') //-->
Kita harus senantiasa dalam kesadaran penuh, dan yakin bahwa apapun yang kita lakukan selalu ada yang menyaksikannya. Dan kelak di hari pertanggungjawaban, mereka akan memberikan kesaksian, tanpa ada sedikitpun yang terluput. Lewat firman-firman-Nya yang suci dan terjaga, yang termaktub dalam Al-Qur’anul Karim, Allah SWT menyampaikan siapa saja yang akan menjadi saksi atas setiap perbuatan kita.
“Dan katakanlah, “Beramallah kamu, maka Allah dan rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat amalmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu Dia memberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Qs. At-Taubah: 105).
Semoga ayat ini selalu menjadi pengingat bagi kita. Bahwa setiap amal yang kita lakukan, disaksikan oleh Allah, Rasul-Nya dan orang-orang beriman. Dalam terminologi Syiah, orang-orang beriman yang dimaksud adalah para maksumin as. Bagi yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, maka merasa selalu disaksikan adalah juga bagian dari keyakinan yang mesti menghujam dalam ke sanubari. Keyakinan merasa disaksikan adalah termasuk derajat tinggi dalam maqam keimanan seseorang. Ketika ditanya apakah ihsan itu, Nabi Muhammad saww menjawab, “Ihsan adalah kamu beramal seakan-akan melihat Allah, kalau kamu tidak bisa melihatnya, maka yakinlah, Allah menyaksikanmu.”
Di sini kita merasa perlu mengajukan pertanyaan, mengapa Allah harus mengikutkan Rasul-rasul-Nya dan orang-orang beriman sebagai saksi, dan tidak cukup dengan Dia saja yang menjadi saksi?. Di sini Allah ingin menunjukkan keMaha Kuasaan-Nya, merasa disaksikan oleh Rasul-rasul-Nya dan para Aimmah as, mendidik kita untuk menjadi insan yang tahu berterimakasih. Mengingatkan kita, bahwa keimanan dan keyakinan yang benar kita kepada Allah SWT tidak datang serta-merta, namun melalui perantaraan mereka. Mengingatkan kita akan dakwah dan perjuangan mereka yang penuh pengorbanan. Keyakinan disaksikan oleh mereka, mendidik kita bahwa ada manusia-manusia yang pada hakikatnya seperti kita juga, semasa hidup mereka layak sebagaimana kesibukan kita, beraktivitas sebagaimana biasanya, makan, minum, berjalan, bekerja dan beristrahat. Namun kemudian, mendapat posisi yang teramat istimewa di sisi Allah, karena ketakwaan dan loyalitas mereka di jalan Allah. Karenanya, untuk menjadi orang-orang yang didekatkan di sisi Allah sebagaimana mereka, menjadi sebuah keniscayaan bagi kita untuk mengenal dan menjadikan mereka sebagai suri tauladan dalam kehidupan kita. Di antara hikmahnya pula, kita akan merasa senantiasa punya keterikatan dan kedekatan maknawi dengan para Anbiyah as dan para Aimmah as, bahwa diantara bentuk keadilan Ilahi disetiap masa, umat manusia bisa merasakan keberkahan akan kehadiran mereka. Kalau mereka menjadi saksi atas setiap perbuatan kita, maka apa yang menghalangi mereka untuk menjadi penolong, ketika berseru kepada mereka?. Allah SWT berfirman, “Tiada seorangpun yang akan memberi syafa’at kecuali sesudah ada izin-Nya.” (Qs. Yunus: 3). Syafa’at dan berbagai bentuk pertolongan semuanya pada hakikatnya datangnya dari Allah, melalui perantara orang-orang yang di ridhai-Nya. Dan adakah, yang lebih diridhai Allah melebihi keridhaan-Nya kepada para Anbiyah as dan Aimmah as?. Allah SWT berfirman, “Dia mengetahui yang ghaib, tetapi Dia tidak memperlihatkan kepada siapapun tentang yang ghaib itu, kecuali kepada Rasul yang diridhai-Nya..” (Qs. Al-Jinn: 27).
