') //-->
Jika kita kaji kehidupan materi, maknawi, individu, dan sosial manusia maka kita akan menyaksikan betapa peran agama dalam dimensi-dimensi ini sangatlah signifikan. Karena itu para pakar dan ahli setiap dari disiplin ilmu-ilmu humaniora tidak dapat mengabaikan begitu saja pengaruh dan sumbangsih agama terhadap kehidupan manusia.
Dalam kajian psikologi dan ilmu kejiwaan, telah dilakukan kajian dan analisa atas dampak dan pengaruh serta aplikasi agama dalam membentuk jiwa manusia dan pengaruhnya atas pembentukan kepribadian serta karakter manusia. Juga dalam disiplin ini ditinjau efek daripada pengamalan agama, ritus-ritus, dan iman serta keyakinan agama dalam kehidupan internal individu.
Dalam menelaah masalah-masalah sosial dan kemasyarakatan, disimpulkan bahwa agama merupakan salah satu fenomena sosial yang langgeng dan berpengaruh, sebagaimana dalam filsafat politik juga diteliti dan diobservasi dampak daripada institusi-institusi agama serta pengaruh mereka dalam kekuasaan.
Penelitian dan pengkajian sejarah memperlihatkan bahwa ketika sebuah agama baru muncul di masyarakat maka daya tolak dan daya terima dalam beragama menjadi bertambah, dan ini menyebabkan timbulnya pertentangan dan perselisihan yang terkadang berlarut-larut dan berkepanjangan. Dari sinilah timbul urgensi perbedaan agama-agama dan perbedaan pengaruh mereka dalam kehidupan para pengikutnya, sehingga mau tidak mau orang-orang yang memiliki jiwa pencarian dan penelitian berupaya mendapatkan penjelasan yang meyakinkan untuk itu.
Kendatipun prinsip kesadaran akan kejamakan agama-agama merupakan suatu perkara lama dan telah melewati berbagai zaman dan generasi, dan para ilmuan dan ulama dari setiap agama telah membahas dan menulis kitab-kitab untuk membuktikan kebenaran agamanya dalam berhadapan dengan agama-agama lainnya, namun di zaman baru ini dikarenakan perubahan disegala aspek yang timbul dalam ilmu, filsafat, dan akhlak dan juga disebabkan perkembangan yang terjadi dalam bidang interaksi dan hubungan yang diikuti oleh ledakan informasi maka permasalahan keragaman agama-agama telah menjadi subyek pembahasan dan pengamatan yang serius di antara penganut agama yang berbeda-beda.
Tidak bisa dipungkiri bahwa kita hidup di dunia yang memiliki dimensi yang sangat banyak ragamnya, bangsa-bangsa dan warna kulit yang berbeda-beda, bahasa yang bermacam-macam, budaya yang beraneka ragam, agama yang jamak, pemikiran yang berbeda-beda serta hatta kecenderungan dan selera semuanya tidak sama, dan ini merupakan sumber manifestasi dari kejamakan, sehingga apa yang disebut keragaman agama-agama secara aktual tidak bisa dihindari. Dan hari ini salah satu wacana yang sangat penting dan menyita perhatian para sejarawan, filosof, dan teolog adalah masalah perbedaan agama-agama, dan kosa kata seperti diversity, plurality, dan pluralism digunakan secara luas dalam teks-teks pembahasan agama dan mazhab.
Berikut ini ada empat pertanyaan mendasar dalam berhadapan dengan masalah keragaman agama:
1.Agama-agama yang berbeda-beda, sejauh mana masing-masing dari agama tersebut mempunyai saham kebenaran dan hakikat?
2.Mengapa di sepanjang sejarah bermunculan agama-agama dan mazhab-mazhab yang berbeda-beda? (Mengapa tidak dalam bentuk satu agama dan mazhab?)
3.Faktor apa yang memotivasi, khususnya masyarakat kontemporer, menerima dan menyatakan bahwa pengikut agama-agama lainnya juga mememiliki saham kebenaran dan hakikat?
4.Bagaimana cara beriteraksi dan bermuamalah setiap pengikut sebuah agama dengan pengikut agama-agama lainnya?
