') //-->
Imam Bukhari dan Imam Muslim
meriwayatkan bahwa Rasulullah saw ketika didatangi oleh malaikat Jibril dengan
membawa ayat: “Bacalah hai Muhammad dengan nama Tuhanmu yang telah
menciptakan,” sampai ayat ke-5 dari surat Al-`Alaq, beliau pulang ke rumahnya
dalam keadaan gemetar dan dan menggigil. Lalu beliau berkata kepada Khadijah:
“Aku menghawatirkan diriku.” Lalu Khadijah berkata: “Bergembiralah! Demi Allah,
Dia tidak akan menghinakan (menjerumuskan)mu selama-lamanya.” Lalu Khadijah
pergi bersama Rasul menemui Waraqah bin Naufal–pada zaman Jahiliyah dia seorang
yang beragama Nasrani. Lalu Rasulullah saw memberitahu apa yang telah beliau
lihat. Waraqah berkata: “Inilah namus (wahyu atau Jibril) yang pernah
diturunkan kepada Musa.1 Karena ucapan Waraqah, Nabi menjadi tenang dalam
menjalani masa depannya. Jika bukan karena ucapan Waraqah, dia (Rasul) sudah
ingin terjun dari tebing gunung—demikianlah yang diriwayatkan Ibnu Sa`ad dalam
Thabaqat-nya).
Adapun riwayat lengkapnya sebagai berikut:
“Takkala Nabi saw sedang menyendiri di gua Hira’, tiba-tiba beliau mendengarsuara menggema memanggil-manggilnya. Beliau ketakutan dan mengangkat kepalanya.Tidak disangka-sangka beliau melihat sosok makhluk yang menakutkan sedangmemanggilnya. Lalu beliau pun bertambah takut dan tidak dapat bergerak maju danmundur. Kemudian beliau berusah memalingkan wajahnya dari makhluk yangmenyeramkan itu, namun yang dilihatnya itu meliputi langit semuanya.”
Tragedi dramatis itu berjalan beberapa saat dan beliau pun tidak dapatmengontrol dirinya dan lupa akan jiwanya, sehingga hampir saja beliau mengambilkeputusan untuk nekat terjun dari puncak gunung karena begitu berat beban rasatakutnya. Pada saat itu Khadijah mengutus seseorang untuk mencari Nabi di guaHira’ namun tidak menemukannya.
Kemudian setelah sosok wajah yang menyeramkan itu sirna dari penglihatan Nabi,beliau kembali dengan segala macam ketakutan dan kegelisahan yang meliputinya.Akhirnya beliau sampai di rumahnya dalam keadaan gemetar seperti menderitapenyakit demam. Beliau memandang istrinya dengan sayu dan lesu seakan-akanminta pertolongan dan perlindungan. Beliau berkata: ‘Hai Khadijah, apakahgerangan yang sedang kualami?” Kemudian beliau pun menceritakan semua kejadianyang dialaminya, dan merebahkan diri dalam dekapan Khadijah dengan ketakutanyang membayanginya; perasaan yang mungkin hanya merupakan tipuan mata. Beliau
berkata: “Aku mengkhawatirkan diriku dan aku yakin bahwa aku telah kemasukan
jin.”
Khadijah tidak tega dan dan memandangnya dengan penuh keprihatinan dankeharuan, seraya berkata: “Tidak, wahai suamiku. Bergembiralah dan teguhkanlahhatimu. Demi Allah, dia tidak akan mengecewakanmu. Mak demi Dzat yang nyawaKhadijah di tangan-Nya, sesungguhnya saya mengharapkan engkau menjadi nabi umatini. Engkau selalu menjalin ikatan tali keluarga, menghormati tamu, menolongyang lemah, dan engkau tidak pernah melakukan kejelekan sama sekali.” Begitulahseterusnya ia berusaha menenangkan dan menghibur hati suaminya dengan kata-katayang menyenangkan.