Karenanya, tidak ada hujjah apapun bagi kita, bahwa dengan wafatnya para Rasul ataupun kegaiban imam di masa kita, menjadikan kita berkeyakinan bahwa mereka adalah sekedar orang-orang yang telah berlalu dan tidak memiliki sangkut paut apapun dalam kehidupan keseharian kita. Bersama Allah, mereka menyaksikan apapun yang kita lakukan. Mereka ikut bangga dan turut mendo’akan ketika yang kita lakukan adalah kebaikan, begitupun sebaliknya, betapa malu dan geramnya jika mengaku sebagai pecinta mereka namun yang dilakukan justru keburukan demi keburukan. Imam Husain as bersabda, “Bukanlah pedang-pedang terhunus di Karbalalah yang melukaiku, yang melukaiku adalah kemaksiatan-kemaksiatan yang dilakukan orang-orang yang mengaku sebagai pecintaku.”
Setiap hendak melakukan sesuatu, semoga firman Allah SWT berikut senantiasa menjadi pengingat kita.
"Kalau begitu…” kata Allah, “ Saksikanlah (Hai para nabi) dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kamu." (Qs. Ali-Imran: 81)
“Tiada satu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (Qs. Qaf: 18).
Saksi selanjutnya adalah para malaikat. Mereka atas perintah Allah SWT tidak sekedar mengawasi dan menyaksikan saja apa yang sedang dan telah kita perbuat, namun lebih dari itu mereka mencatatnya dengan catatan yang sangat detail. Allah SWT berfirman, “Inilah kitab (catatan) Kami yang menuturkan terhadapmu dengan benar. Sesungguhnya Kami telah menyuruh mencatat apa yang telah kamu kerjakan." (Qs. Al Jaatsiyah: 29). Kelak di hari perhitungan hisab, malaikat akan memberikan kesaksiannya dengan memberikan catatannya kepada tiap-tiap manusia. Allah SWT berfirman, “Dan Kami keluarkan baginya pada hari kiamat sebuah kitab yang dijumpainya terbuka.” (Qs. Al-Isra’: 13). Dari penjelasan Al-Qur’an, ada tiga cara malaikat memberikan catatannya atas amal-amal perbuatan manusia.
Pertama, memberikannya dari sebelah kanan, “Adapun orang-orang yang diberikan kepadanya kitabnya dari sebelah kanannya, maka dia berkata: "Ambillah, bacalah kitabku (ini)." (Qs. Al Haaqqah: 19). Dalam lanjutan ayat ini kita membaca, bahwa orang-orang yang diberikan kitab dari sebelah kanannya adalah mereka yang semasa hidupnya di dunia sangat yakin bahwa kelak apapun yang mereka lakukan akan diperhitungkan dan dimintai pertanggungjawaban. Karenanya, mereka hanya sibuk melakukan amalan-amalan kebaikan, kata mereka, “Sesungguhnya aku yakin, bahwa (suatu saat) aku akan menerima perhitungan terhadap diriku.” (Qs. Al-Haaqqah: 20). Keyakinan inilah, yang akan membentengi seseorang dari berniat ataupun hendak melakukan keburukan-keburukan, sebab kemaksiatan dan dosa-dosa hanya akan mengotori catatan amalnya. Allah SWT berfirman kepada mereka yang menerima kitab catatan amalnya dari sebelah kanan, “Makan dan minumlah dengan nikmat, karena amal yang telah kamu kerjakan di hari-hari yang lalu.” (Qs. Al-Haaqqah: 24).