Pertanyaan pertama merupakan sebuah pertanyaan epistemologis, pertanyaan yang berkaitan dengan hak dan batil serta kebenaran dan kebohongan klaim dari agama-gama yang berbeda-beda. Meskipun metode pembahasan kita dalam masalah kejamakan agama-agama bukan dari prototipe masalah internal agama dan teologis, dan metode pembahasan yang digunakan adalah metode rasional serta tidak keluar dari kerangka filsafat agama, bahkan dalam menganalisa dan meneliti keyakinan yang berbeda-beda daripada agama-agama, kita mesti menggunakan parameter yang independen dan mandiri dari sebuah agama tertentu, akan tetapi tinjauan ini tidaklah bermakna bahwa masalah hak dan batil serta kebenaran dan kebohongan dari agama-agama yang beragam itu tidak boleh dibicarakan dalam pembahasan ini.
Sebab, filosof sebagaimana teolog juga memiliki seribu kegundahan dan kegelisahan tentang kebenaran hakiki (haqqâniyyah) dari sebuah agama.
Dalam konteks ini maka bisa pandangan sebuah agama tertentu meneliti keyakinan agama-agama lainnya, dimana dalam bentuk ini kajian menjadi pembahasan internal agama dan hujjahnya pun hanya untuk pengikut-pengikut agama tersebut, dan ini bermakna bahwa kajian berada di luar ruang-lingkup filsafat (kecuali jika diungkapkan dalam bentuk istithrâdi).
Pertanyaan kedua berkaitan tentang rahasia kemunculan kejamakan agama, bukan tentang kebenaran atau kebatilan agama-agama; meskipun itu jawaban yang diberikan terhadap pertanyaan pertama dapat juga menjadi penentu sampai batas tertentu jawaban atas pertanyaan kedua, bahkan kebalikan dari kondisi ini juga adalah benar, yakni posisi kita dalam menghadapi pertanyaan kedua juga bisa berpengaruh sampai batas tertentu atas nasib dan natijah pertanyaan pertama.
Seseorang yang menjawab pertanyaan pertama dengan keyakinan bahwa seluruh agama-agama mendapat saham dari hakikat, maka jawabannya terhadap pertanyaan kedua tentu akan berbeda dengan jawaban seorang yang berpandangan eksklusivisme.
Jawaban Pengikut Eksklusivisme Terhadap Rahasia Kemunculan Kejamakan Agama-agama
Para pengikut eksklusivisme berkaitan dengan masalah ini menyatakan:
1.Agama-agama Ilahi memiliki perbedaan secara gradual, mereka semua memberitakan kesatuan mabda (starting-point) dan maad (ending-point), agama yang datang belakangan mengandung kesempurnaan-kesempurnaan agama-agama sebelumnya ditambah kesempurnaan yang hanya dimiliki olehnya. Dengan kedatangan agama wahyu baru maka pengikut-pengikut agama (lama) mempunyai taklif beriman kepada nabi baru dan ajaran-ajaran wahyu yang dibawanya, akan tetapi dikarenakan oleh 'inad dan mengikuti hawa nafsu maka sebagian mereka tidak mengamalkan taklif ini.
2.Kerumitan dan kekudusan perkara transendental dari satu sisi dan parameter pemahaman manusia di sisi lain serta komparasinya dengan perkara transendental menyebabkan timbulnya penafsiran yang berbeda-beda, kendatipun dalam agama-agama Ilahi telah diperlihatkan parameter dan tolok ukur yang sahih tentang interpretasi manusia terhadap perkara transendental dan kudsi.
Tinjauan ini dapat dilihat lewat bukti-bukti sejarah dari sudut pandang banyaknya terjadi penyimpangan dan distorsi (tahrif), penyimpangan yang terjadi secara natural, perubahan kapasitas insani, dan perbedaan-perbedaan historis, serta pada saat yang sama dalam masalah hakikat dan kebenaran agama memandang hanya satu agama yang hak secara mutlak dan kebenaran agama-agama lainnya diukur dengan kedekatan mereka terhadap agama yang diyakini mempunyai kebenaran hakiki.
Jawaban Pengikut Pluralisme Tentang Rahasia kemunculan Agama-agama
Para pengikut pluralisme dalam masalah rahasia keragaman agama-agama dan mazhab-mazhab menyatakan: Munculnya kejamakan agama-agama dikarenakan hakikat pada batas dzatnya adalah jamak dan setiap agama menjelaskan satu sudut dari hakikat yang banyak tersebut serta tidak satupun agama yang dapat melihat dan menerangkan seluruh hakikat tersebut; sebab agama adalah suatu perkara human (manusia) dan semua manusia bahkan para nabi terperangkap dalam keterbatasan-keterbatasan makrifat khusus dan setiap orang dapat memandang satu sudut daripada hakikat, maka konklusinya setiap orang melihat satu pojok dari itu, bukan seluruhnya. Oleh karena itu, secara natural dan dikarenakan oleh beragamnya kaum dan bangsa maka para nabi pun adalah banyak dan natijahnya agama-agama juga adalah banyak dan beragam; sebab Tuhan memberi hidayah pada kaum dan bangsa berdasarkan budaya, tradisi, dan adab khusus setiap kaum dan bangsa serta menurunkan suatu agama yang cocok dengan budaya, tradisi, dan adab kaum dan bangsa tersebut.
