Cakrawala Islam

1. Perspektif Umum Islam

Keuniversalan Hukum Islam

Islam mengamati hakikat manusia dengan segala dimensinya dan menyajikan program serta hukum-hukum untuk manusia dengan memperhatikan seluruh dimensi wujud yang dimilikinya. Sementara aliran-aliran lain telah melalaikan perhatian atau tidak mampu menggapai seluruh dimensi dan kebutuhan-kebutuhan manusia ini. Sebagian dari filosof Yunani kuno hanya memperhatikan dimensi non materi manusia dan menghindarkan diri dari pembicaraan yang berkaitan dengan dimensi materinya.

Diyuzan adalah salah satu aliran yang berkeyakinan bahwa kesempurnaan manusia terletak pada ketiadaan perhatian terhadap badan dan mekanisme materi. Tentunya pada dunia kontemporer ini bisa disaksikan pula pendapat yang kontradiktif dengan pikiran tersebut. Saat ini, perhatian paling banyak dan pemanfaatan waktu hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan mekanisme materi dan badan, dan manusia mengarungi kehidupannya dengan dipenuhi oleh pikiran-pikiran tentang makanan yang lebih baik, tidur yang lebih baik, rumah yang lebih baik, dan lain sebagainya. Sebagian negara Barat memperkenalkan manusia sebagai sekelompok hewan yang berdiri tegak dan berjalan dengan dua kaki, dan hanya keistimewaan-keistimewaan inilah yang membuat manusia lebih unggul dan berbeda dari hewan-hewan lainnya. Akan tetapi, menurut pandangan Islam, manusia adalah sebuah eksistensi yang memiliki dua dimensi. Melalaikan satu dimensi untuk memenuhi dimensi yang lain sama sekali tidak akan bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan hakikinya. Demikian juga, program-program yang hanya memperhatikan satu dimensi saja tanpa menghiraukan dimensi yang lainnya, tidak akan pernah sesuai dan sempurna bagi hakikat penciptaan manusia. Manusia memiliki kapasitas yang demikian luas dan potensi yang tidak ada bandingannya, dan lintasan perjalanan wujudnya adalah dari yang tak terbatas menuju ke yang tak terbatas pula. Gerakan wujud manusia pada lintasan ini, akan senantiasa berhadapan dengan kesensitifan dan kapasitas tertentu, sedangkan untuk mendesain serta memberikan program-program yang mendetail dan terperinci kepada umat manusia diperlukan pengenalan yang sempurna, khusus, dan universal. Dengan alasan inilah, sehingga kepemimpinan dan penentuan program-program yang sesuai untuk manusia hanya ada dalam kemampuan dan kekuasaan Tuhan Sang Pencipta. Tuhan, dalam program dan hukum-hukum-Nya yang bernama Islam, memberikan perhatian kepada kedua dimensi yang dimiliki oleh manusia ini. Rangkaian hukum-hukum Islam (hukum-hukum ibadah) yang ada adalah diperuntukkan bagi pertumbuhan dimensi ruh dan kesempurnaan dimensi spiritual manusia. Munculnya aturan dan perintah-perintah ibadah memiliki kaitan yang sangat erat dengan ruh dan berguna untuk kontemplasi dan kesempurnaan ruh tersebut. Shalat, puasa, haji, doa, berkhidmat kepada umum, dan lain-lain, merupakan bagian-bagian dari ibadah yang memiliki peran penting dalam perkembangan kesempurnaan manusia. Aturan-aturan yang ada dalam kehidupan masyarakat, politik, dan perekonomian pun merupakan jawaban dan solusi bagi kebutuhan-kebutuhan alami manusia. Demikian juga pada interaksi-interaksi kasih sayang antara sesama manusia pun telah ditentukan aturan dan hukum-hukum yang khusus.

Manusia akan menapaki sebuah perjalanan dan kehidupan abadi, dimana bekal untuk melakukan perjalanan hakiki tersebut harus dipersiapkan dan diperoleh dari kehidupan di dunia ini. Kebahagiaan yang abadi bagi manusia hanya bergantung sejauh mana kesempurnaan program hidup seseorang di dunia, dimana sama sekali tidak melalaikan salah satu dari dimensi yang dimilikinya. Program-program yang berasal dari Penciptanya yang memiliki pengenalan komplit dan sempurna terhadap seluruh dimensi wujudnya merupakan sebuah program suci dan menyeluruh yang tidak mungkin tercemari oleh selera, ikhtilaf, ataupun penyimpangan.

Keabadian dan Perubahan Hukum Islam

Dalam mekanisme eksistensi, terdapat sesuatu yang senantiasa berubah dan juga sesuatu yang permanen dan konstan. Dari awal peradaban manusia hingga masa kini, tak ada seorangpun yang menyatakan bahwa nilai-baik keadilan, nilai-tercela kezaliman, nilai-hina bagi yang tak menjaga diri, nilai-buruk mencuri, nilai-baik amanat, dan indahnya kebersihan merupakan nilai-nilai yang bisa berubah dan tak tetap, melainkan kebaikan, dari awal kemunculan manusia hingga akhir zaman, akan tetap merupakan suatu kebaikan dan keburukan pun akan tetap merupakan suatu keburukan dan tidak akan pernah mengalami perubahan.