Kedua, memberikannya dari sebelah kiri., “Dan adapun orang yang kitabnya diberikan dari sebelah kirinya, maka dia berkata, ‘Alangkah baiknya jika kitabku (ini) tidak diberikan kepadaku.” (Qs. Al-Haaqqah: 25). Bagi yang menerima catatan amalnya dari sebelah kiri yang ada hanyalah penyesalan. Ia sendiri malu kalau sampai harus membaca sendiri kitab catatan amalnya, sehingga menganggap lebih baik, jika catatan itu tidak diperlihatkan saja. Mereka adalah orang-orang yang semasa hidupnya tidak beriman kepada Allah, tidak juga kepada para malaikat pengawas yang mencatat amal perbuatannya, sehingga kesibukannya adalah memperturutkan apa yang dikehendakinya. Setelah menerima kitab amalnya dari sebelah kiri, Allah SWT berfirman kepada mereka, “Ambillah dia, lalu belenggulah tangannya ke lehernya. Kemudian masukkanlah dia ke dalam api neraka yang menyala-nyala. Kemudian belitlah dia dengan rantai yang panjangnya tujuh puluh hasta. Karena dia dahulu tidak beriman kepada Allah Yang Maha Besar, dan juga tidak menganjurkan kepada (orang lain) untuk memberi makan orang miskin. Maka ia tidak memiliki seorang teman pun pada hari ini di sini, dan tiada (pula) makanan sedikit pun kecuali dari darah dan nanah, yang tidak akan dimakan kecuali oleh orang-orang yang berdosa.” (Qs. Al-Haaqqah: 30-37).
Ketiga, memberinya dari arah belakang, “Adapun orang-orang yang diberikan kitabnya dari belakang. Maka dia akan berteriak, “Celakalah aku”, dan dia akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).” (Qs. Al Insyiqaaq: 10-12). Saya terpancing untuk membayangkan, saking geramnya malaikat pencatat, maka ia menyerahkan catatannya dengan cara melempari punggung pemiliknya, tidak menyerahkan dengan menunggu sipemiliknya berbalik terlebih dahulu. Pada kelompok ini, mereka bukan hanya tidak beriman kepada Allah, mereka bahkan yakin bahwa mereka tidak akan dikembalikan kepada-Nya. Lebih dari itu, mereka malah bangga dan bergembira telah melakukan dosa-dosa. Kebanggaan atas dosa-dosalah yang malah mendorong seseorang untuk cenderung memperbanyak dosa. Catatan amalnya penuh oleh tumpukan dosa-dosa dan sepah-sepah kekejian.
Lebih dari itu, bukan hanya malaikat pencatat saja yang mengetahui apa yang telah tercatat dari kitab catatan amalan-amalan kita, namun juga malaikat-malaikat yang tinggi kedudukannya di sisi Allah, “(Yaitu) kitab yang tertulis, yang disaksikan oleh para malaikat yang didekatkan kepada Allah (muqarrabin).” (Qs. Al-Muthafifin: 20-21).
Semoga dengan menyadari keberadaan dua malaikat pengawas di sisi kanan dan kiri kita yang tak pernah luput dari mencatat apapun yang kita lakukan, mendorong kita untuk senantiasa berbuat kebaikan dan malu jika keduanya harus menorehkan catatan hitam dalam catatan amal kita, yang di hari akhirat kelak, akan dibukakan dan diperlihatkan kepada semua penghuni langit, “(Ingatlah) suatu hari betis tersingkap (lantaran rasa takut yang menguasai) dan mereka dipanggil untuk bersujud, tapi mereka tidak kuasa, (dalam keadaan) pandangan mereka tertunduk ke bawah, lagi mereka diliputi kehinaan. Sesungguhnya mereka dahulu (di dunia) telah diseru untuk bersujud, ketika mereka dalam keadaan sejahtera. (Tapi sekarang mereka tidak mampu lagi untuk itu).” (Qs. Al-Qalam: 42-43).