Kemudian Khadijah mengadakan percobaan yang membawa keberhasilan. Ia berkata:“Hai suamiku, beritahukan kepadaku tentang orang yang mendatangimu itu!” Beliaumenjawab: “Ya.” Ia berkata lagi: “Maka jika ia nanti mendatangimu kembaliberitahulah aku.” Tidak lama kemudian malaikat itu pun datang kembali, laluRasulullah saw berkata: “Hai Khadijah, inilah dia telah datang kepadaku.” LaluKhadijah berkata: “Ya, berdirilah dan duduklah di paha kiriku.” Nabi menurutiperintahnya dan duduk di paha kirinya. Khadijah bertanya: “Apakah engkau masihmelihatnya?” Nabi menjawab: “Masih.” Setelah itu, beliau pindah ke paha kanan
istrinya. Dan Khadijah bertanya lagi: “Apakah engkau masih melihatnya?” Beliau
menjawab: “Ya.” Khadijah lalu berkata: “Pindahlah ke pangkuanku!” Beliau
mematuhi perintahnya dan duduk di pangkuan Khadijah. Kemudian Khadijah membuka
dan melemparkan kerudungnya, dan Rasul masih duduk terdiam di pangkuannya.
Khadijah bertanya untuk ketiga kalinya: ““Apakah engkau masih melihatnya?” Kali
ini Rasulullah saw menjawab: “Tidak.” Khadijah lalu berkata dengan penuh
keceriaan: “Hai suamiku, gembiralah dan tetaplah teguh! Ia adalah malaikat dan
bukanlah setan.”
Untuk meneguhkan percobaan yang pernah dilakukan dengan penuh keberhasilan itu,maka Khadijah menuju saudara sepupunya yang bernama Waraqah bin Naufal, seorangpenganut agama Nasrani, yang rajin membaca kitab kuno dan buku-buku agama.Ternyata Waraqah berkata dengan mantap: “Mahasuci! Seandainya engkaumempercayaiku wahai Khadijah! Ia telah didatangi oleh an Namus (Jibril) yangpernah mendatangi Musa as, maka katakanlah kepadanya, hendaklah ia tetap tabahdan selalu teguh. Ia sesungguhnya adalah Nabi bagi umat ini. Seandainya akuditakdirkan hidup di zaman ini, niscaya aku akan beriman kepadanya.”
Kemudian Khadijah pulang menemui suaminya dan menceritakan apa yang telah iadengar dari Waraqah. Setelah itu, Nabi saw menjadi tenang dan dapat menguasaidirinya. Seketika itu pula ketakutannya sirna. Hal ini menimbulkan keyakinanyang mantap pada dirinya, bahwa ia adalah seorang Nabi.2
Sanggahan atas Riwayat Tersebut
Nabi saw sangat mulia di sisi Allah. Tidak mungkin beliau dilepaskan begitusaja dalam kegelisahan dan ketakutan di saat-saat kritis yang merupakandetik-detik perubahan besar dalam lembaran hidup beliau. Masa transisi yangsangat vital dari seorang manusia sempurna yang bertanggung jawab atas dirinyasendiri, menjadi manusia utusan dan bertanggung jawab atas umat dan masyarakatseutuhnya. Sebelum memasuki babak yang menentukan dan kritis seperti itu,beliau telah melangkah maju ke depan ke arah kesempurnaan manusia yang sangatagung dan mulia dalam perjalanan yang dahsyat. Dimulai dari alam ciptaan
(manusia) menuju kepada Pencipta (Allah SWT), dan setelah mencapai puncak lalu
kembalilah ia ke alam ciptaan (makhluk) dengan membawa kebenaran dari yang Yang
Maha Pencipta sebagaimana yang digambarkan oleh seorang filosof, al Hakim
Shadruddin al Syirazi.
Dengan demikian dapat kita sadari bahwa detik-detik yang menentukan itumerupakan jalur penghubung antara dua perjalanan: perjalanan pergi danperjalanan kembali dalam situasi yang genting.
Mahasuci Allah, Ia tidak akan membiarkan kekasih-Nya mengalami kepedihan dankegelisahan, justru setelah ia sampai pada puncak pertemuan, di mana ia akandipilih sebagai utusan-Nya kepada manusia. Tidak mungkin Dia membiarkannyadalam ketakutan yang membahayakan, kemudian menakutinya dengan wajah yang serbamenyeramkan sehingga beliau hampir tidak mampu lagi untuk mengendalikandirinya, terkacaukan jalan pikirannya dan nyaris membawa kematian akibatmakhluk tersebut.