Apabila seseorang terpaksa harus melakukan sebuah kebohongan untuk melindungi atau menyelamatkan jiwa si fulan, maka hal ini bukan berarti bahwa nilai keburukan bagi kebohongan merupakan suatu hal yang bisa berubah, yakni kebohongan kadangkala baik dan kadangkala buruk, melainkan kebohongan terjadi karena untuk menjaga sebuah hukum yang permanen yaitu “larangan membunuh jiwa yang lain atau larangan melakukan kezaliman terhadap jiwa yang lain”. Demikian juga, apabila sebagian dari kebiasaan-kebiasaan masyarakat mengalami perubahan, maka harus diketahui bahwa seluruh hal-hal tersebut terjadi karena pengaruh dari hukum permanen lain yang manusia harus senantiasa memperhatikan mana perkara yang lebih baik, lebih penting, dan menganggap ketertinggalan serta kelambanan sebagai suatu hal yang buruk.

Sesungguhnya perubahan-perubahan zaman, pergeserannya, dan hukum-hukum yang berubah tidak lain ialah untuk mempertahankan hukum-hukum yang konstan. Bahkan, apabila pada setiap zaman terdapat sebuah model baju yang menjadi sebuah standar, bentuk khas bangunan rumah atau kota telah menjadi standar umum, atau hanya ada satu jenis kendaraan tertentu yang dipersiapkan untuk manusia, keseluruhannya adalah untuk mendukung hukum-hukum konstan manusia supaya tidak mengalami perubahan. Apabila terdapat perkembangan yang luar biasa pada dunia ilmu dan manusia harus memanfaatkan inovasi-inovasi baru tersebut, hal ini pun karena untuk mempertahankan hukum konstan yang tidak lain yaitu manusia harus senantiasa berusaha menggapai kesempurnaannya.

Jadi proposisi-proposisi yang berubah-ubah tidak kontradiktif dengan ketetapan dan kestabilan kehidupan manusia, dan bahkan apabila agama Islam meletakkan hukum-hukum kedua, sebagai contoh kadangkala “diperbolehkan memakan makanan yang najis”[1], hal ini dengan alasan supaya hukum konstan yaitu “untuk menyelamatkan jiwa” tetap berada dalam keadaannya yang tetap. Apabila hakim mengeluarkan hukum, misalnya pada tahun tertentu kaum muslim dilarang menunaikan ibadah haji, maka pelarangan ini pun dikeluarkan karena mengikuti hukum konstan yaitu untuk menjaga kemuliaan, kebesaran Islam, dan keselamatan kaum muslimin.

Gradualnya Hukum-Hukum Islam

Salah satu keistimewaan yang dimiliki oleh Islam adalah hukum-hukum yang telah disyariatkan dan diaturnya berpijak pada kapasitas dan potensi-potensi kesempurnaan manusia. Semakin tinggi derajat kesempurnaan dan kekuatan spiritual manusia maka dia akan berhadapan dengan hukum-hukum baru yang lebih tinggi dan mendetail, dan dia juga akan menghadapi kewajiban-kewajiban yang baru. Memberikan perhatian pada kualitas pemahaman, kapasitas manusia, dan kewajiban yang sesuai merupakan keistimewaan-keistimewaan yang dimiliki oleh agama hakiki ini. Dengan arti bahwa pandangan Tuhan Sang Pencipta sedemikian universal dan komprehensifnya sehingga tidak ada satupun dari potensi manusia yang lepas dan tidak mendapatkan perhatian, demikian juga tidak ada sesuatupun yang dibebankan melebihi kemampuan dan kapasitas yang dimiliki oleh manusia. Agama suci Islam merupakan ajaran yang sangat luas dan fleksibel dimana setiap orang yang berada dalam kondisi apapun akan mampu menerapkan ajaran-ajaran sucinya dan akan memperoleh kesempurnaan insani dan ilahi dalam keadaan tersebut. Sebagaimana bocah yang masih belia, apabila secara bertahap diletakkan di bawah bimbingan dan pengarahan Islam maka kelak akan mampu mencapai tingkatan tertinggi dalam ilmu dan amal. Mekanisme pendidikan agama Islam juga sedemikian fleksibelnya sehingga suku Nomad yang senantiasa berpindah-pindah bisa memanfaatkan hukum-hukum tersebut pada batasan dan ruang lingkup dirinya, dan hukum-hukum ini sedemikian menariknya sehingga sedikitpun tidak membuat mereka merasa terpaksa.