“Dan tak ada sesuatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka.” (Qs. Al-Isra’: 44)
Saya pilih ayat ini, untuk memberikan kita keyakinan, bahwa sesungguhnya segala yang maujud di alam semesta ini pada hakikatnya memiliki perasaan, ilmu dan kemampuan. Dari firman Allah SWT tersebut, sangat gamblang menjelaskan bahwa segala sesuatu bertasbih kepada Allah SWT. Hanya saja, kita tidak mengerti dan mampu memahami bagaimana tasbih mereka. Gunung, awah, curahan hujan, benda-benda langit, tanah, pepohonan dan binatang-binatang semuanya di alam maujud ini bertasbih dan senantiasa memuji Allah dengan caranya sendiri-sendiri. Allah SWT berfirman, “Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) sepertimu.” (Qs. Al-An’am: 38).
Oleh manusia-manusia pilihan dan yang diridhai-Nya, tasbih-tasbih dan bentuk peribadatan segala benda-benda yang cenderung kita klaim sebagai benda mati mampu mereka pahami dan dengarkan. Diriwayatkan, setiap Nabi Daud as membaca kitab Zabur yang memuat firman-firman suci Allah yang diwahyukan kepadanya, dia mendengar benda-benda di sekelilingnya mengulang-ulangi apa yang dibacanya. Beliau mendengarkan suara tasbih dan munajat yang dipanjatkan lirih oleh gunung, pintu, dinding rumah, pepohonan dan burung-burung. Allah SWT berfirman, “Hai gunung-gunung dan burung-burung, bertasbihlah berulang-ulang bersama Daud.” (Qs. Saba’: 10). Diriwayatkan pula, suatu hari Rasulullah saww mendengarkan rintihan tangis dari sebuah pohon kurma. Ia bersedih karena sebelumnya setiap Rasulullah saww menyampaikan khutbahnya, Nabi sering menyandarkan tubuh mulianya di batangnya. Setelah dibuatkan mimbar oleh sahabat-sahabatnya, maka sejak saat itu Rasulullah saww menyampaikan khutbahnya di atas mimbar. Untuk menghentikan tangisnya, Nabi pun seringkali mendekap untuk menenangkannya. Sayang, sepeninggal Nabi, pohon yang sangat mencintai dan dicintai Nabi ini, atas perintah khalifah kedua, ditebang dan disingkirkan.
Dari riwayat tersebut, tersampaikan, segala benda yang ada disekitar kita, bukan hanya sekedar mampu bertasbih dan memuji Allah saja, namun juga memiliki perasaan sebagaimana manusia. Mereka diberi kemampuan oleh Allah untuk bisa melihat dan mendengar apapun yang kita lakukan. Mereka bisa memberi respon kecewa, marah, sedih ataupun turut bahagia atas apa-apa saja yang telah menjadi kesibukan dan kesenangan kita. Namun mereka hanya bisa diam, terpaku dan sekedar membiarkan saja apapun yang hendak kita lakukan. Mereka tidak punya kuasa apa-apa, sampai hari, dimana Allah memberikan kemampuan kepada mereka untuk membeberkan aib dan memberikan kesaksian.
Allah SWT berfirman, “Apabila bumi digoncangkan dengan goncangan (yang dahsyat) dan bumi telah mengeluarkan beban berat (yang dilindungi)nya, dan manusia bertanya, “Mengapa bumi (jadi begini)?.” Pada hari itu, bumi menceritakan beritanya, karena sesungguhnya Tuhanmu telah memerintahkan yang demikian itu kepadanya.” (Qs. Al-Zalzalah: 1-5).
Dari ayat ini, Allah menjelaskan bahwa bumipun kelak di yaumul hisab, akan memberikan kesaksiannya. Meskipun secara dzahir beban berat yang dimaksud akan dikeluarkan bumi adalah batu-batuan, lahar, lumpur panas dan sebagainya, namun juga bisa kita tafsirkan, beban berat yang dimaksud adalah tumpukan aib-aib, dosa-dosa dan kekejian yang selama ini dilakukan umat manusia di atas permukaannya, yang bumi terasa berat lagi untuk menanggungnya, sehingga hari itu bumi menceritakan segala sesuatu yang dilihat dan didengarnya. “Pada hari itu, bumi menceritakan beritanya.” Kata Allah. Pada saat itu manusia betapa terkejutnya dan bertanya kepada bumi, “Mengapa engkau memberikan kesaksian yang memberatkanku?”. Bumi menjawab, “Karena Allah SWT telah memberikan izin kepadaku untuk berbicara. Hari ini adalah hari diungkapkannya segala aib dan cela. Kalaupun ketika di dunia aku diam itu karena aku belum mendapat izin saja untuk berbicara.”
