanan adalah memberikan kecintaan kepada Imam Ali as, sebaik-baiknya makhluk Allah SWT. Semoga kita termasuk diantara pengikutnya. Insya Allah. (Ismail Amin)