Bekal Kebahagiaan Akhirat

Islam tidak pernah menghilangkan pandangannya terhadap dunia. Dalam memandang dunia dan akhirat, Islam meletakkan keduanya secara harmonis dengan fitrah dan penciptaan manusia. Agama ini memberikan jawaban positif terhadap seluruh dimensi wujud manusia dengan segala kebutuhan-kebutuhannya. Dan sebagaimana yang telah kami singgung sebelumnya, Islam memberikan jawaban positif pada instink dan syahwat manusia melalui perkawinan, mengembangkan instink kasih sayang dengan memerintahkan menyayangi anak-anak, memenuhi kebutuhan-kebutuhan badan dengan menganjurkan memakan makanan yang halal, dan lain sebagainya. Ringkasnya, segala sesuatu yang terdapat pada manusia, baik dalam bentuk kebutuhan dan keinginan yang telah mengalami perubahan, akan senantiasa diperhatikan oleh Islam secara riil dan mendetail, dimana hukum-hukumnya akan diserasikan dengan kesempurnaan hakiki dan tujuan penciptaan manusia. Apabila Islam berbicara tentang akhirat dan menyajikan aturan-aturan untuk mereka, hal ini dikeluarkannya bukan tanpa memandang realitas alam-dunia, akan tetapi tentu saja perlu diingat bahwa agama suci ini berdiri tegak sepenuhnya dalam melawan ketidakharmonisan dan ketidakserasian. Islam menyarankan perkawinan, akan tetapi membatasinya dari sekedar sebagai pemuas hawa nafsu. Islam memperbolehkan memakan makanan-makanan yang baik, akan tetapi manusia harus memperhatikan bagaimana cara mendapatkannya. Singkatnya dapat dikatakan bahwa hukum-hukum dunia dan akhirat keduanya saling berbaur dan tak terpisahkan satu dengan lainnya. Nabi Islam sebagai teladan bagi kaum muslimin, juga memiliki istri dan keluarga, tidak menghindar dari kebutuhan-kebutuhan dunia ini, dan beliau juga memberikan perhatian kepada persoalan-persoalan politik, kemasyarakatan, perekonomian, ruhani dan spiritual, dan bahkan pada persoalan keselamatan dan kebersihan badan, sedemikian sehingga dalam salah satu haditsnya bersabda, “Jika saja tidak akan menyusahkan umatku, maka menggosok gigi akan aku wajibkan bagi mereka.”[2]

Demikian jelinya Islam memberikan perhatian kepada keselamatan tubuh manusia, sehingga setiap muslim harus melakukan beberapa kali shalat dalam setiap harinya dan dalam setiap kali shalat disyaratkan untuk berada dalam keadaan suci dan bersih. Hukum ini, selain memiliki kandungan ibadah, juga sangat berpengaruh untuk keselamatan tubuh manusia. Sebagai contoh, setelah seseorang berhubungan badan maka diwajibkan atasnya untuk mandi junub, karena dalam keadaan ini, getaran luar biasa yang terjadi pada seluruh sel-sel tubuh ketika melakukan hubungan seksual telah membuat keletihan pada badan seseorang dan cara untuk menghilangkan keletihan dan menyeimbangkan kembali kondisi-kondisi tubuh adalah dengan mandi menggunakan air hangat. Di sini air berperan sebagai penjaga keselamatan dan keseimbangan tubuh. Dengan demikian, bisa diperhatikan bahwa aturan-aturan Islam dan hukum-hukum Tuhan senantiasa memperhatikan dua dimensi sekaligus, baik lahiriah maupun batiniah manusia, akan tetapi pada saat yang sama, Islam juga sangat menghindari adanya ketakharmonisan dan ketakseimbangan.

Makna kehidupan dunia bagi manusia adalah untuk mengumpulkan bekal yang akan digunakan dalam melakukan perjalanan kehidupan selanjutnya, karena kelak alam yang di sana merupakan sebuah alam yang abadi, dimana manusia tidak mampu lagi mempelajari bahkan sebuah kalimatpun dan tak mampu pula melakukan sebuah amalanpun. Alam dunia adalah alam untuk meraih setinggi-tingginya ilmu dan mengamalkannya.

Agama suci ini mengaitkan antara dunia dan akhirat secara sekaligus, dengan arti bahwa memperhatikan kehidupan dunia tanpa akhirat dan memperhatikan kehidupan akhirat dengan menghapuskan kehidupan dunia merupakan sebuah langkah yang ceroboh dan sangat salah, karena dalam keadaan ini gerak manusia akan berlawanan dan menyimpang dari gerak alami dan hakiki, dan setiap gerakan yang berlawanan dengan gerak alami niscaya tidak akan pernah berlangsung lama, sebagaimana gerakan air mancur yang menuju ke atas dan akan kembali mengarah ke bawah.