Mullah Shadra ra, dengan bahasa irfani mengungkapkan, “Seluruh wujud mempunyai ilmu, perasaan, kemampuan dan kehendak, seukuran seberapa luas wujudnya.”
Pintu, dinding, meja, kursi, laptop, jam dinding yang berdetak, lampu, malam, siang, cahaya, kegelapan, botol-botol, gelas, ranjang, kelambu, sajadah dan debu-debu yang beterbangan setiap saat menyaksikan apa-apa yang kita lakukan. Kelak mereka akan menceritakan beritanya. Makanan dan minuman akan menuturkan kisahnya dengan cara apa ia diperoleh dan dihabiskan. Film-film dan gambar-gambar akan berbagi cerita. Sepatu, parfum dan pakaian yang kita kenakan, kesemuanya akan memberikan kesaksian, kemana dan untuk keperluan apa saja ia dikenakan.
Rasulullah saww bersabda, “Sesungguhnya berita yang akan disampaikan oleh bumi ialah bumi menjadi saksi terhadap semua perbuatan manusia, sama ada lelaki ataupun perempuan terhadap apa yang mereka lakukan di atasnya. Bumi akan berkata: Dia telah melakukan itu dan ini pada hari itu dan ini. Itulah berita yang akan diberitahu oleh bumi.” (HR. Imam Tirmizi).
Nah, mau kemana kita?. Kalau mau bermaksiat, silahkan cari tempat dimana tak satupun yang akan memberikan kesaksiannya kelak.
Allah SWT berfirman,“Pada hari itu manusia keluar dari kuburnya dalam aneka ragam kelompok, supaya diperlihatkan kepada mereka (balasan) pekerjaan mereka. Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.” (Qs. Al-Zalzalah: 6-8).
“Pada hari ini Kami tutup mulut mereka dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan bersaksilah kaki mereka terhadap apa yang dahulu telah mereka kerjakan”. (Qs.Yasin: 65)
Saksi selanjutnya adalah anggota tubuh sendiri. Diantara para saksi, bisa jadi kesaksian yang diberikan anggota tubuh sendirilah yang paling dramatis sekaligus menyakitkan. Semasa di dunia, anggota tubuh sepenuhnya taat pada majikannya. Ia dikendalikan sepenuhnya, untuk memegang, berjalan dan beraktivitas. Tanpa kita sadari mereka seolah-olah, teman yang sangat loyal dan setia. Namun di padang Masyhar, ketika manusia diperhadapkan di pengadilan Ilahi yang Maha Dahsyat, anggota tubuh kita malah membeberkan aib-aib dan kesalahan kita secara terang-terangan dan terbuka. Tangan yang selama ini menjadi sahabat terdekat, yang membantu terpenuhinya segala hasrat dan keinginan, yang membuat kita mampu menggenggam dan meraih segala impian dan cita-cita, atas kehendak Allah membeberkan tentang kekejian, kebohongan, pengkhianatan, kejahatan dan kemunafikan. Tidak ada yang luput dan meleset sedikitpun. Kaki yang dahulunya loyal dan setia dilangkahkan kemana saja, berkonspirasi untuk mengumbar kejahatan-kejahatan apa saja yang telah dilakukannya.