Dengan tinjauan ini maka jawaban terhadap pertanyaan pertama dapat dikatakan: Seluruh agama-agama, dengan segenap perbedaan yang mereka miliki, mendapatkan saham akan hakikat dan setiap dari mereka merupakan jalan lurus (mustaqim) untuk mencapai pada Tuhan.
Pertanyaan ketiga sebelumnya berkenaan tentang mengapa di zaman kita ini sekelompok orang menerima kejamakan hakikat-hakikat dan di zaman lalu tidak menerima yang demikian. Dengan kata lain peristiwa apa dan perubahan apa yang terjadi sehingga hari ini sebagian orang memilih pluralisme agama-agama dan membela pandangan tersebut.
Pertanyaan keempat juga mempunyai sisi praktis, bukan teoritis dan kembali pada aspek moralitas, bukan dimensi epistemologis. Yakni bagaimana para penganut agama tertentu bermuamalah dengan pengikut agama-agama lainnya, apakah mesti bertoleransi dan hidup berdampingan menerima perbedaan dengan mereka ataukah menabuh genderang perang serta perselisihan dengan mereka, ini berhubungan dengan cara bersikap dan berprilaku di antara para pengikut agama-agama yang berbeda satu sama lain.
Apa yang dikatakan oleh logika agama dalam hal ini? Apa yang diputuskan oleh logika kemanusiaan dalam menghadapi masalah ini? Semuanya itu terungkap di masyarakat kita sekarang ini dan masuk di bawah pembahasan kejamakan agama atau pluralisme agama. Dan dalam hal ini bermunculan berbagai jawaban tentang empat pertanyaan mendasar tersebut yang tidak kosong dan lepas dari kesalahan dan ambiguitas.
Ada beberapa terma pluralisme dalam agama yang digunakan dan mempunyai makna yang berbeda, di antaranya:
1. Toleransi di antara pengikut agama-agama yang berbeda
Makna pluralisme dalam hal ini idem dito dengan toleransi, yakni hidup rukun dan bersikap toleran terhadap pengikut agama-agama lainnya demi menghindari perselisihan dan peperangan di antara penganut-penganut agama-agama. Dalam terma ini, kejamakan atau kebhinekaan diterima sebagai kenyataan kemasyarakatan, yakni pengikut setiap agama dan mazhab disatu sisi berkeyakinan bahwa hanya agama dan ajaran mereka saja yang benar serta penyelamat, namun di sisi lain menerima muamalah dan pergaulan kemasyarakatan pengikut agama dan mazhab lain, serta mempunyai sikap saling menghormati, saling menghargai dan saling toleran.
2. Tersebarnya saham-saham hakikat pada setiap agama
Makna kejamakan agama dan pluralisme agama dalam bentuk ini adalah bahwa hakikat agama yang datang dari Tuhan hanya satu tapi mempunyai wajah dan rupa yang beragam. Perbedaan di antara agama-agama tidak pada tataran substansi tetapi dalam tataran pemahaman setiap agama. Sejumlah orang memahami perkara Tuhan dalam suatu bentuk maka mereka menjadi penganut Yahudi, sekelompok lainnya memahami dalam bentuk lain maka menjadi pengikut Nasrani, dan segolongan lain berikutnya memahami dalam bentuk lain juga maka mereka menjadi orang-orang Islam. Demikian pula pengikut agama-agama lain seperti Majusi, Budha, Tao, Hindu, Kongfucu, dan lainnya, mereka memahami perkara Tuhan dalam bentuk lain sehingga mereka penganut agama-agama tersebut. Menurut teori ini setiap nabi atau cendekiawan agama memahami dan menjelaskan satu bentuk dari hakikat , dan dari dimensi ini maka timbul sebagian berpandangan tauhid, sebagian trinitas, dan sebagian lagi berpandangan politeisme. Tidak ada seorang pun yang berhak memandang unggul pemahamannya di atas pemahaman lainnya, sebab sesuai dengan pandangan ini tidak satu jalan lurus yang bersifat mutlak benar, akan tetapi terdapat jalan-jalan lurus yang semuanya mengandung kebenaran.