Agama yang menghubungkan antara dunia dan akhirat akan merubah bumi menjadi langit. Kepada manusia dikatakan, bekerjalah, bertanilah, belajarlah, bantulah orang lain, dan …, akan tetapi lakukanlah semua hal tersebut hanya untuk Tuhan semata, supaya seluruh amal, perilaku, dan perbuatanmu menemukan bentuk malakutinya yang bercahaya dan memiliki nilai yang konstan serta abadi. Pekerjaan yang hanya bersifat duniawi (tidak dengan niat Tuhan), akan memberikan pengaruh yang tidak abadi dan berjangka pendek, akan tetapi apabila bersifat Ilahi maka pengaruhnya akan menjadi konstan dan abadi. Apabila manusia melakukan sebuah pekerjaan dengan niat untuk menghilangkan kesusahan dan menyenangkan selainnya, maka pengaruh dan dampak positifnya akan terbatas dan hal tersebut akan memberikan pengaruh padanya hanya dalam waktu beberapa tahun saja, dengan berlalunya waktu dia akan kehilangan seluruh usahanya, akan tetapi apabila dia melakukannya dengan niat Ilahi, maka seiring dengan keabadian mekanisme eksistensi, niat inipun akan abadi, konstan, dan memberikan pengaruh yang abadi pula.

Terdapat begitu banyak ayat dalam al-Qur’an yang menyinggung bahwa “memperkuat” dunia akan berkonsekuensi logis dengan penguatan akhirat, sebagaimana yang tercantum pada ayat berikut, “Dan (dia berkata): “Hai kaumku, mohonlah ampun kepada Tuhanmu lalu bertobatlah kepada-Nya, niscaya Dia akan menurunkan hujan yang sangat deras atasmu, dan Dia akan menambahkan kekuatan kepada kekuatanmu, dan janganlah kamu berpaling dengan berbuat dosa.”[3], dan berpuluh-puluh ayat lainnya yang menunjukkan kesesuaian tabiat dunia dengan majemuk mekanisme alam yaitu majemuk dunia dan akhirat, maksudnya dunia yang baik hanya akan terpenuhi dengan adanya perhatian yang baik pada dimensi akhirat, dan begitu banyak ayat dalam al-Qur’an yang menjelaskan tentang hubungan positif antara kesejahteraan dunia dengan perhatian terhadap unsur-unsur ketakwaan dan aturan-aturan Ilahi, sebagaimana firman-Nya dalam ayat, “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya”.[4]

Memberikan perhatian terhadap ketakwaan dan keimanan Ilahi akan menyebabkan kemudahan dan ketenangan hidup di alam dunia ini, dan pada sisi yang berlawanan para pendusta yang tidak memperhatikan aturan-aturan Ilahi dan melupakan kebahagiaan hari kiamat akan memiliki pengaruh sangat keras yang tentunya akan diikuti dengan kehidupan kacau yang mampu merusak mekanisme sosial dan masyarakat, Allah swt berfirman, “Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta”[5], demikian juga pada ayat yang lain berfirman, “Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezkinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, akan tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah; oleh karena itu Allah memberikan rasa kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat”[6].

Demikian juga Nabi Nuh As ketika melaknat kaumnya, “Nuh berkata: “Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorangpun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi. Sesungguhnya jika Engkau biarkan mereka tinggal, niscaya mereka akan menyesatkan hamba-hamba-Mu, dan mereka tidak akan melahirkan selain anak yang berbuat ma’siat lagi sangat kafir.”[7]

Al-Qur’an juga menyebutkan tentang kaum Luth As dengan firman-Nya, “Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (kami balikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi”[8], pada ayat yang lain berfirman, “Kaum ‘Aad telah mendustakan para rasul …, lalu Kami binasakan mereka. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kekuasaan Allah), tetapi kebanyakan mereka tidak beriman”[9], dan “Kaum Tsamud telah mendustakan rasul-rasul, maka mereka ditimpa azab…”[10]

Dan tentang kaum Syuaib As, Allah Swt berfirman, “Dan tatkala datang azab Kami, Kami selamatkan Syu’aib dan orang-orang yang beriman bersamanya dengan rahmat dari Kami, dan orang-orang yang zalim dibinasakan oleh satu suara yang mengguntur, lalu jadilah mereka mati bergelimpangan di rumahnya.”[11]

Demikian juga tentang kaum Shaleh As, Dia berfirman, “Mereka membunuh unta itu, maka berkata Shaleh: “Bersukarialah kamu sekalian di rumahmu selama tiga hari, itu adalah janji yang tidak dapat didustakan. Maka tatkala datang azab Kami, Kami selamatkan Shaleh beserta orang-orang yang beriman bersamanya dengan rahmat Kami dan dari kehinaan di hari itu. Sesungguhnya Tuhanmu Dia-lah yang Maha kuat lagi Maha Perkasa.”[12]

Dan pada salah satu ayat surah al-Qhashash, Allah Swt berfirman, “Dan berapa banyaknya (penduduk) negeri yang telah Kami binasakan, yang sudah bersenang-senang dalam kehidupannya; maka itulah tempat kediaman mereka yang tidak akan didiami (lagi) sesudah mereka, kecuali sebahagian kecil. dan Kami adalah Pewaris(nya). Dan tidak adalah Tuhanmu membinasakan kota-kota, sebelum Dia mengutus di ibukota itu seorang Rasul yang membacakan ayat-ayat Kami kepada mereka; dan tidak pernah (pula) Kami membinasakan kota-kota; kecuali penduduknya dalam keadaan melakukan kezaliman”[13].