Allah SWT berfirman, “Pada hari (ketika) lidah, tangan, dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan. Di hari itu, Allah akan memberi mereka balasan yang setimpal menurut semestinya, dan tahulah mereka bahwa Allah-lah yang benar lagi yang menjelaskan (segala sesuatu menurut hakikat yang sebenarnya).” (Qs. An-Nur: 24-25).
Setiap anggota tubuh memberikan kesaksiannya atas amal-amal kita di dunia. Mata akan bersaksi atas apa yang dilihatnya, telinga bersaksi atas apa yang telah didengarnya, tangan berkisah tentang apa saja yang telah digenggam dan disentuhnya, kakipun menuturkan kembali riwayat perjalanannya layaknya reportase jurnalistik saking mendetailnya. Namun ada perlunya juga kita mengajukan pertanyaan, apa hikmahnya Allah memerintahkan kepada seluruh anggota tubuh untuk turut memberikan kesaksian?. Apakah saksi-saksi sebelumnya belumlah cukup?. Sebagaimana firman Allah SWT, “Dan manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah.” (Qs. Al-Kahfi: 54), di antara hikmahnya, kalau manusia masih bisa berkelit dan membantah kesaksian-kesaksian yang telah diberikan sebelumnya, namun dengan kuasaNya, anggota tubuh tidak bisa mengingkari berbagai hal yang telah dilakukannya, mereka akan menceritakannya sedetail-detailnya. Ditutup atau dikuncinya mulut, bukan berarti mulut terhalangi dari memberi kesaksian, melainkan maksudnya, mulut berbicara bukan lagi atas kehendak pemilik sebelumnya, semuanya telah kembali kepada Allah dan dengan izin-Nya, mulut dan lidahpun diperkenankan memberikan kesaksiannya.
Lidah, tangan dan kaki pada hari itu menjadi saksi-saksi nyata yang tak terbantahkan lagi, mengingat kebersamaannya selama di dunia dalam kehidupan manusia. Bersama lidah, tangan dan kaki, kebajikan-kebajikan ditunaikan, bersamanya pula, kemaksiatan diselenggarakan. Bersamanya, pengabdian maupun pengkhianatan, kesetiaan maupun perselingkuhan berjalan saling tumpang tindih dan berebut pengaruh. Manusia bisa saja membantah dan mengelak dari catatan amalnya, namun tidak kuasa lagi membantah, ketika anggota tubuhnya sendiri yang memberi kesaksian. Maka yang ada tinggal kepasrahan menanti nasib, tidak ada lagi daya dan upaya selain keputus asaan, karena persaksian telah menjadi kuat dan pembuktian sudah menjadi akurat.
“Dan (ingatlah) hari (ketika) para musuh Allah digiring ke dalam neraka lalu mereka dikumpulkan (semuanya). Sehingga apabila mereka sampai ke neraka, pendengaran, penglihatan dan kulit mereka menjadi saksi terhadap mereka tentang apa yang telah mereka kerjakan. Dan mereka berkata kepada kulit mereka, “Mengapa kamu menjadi saksi terhadap kami?” Kulit mereka menjawab, “Allah yang menjadikan segala sesuatu pandai berkata telah menjadikan kami pandai (pula) berkata, dan Dia-lah yang menciptakan kamu pada kali yang pertama dan hanya kepada-Nya-lah kamu dikembalikan. Kamu senantiasa menyembunyikan dosa-dosamu bukan sekali-kali lantaran kamu takut terhadap persaksian pendengaran, penglihatan, dan kulitmu terhadapmu, tetapi karena kamu mengira bahwa Allah tidak mengetahui kebanyakan dari apa yang kamu kerjakan. Dan ini adalah prasangka jelek yang kamu miliki sangka terhadap Tuhan-mu, prasangka itu telah membinasakan kamu, maka jadilah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (Qs. Fushilat: 19-23).
Yang tersisa hanyalah sebuah protes yang tak berarti, “Mengapa kamu menjadi saksi terhadap kami?”
Allah SWT menjawab, “ …agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah..”(Qs. An-Nisa: 165). (Ismail Amin)