Bukankah Muhammad lebih mulia di sisi Allah daripada Ibrahim al Khalil, Musa alKalim, dan nabi-nabi yang lain? Mereka tidak ditinggalkan sendirian padasaat-saat yang genting seperti itu sehingga meminta bantuan kepada orang lain.Muhammad saw adalah lebih mulia daripada mereka.
Sungguh mengherankan analisa ahli sejarah yang mengutamakan logika seorangKhadijah yang sebelumnya tidak mengetahui sama sekali tentang rahasia-rahasiadan isyarat kenabian daripada seorang manusia sempurna dan utama, yang telahmemikul misi Allah SWT. Kemudian Khadijah mengadakan percobaan yang dimengertiapa maksudnya oleh Rasulullah saw dalam upaya meyakinkan perkataannya dandidukung oleh perkataan Waraqah bin Naufal.
Aneh sekali ketika terdapat keyakinan dan perasaan puas pada diri Nabi saw saatmendengar keterangan dari istrinya dan kesaksian yang diberikan oleh pendetatua—Waraqah bin Naufal. Sehingga beliau dapat diyakinkan bahwa yang datang ituwahyu dari Allah Yang Maha Mulia dan Maha Bijaksana? Jika dikatakan bahwaWaraqah membaca kitab-kitab kuno, maka kami bertanya, apakah ada di zaman itukitab-kitab agama yang tidak mengalami perubahan dan campur tangan manusia?Bukankah mimpi yang pernah dialami Nabi Muhammad saw itu benar adanya? Bukankahucapan salam yang diucapkan oleh Jibril pada awal pertemuan, assalamu alaikum
wahai pesuruh Allah, telah beliau dengar? Begitu pula ucapan salam dari setiap
pepohonan dan bebatuan setiap kali beliau lewat di depannya dalam perjalanan
pulan kembali ke rumah Khadijah? Bukankah beliau menyadari sepenuhnya apa yang
dirasakan dirinya selama beliau menyendiri di gua Hira’ sehingga beliau tidak
perlu diyakinkan oleh istrinya dan pendeta Nasrani itu? Justru keberadaan
beliau di gua Hira' berangkat dari kesadaran spiritual dan usaha untuk
mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk konsentrasi penuh menjemput wahyu.
Khalwat adalah cara terbaik yang beliau pilih sebagai sarana perenungan dan
media tafakur yang paling efektif dimana jauhnya beliau dari kebisingin duniawi
dan polusi syirik yang menghiasi wajah kota Mekah membuat beliau mau tidak mau
harus memilih tempat "yang sehat dan segar". Dan, gua Hira adalah
pilihan terbaik untuk merealisasikan tujuan ini.
Lagi pula, jika memang riwayat itu benar, mengapa Waraqah tidak segera berimanpadahal ia tahu bahwa beliau (Muhammad) adalah seorang Nabi?
Terbukti di dalam sejarah bahwa Waraqah meninggal dalam keadaan belum beriman.Sedangkan riwayat yang menyatakan bahwa Nabi saw melihatnya dalam mimpi bahwaWaraqah sedang mengenakan pakaian putih adalah maudhu` (palsu dan tak dapatdipercaya). Sebab jalur riwayatnya terputus dan tidak bersambung. Jika memangterbukti bahwa ia masuk Islam dan beriman, maka sudahlah pasti namanya akantercantum di dalam golongan orang-orang yang beriman pada permulaan Islam (assabiqunal awwalun).
Ibu Asakir berkata: “Saya belum pernah menemukan seseorang pun yang mengatakanbahwa ia (Waraqah) telah masuk Islam.”2 Waraqah masih hidup beberapa waktusejak Nabi diutus. Bahkan telah disebutkan dalam sebuah riwayat bahwa Waraqahpernah berjalan dan melihat Bilal sedang disiksa.3
Jadi, Muhammad saw tidak pernah mengalami stres saat menerima wahyu. Beliauberada di puncak kesadaran dan mengerti bahwa yang datang kepada beliau ituadalah Jibril yang membawa pesan-pesan Ilahi untuknya dan umatnya. Bahkan atasnikmat agung risalah ini, beliau sangat bergembira. (Mas Alcaff)