Dari majemuk ayat-ayat di atas dan dari peristiwa-peristiwa yang terjadi pada umat terdahulu, bisa disimpulkan bahwa Tuhan meletakkan kemajemukan eksistensi ini sebagai sebuah kemanunggalan yang tidak bisa dipisahkan, dan kehidupan yang tenang di dunia tidak akan mungkin bisa diterima tanpa adanya perhatian terhadap kehidupan akhirat. Kita harus mengambil pelajaran dari para pendahulu yang telah menyangka bahwa hal-hal yang menyenangkan di dunia ini, secara mutlak, bisa diperoleh dengan melalaikan Tuhan, melakukan kesalahan dengan mencari dunia dan menghapuskan akhirat, dan kita harus mengetahui sebagaimana umat-umat terdahulu, cepat atau lambat, orang-orang semacam ini akan tertimpa musibah dan akan mengalami kemusnahan. Jadi kehidupan dunia yang dilakukan dengan menghapuskan tujuan suci akhirat atau memberi perhatian terhadap kehidupan akhirat dengan menghapuskan kesejahteraan dunia adalah sama sekali tidak akan membawa hasil.

Yang bisa disimpulkan dari al-Qura’n adalah bahwa Tuhan telah meletakkan dua alam besar ini (dunia dan akhirat) untuk saling menyempurnakan, sedemikian hingga dunia yang baik adalah dunia yang dikuasai dan diwarnai oleh Ilahiyah dan ketakwaan, dimana dalam kondisi ini manusia akan berada dalam keadaan yang aman dan tentram, sebagaimana yang diperlihatkan oleh sejarah. Dan juga perlu diingat bahwa kebahagiaan dan kesempurnaan akhirat hanya bisa diperoleh dari apa yang telah diperbuat di dunia ini.

Imam Ali As dalam Nahjul Balaghah mengungkapkan salah satu haditsnya dengan bersabda, “Bagi orang yang mempercayai pesan-pesan yang dikandung oleh dunia, maka dunia merupakan tempat tinggal yang sebenarnya, dan bagi yang mengenal dunia dengan baik, dunia merupakan rumah keselamatan, demikian juga bagi yang memiliki kecerdasan memanfaatkan dan mengumpulkan, maka dunia merupakan tempat kekayaan dan tempat nasehat, karena dunia merupakan tempat untuk mencari nasehat, tempat untuk bersujud kepada Tuhan, mihrab ibadah serta tempat bagi shalatnya para malaikat Tuhan, pusat turunnya wahyu dan tempat perdagangan serta keuntungan bagi para wali-wali Tuhan, dimana di dalam rumah ini (dunia) telah cukup didapatkan keuntungan untuk memperoleh syurga abadi“[14]. Jadi, kebahagiaan akhirat tidak akan pernah bisa diperoleh dengan menghapuskan kehidupan dunia, melainkan alam akhirat merupakan tempat untuk mendapatkan hasil dari bibit yang sebelumnya telah ditaburkan di bumi dan pertanian alam dunia ini yang senantiasa mendapatkan perhatian-perhatian khusus serta menjaga pertumbuhannya dengan baik.

Dunia merupakan tempat kemanunggalan yang tak terbatas, dimana sejak kelahirannya seseorang akan berjalan ke arah keabadian. Dan ideologi yang mendetail dan cermat tidak lain adalah ideologi yang dimiliki oleh al-Qur’an yang memiliki informasi sejak awal hingga akhirnya alam, sebagaimana Amirul Mukminin Ali As bersabda, “Telah diciptakan kalian untuk keabadian, bukan untuk kefanaan“. Pandangan-pandangan dangkal dan pendek yang bersumber dari kesalahpahaman terhadap hakikat dunia dan tidak memiliki informasi yang akurat tentang masa lalu maupun masa mendatang, sama sekali tidak akan mampu berargumentasi dan menafsirkan yang benar tentang alam dunia ini serta pada ujungnya dia akan mengarungi kehidupan di dunia ini dengan pandangan-pandangan yang salah, yang tentunya akan mengakibatkannya mengambil keputusan-keputusan yang salah pula, demikian juga dia akan salah dalam menentukan pilihan-pilihannya dan kesimpulan-kesimpulan yang diambilnya tidak akan sesuai dengan realitas hakiki alam, dengan demikian seluruhnya tak akan membawakan hasil. Seluruh pikiran yang jauh dari realitas hakiki adalah menipu dan hasil dari pandangan dunia seperti ini akan mendegradasikan kafilah kemanusiaan dan menghancurkan generasi-generasi mendatang. Seluruh aliran-aliran pesimis dan berpandangan negatif yang hanya memberikan depresi mendalam kepada para pengikutnya muncul dari hasil-hasil pemikiran tak logis dan tidak memiliki rasionalisasi yang akan menyebabkan “kekosongan” dan alienasi. Pertanyaan-pertanyaan semacam dari mana kita datang, akan ke mana kita “pergi”, kenapa kita hadir ke alam ini, apa yang akan terjadi pada generasi-generasi mendatang, bagaimana akhirnya, siapa yang akan membalas orang-orang zalim, dan … seluruh pertanyaan tersebut tak pernah terjawabkan bagi mereka. Mereka ini tidak memiliki sedikitpun pemikiran yang benar dalam mengarungi kehidupan.