3. Semua agama benar dan hak
Makna kejamakan agama-agama atau pluralisme agama dalam hal ini adalah pandangan bahwasanya hakikat mutlak, kesempurnaan, kebahagiaan, dan keselamatan ukhrawi tidak terbatas pada satu agama dan satu syariat, akan tetapi hakikat mutlak adalah sama di antara semua agama dan syariat. Agama dan syariat yang berbeda-beda pada dasarnya merupakan manifestasi dan mazhar dari hakikat mutlak, dan natijahnya semua agama dan syariat adalah benar dan hak serta memperoleh petunjuk, keselamatan, dan kebahagiaan.
Berbagai Sikap dalam Berhadapan dengan Kejamakan Agama
Dalam berhadapan dengan masalah kejamakan agama, telah muncul berbagai sikap dan pemikiran tentangnya.
1.Para pengikut Naturalisme dengan bersandar pada perbedaan agama-agama, memandang bahwa semuanya itu merupakan hasil mental, bahasa, potensi pikir, dan kejiwaan manusia, dan mereka menghukumi semua itu adalah batil, khayali, dan imajinatif.
2.Para pengikut pandangan kesatuan agama-agama berkeyakinan bahwa substansi agama-agama adalah satu; semuanya berada dalam pencarian hakikat final dan kesempurnaan mutlak; mereka berbeda dalam jelmaan dan menyatu dalam hakikat. Seluruh agama-agama berkeinginan menyampaikan manusia dari penyembahan diri dan egoisme kepada penemuan kebenaran dan penyembahan Tuhan.
3.Para pengikut Inklusivisme juga seperti pengikut eksklusivisme, mereka menegaskan pada kebenaran hanya satu agama, namun juga berpandangan bahwa agama-agama lainnya mempunyai saham dalam hakikat serta berkeyakinan bahwa agama-agama lainnya pada dimensi batin dan dalam bentuk kandungan berserikat dengan agama yang satu tersebut dalam haqqâniyyah. Oleh karena itu, pengikut Inklusivisme dari satu segi juga seperti pengikut pluralisme, yakni mereka berkeyakinan bahwa berkat inayah dan taufik Tuhan dalam bentuk manifestasi-Nya dalam berbagai sisi pada agama-agama maka setiap orang dapat saja mendapatkan keselamatan dan kebahagiaan hatta orang tersebut tidak pernah mendengarkan prinsip agama hak dan tidak mendapatkan pengajaran serta bimbingannya.
4. Para pengikut pluralisme agama-agama memandang bahwa semua agama-agama berada dalam hak dan mengatakan bahwa agama-agama adalah jalan-jalan yang berbeda yang akan berakhir pada tujuan yang satu. Kendatipun hakikat dan realitas itu hanya satu, namun di saat hakikat tersebut tersentuh oleh pemikiran dan pengalaman keagamaan maka ia mendapatkan bentuk keragaman. Oleh karena itu, lantaran seluruh agama-agama mendapatkan saham dari hakikat maka dalam hal keselamatan dan kebahagiaan juga semuanya berserikat.
5. Para pengikut Eksklusivisme berkeyakinan bahwa di antara agama-agama yang ada ini hanya satu yang hak secara mutlak dan yang lainnya adalah batil. Kebenaran, keselamatan, kesempurnaan, dan kebahagiaan serta apa saja yang menjadi tujuan final daripada agama terbatas hanya pada satu agama tertentu, atau hanya bisa diperoleh lewat satu agama khusus. Dan adapun agama-agama yang lain kendatipun mengandung saham kebenaran tetapi dibanding dengan agama hak, semua adalah batil. Oleh karena itu, menurut pengikut mazhab eksklusivis para penganut agama-agma lain, kendatipun mereka taat beragama dan dari tinjauan moralitas mereka adalah orang-orang yang berakhlak baik, namun mereka tetap tidak akan dapat memperoleh kebahagiaan dan keselamatan ukhrawi lewat agama mereka sendiri.
Kelima aliran pemikiran yang kami sebutkan di atas telah mewarnai wacana kejamakan dan keragaman agama, dan saatnya nanti kami akan mengurai teori dan pandangan mereka tentang masalah ini serta berusaha melakukan kritik terhadapnya.
Hasan Kâmrân, Takatssur Adyân Dar Buteh-e Naqd, Hal. 17Ibid, Hal. 18.
Pluralisme Dîni Dar Buteh-e Naqd, Hal. 41