Tentunya menurut pendapat aliran-aliran semacam ini, tak ada satupun prinsip yang bisa dipercaya dan yang mempunyai alasan logis di dunia ini, kekacauan dan ketakjelasan telah mengijinkan mereka untuk melakukan apapun yang mereka inginkan, mereka hidup di dunia yang tidak ada perhitungan apapun dan dalam pandangan mereka dunia yang seperti ini telah terputus dari tempat manapun dan tidak memiliki keterkaitan apapun dengan mekanisme lainnya.

Akan tetapi al-Qur’anul Karim memperkenalkan dunia ini dalam bentuk sebuah perguruan tinggi yang memberikan pertumbuhan dan kesempurnaan pada manusia dan semenjak mereka menapakkan kakinya pada tahapan awal di alam ini hingga saat terakhirnya untuk kemudian memasuki mekanisme barzakh dan alam malakut, senantiasa berada dalam penjagaan dan kontrol hukum-hukum dan perintah-perintah Ilahi. Manusia pada saat awal memasuki alam ini, tidak memiliki pengetahuan apapun[15] akan tetapi secara bertahap dia akan mengalami pertumbuhan dan perkembangan sehingga lembaran-lembaran pikirannya yang semula kosong dari gambaran apapun, akan mengaktual dengan gambaran pertama yang dia dapatkan, dan sejak itu, hingga selanjutnya setiap gerak dan perbuatan yang dia lakukan akan tersimpan dan terekam dalam benaknya, lalu benaknya akan memberi bentuk pada seluruhnya dan dari tahun pertama kehidupannya hingga pada titik akhir, peristiwa ini akan senantiasa berlangsung, sedemikian sehingga ketika menghadapi kematian, setiap individu bisa mengetahui segala prilaku, perbuatan, dan akhlak-akhlak dirinya yang telah berbaur, dengan kata lain, seluruh hakikatnya terbentuk dari majemuk prilakunya tadi, dan berkas yang mendetail ini akan menemaninya hingga lintasan akhir kehidupan. Lembaran jiwa ini akan diperiksa pada hari perhitungan dan akan diserahkan kepada pemiliknya masing-masing.

Dalam salah satu ayat-Nya Allah berfirman, “Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini sebagai penghisab terhadapmu”[16]. Pada ayat yang lain berfirman, “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya pula”[17].

Jadi alam yang diperkenalkan oleh al-Qur’an adalah sebagaimana sebuah aksi yang tidak akan bisa diterima tanpa adanya reaksi dan setiap amal yang dilakukan oleh manusia akan mendapatkan balasannya, baik di dunia maupun di akhirat, tentang balasan yang akan di terima manusia di dunia, dalam salah satu ayat-Nya berfirman, “Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka itu dari (kesalahan) dirimu sendiri”[18], sedangkan mengenai balasan yang akan diterima oleh manusia di akhirat, Allah swt berfirman, “Dan sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan”[19]. Al-Qur’an dengan ancamannya yang keras berkata kepada manusia bahwa mereka senantiasa berada di hadapan Tuhan, seluruh amal dan perbuatan mereka sekecil apapun akan dihadirkan di hadapan-Nya, sebagaimana firman-Nya, “Tidakkah dia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat segala perbuatannya?”[20], dan juga berfirman, “Dan Katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan”[21].

Al-Qur’an mengetahui perhitungan, mekanisme, dan keadilan yang akan terhampar di hadapan manusia setelah alam ini, sedemikian sehingga bahkan tidak ada satupun perbuatan yang sekecil apapun yang akan keluar dari kehakiman dan kekuasaan Ilahi, dan tidak ada satupun eksistensi, sekecil apapun itu kecuali telah diletakkan dalam desain dan program yang paling sesuai dan bijaksana untuknya, bagaimana lagi dengan golongan orang-orang yang melakukan kebaikan dan termuliakan dengan pahala shaleh dan masa depan yang abadi, demikian juga dengan para pengkhianat yang akan tertimpa musibah dengan siksaan yang pasti dan jatuh tersungkur dalam jurang yang jauh dari rahmat Tuhan.

Kebebasan yang merupakan tahapan suatu keputusan untuk bertindak dan merupakan satu-satunya metode dan proses pertumbuhan, seluruhnya telah ditetapkan di dunia ini, sedemikian sehingga seluruh realitas kebebasan di dunia ini diletakkan sebagai alat untuk kesempurnaan dan perkembangan manusia, dan manusia sendirilah yang harus berhati-hati, jangan sampai dia salah menganggap perangkat dan alat ini sebagai tujuan, karena kesalahan ini akan menyebabkan keterikatan dan stagnasi gerak dalam perjalanan selanjutnya. Sesungguhnya, betapa banyak perbedaan antara masyarakat yang berjalan di bawah tuntunan wahyu para Nabi dan Rasul yang tidak akan melangkah selangkahpun kecuali telah memiliki keyakinan pada jalan dan tujuan, dengan masyarakat lain yang berjalan semaunya dan dalam kondisi meraba-raba tanpa mengetahui arah jalan dan tujuan, jahil dan tak memiliki informasi apapun, sungguh manusia ini telah menghabiskan usianya dalam kelalaian.

Antara Individualisme dan Sosialisme

Dalam mekanisme undang-undang, sosialisme atau individualisme telah menjadi wacana panjang yang banyak ditulis dalam pendahuluan ilmu Hukum. Mungkin bisa dikatakan bahwa ketakjelasan dan perbedaan dari kedua poin ini masih akan tetap berlanjut walaupun pengikutnya tetap berpegang pada pendapatnya masing-masing. Meskipun saat ini, undang-undang masyarakat telah menguasai politik-politik pemerintahan dan hukum-hukum individu sama sekali tidak pernah mendapatkan prioritas, akan tetapi para pengikut Individualisme masih mengkritik dasar undang-undang umum dengan mengatakan bahwa masyarakat merupakan sebuah persoalan sekunder yang muncul dari sebuah perjanjian antara individu-individu, dan mereka menyepakati bahwa keberadaan perjanjian ini karena alasan untuk menjamin terjaganya hukum-hukum individu dari pelanggaran pemerintah.

Pada pendahuluan ilmu hukum dikatakan, “Para hakim pada kurun ke tujuhbelas dan ke delapanbelas Masehi menganggap masyarakat sebagai sebuah persoalan sekunder dan muncul dari perjanjian antara individu-individu, dan keberadaan perjanjian ini murni untuk menjaga hak-hak individu ketika berhadapan dengan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh pemerintah, dengan alasan inilah John Luck dalam masalah ini mengatakan, “Para individu telah merelakan sekian banyak kebebasan dan hak-haknya yang menjadi dasar dalam membentuk negara dan pemerintahan.”[22]

Pada kitab yang sama dikatakan, “Dalam undang-undang yang individualistik, individu-individu dalam pandangan hukum, selain mandiri, mereka juga bebas, dan kewajiban hukumnya adalah mengatur teman hidup seseorang. Karena itu, kaidah-kaidah yang muncul dengan kerelaan para individu dan merupakan hasil dari sebuah perjanjian masyarakat, tidak memiliki tujuan selain untuk membentuk kebebasan seseorang …, pada masyarakat yang demikian ini, keadilan tidak memiliki makna selain persamaan dan kesesuaian antara kerugian dan keuntungan yang lahir dari perdagangan. Undang-undang harus menyiapkan keseimbangan antara harta yang disamakan tanpa memandang kelayakan dan kebutuhan-kebutuhan seseorang …, pemerintahan sama sekali tidak memiliki kontribusi dalam pembagian kekayaan dan skala kelayakan.”[23]

Kritik atas Sosialisme dan Individualisme

Pada literatur yang sama dikatakan, “Kemajuan dan perkembangan industri berat telah menyebabkan mayoritas masyarakat bekerja sebagai pekerja pada para pemilik saham-saham besar. Bagaimana bisa dinyatakan bahwa perjanjian antara dua belah pihak seperti ini adalah adil? Sekelompok pemilik modal besar memegang izin penjualan air, listrik, dan tembakau. Mereka mengatur kondisi penjualan dengan kebebasan mutlak. Apakah perjanjian dengan kelompok ini bisa dikatakan adil? Dan demi kebebasan dan hak individu bisa dikatakan bahwa setiap individu tidak bisa menerima kondisi mereka ini.”[24]

Selanjutnya dikatakan, “Secara jelas kekhawatiran dari munculnya kondisi seperti pada masa revolusi besar di Perancis, telah menyebabkan liburnya setiap jenis perusahaan umum dan menghilangnya kelompok-kelompok serta perantara-perantara antara masyarakat dan pemerintahan, dan kebebasan masyarakat dijamin oleh pemerintah. Setelah kejadian ini, masyarakat tidak lagi menjadi penting dalam perjanjian individu-individu yang mandiri.”[25]

Kemudian dikatakan, “Berlawanan dengan yang dikatakan oleh penganut undang-undang individulistik, seseorang tidak akan memiliki hak mutlak dalam manfaat-manfaat umum.”[26]

Dan pada kelanjutan masalah ini dikatakan, “Sesuai dengan pendapat ini, keberadaan individu yang berada di luar masyarakat tidak bisa digambarkan, karena setiap individu senantiasa bergantung pada sekelompok manusia, dan aturan-aturan hukum harus menentukan kewajiban para individu ini ketika berhadapan dengan kelompok-kelompok tersebut dan sebaliknya aturan-aturan hukum juga menentukan kewajiban-kewajiban kelompok ketika berhadapan dengan anggota-anggotanya …, jadi keadilan pada aliran ini adalah keadilan bermakna pemerataan, bukan keadilan proporsional. Dan di dalam pendapat ini tidak ada yang dinamakan hak yang bersumber dari Tuhan atau amanat Ilahi, melainkan yang ada adalah kelebihan dan keistimewaan yang diberikan kepada individu dengan maksud untuk manfaat dan mashlahat umum”.[27]

Yang kami nukilkan di atas adalah beberapa contoh dari pendapat-pendapat yang ada, dan kami hanya akan mencukupkannya hingga di sini.

Walhasil, kita telah mengamati kedua aliran tersebut, meskipun dari satu sisi mereka berpijak pada kemaslahatan manusia, akan tetapi tidak bisa disangkal bahwa masing-masing juga memiliki kekurangan, kedua aliran begitu banyak mengesampingkan hak-hak manusia dan sesungguhnya mereka tidak mampu memenuhi seluruh hak yang dimiliki oleh manusia, karena apabila mereka memperhatikan satu sisi, mereka akan kehilangan sisi yang lain dan keadilan yang diputuskan oleh hakim adalah nisbi, dan dengan kenisbian keadilan inilah sehingga kezaliman akan menekan masyarakat, persis sebagaimana kebebasan politik dalam pemilihan umum yang mementingkan hak-hak kelompok dan suara-suara mayoritas dimana senantiasa menjadi pemenang atas suara minoritas, meskipun suara minoritas mencapai hitungan puluhan juta, akan tetapi sama sekali tidak akan mendapat perhatian.

Bagaimana kebebasan bisa kita simpulkan dari kesepakatan umum semacam ini, sementara hampir separuh dari individu masyarakat dinyatakan bersalah atas separuh lainnya, dan tidak memiliki hak sedikitpun untuk mengajukan bantahan? Jalan buntu hukum dan politik ini telah melingkupi masyarakat dan tidak akan pernah terlepas dari mereka. Walhasil, menurut pendapat para ahli hukum, apabila prinsipalitas terletak pada individu (Individualisme), maka banyak maslahat dan kebaikan umum yang akan hilang, atau bahaya-bahaya yang menjadi bagian setiap individu dari masyarakat lemah yang sama sekali tidak akan bisa dihindari, hal ini sebagaimana apabila prinsipalitas kita berikan kepada masyarakat (Sosialisme) secara umum, maka para individu pun harus sedemikian banyak mengorbankan manfaat-manfaat dirinya untuk kepentingan umum. Apabila dikatakan kepada para prajurit dan pejuang bahwa kamu harus pergi ke medan perang, karena cacat dan kematian akan menjadi kebanggaan bangsa, maka asti jawaban dari pernyataan di atas adalah negatif karena, apa yang akan menjadi bagian bagi para pejuang ini setelah terjadi kehancuran?

Perspektif Islam

Pada dua aliran prinsipalitas di atas, ketika individu dianggap sebagai pihak yang penting dan mendasar, maka masyarakat akan menjadi bagian yang dikesampingkan, demikian juga ketika perhatian ditujukan kepada masyarakat maka individu akan menjadi pihak yang disepelekan. Kedua hal ini bisa disaksikan di dalam mekanisme hukum dan juga dalam mekanisme politik yang ada di dunia ini.

Akan tetapi Islam, menganggap kedua pihak baik individu maupun masyarakat sebagai sebuah hal yang prinsipil yang keduanya layak dan mesti mendapatkan perhatian, dan untuk masing-masingnya dibuktikan adanya hak yang sesuai dan kelebihan-kelebihan yang logis. Ini merupakan salah satu kelebihan yang mengagumkan dalam hukum politik Islam yang bersandar pada pandangan dunia Islam, karena sebagaimana yang telah kami singgung, pandangan Islam senantiasa berhadapan dengan keluasan dan kedalamam yang khas dimana capaian pemikirannya telah begitu menarik banyak perhatian, dan salah satu dari hasil pandangan dunia tersebut adalah mengenai prinsipalitas individu dan masyarakat, sedemikian sehingga tidak ada sebuah hak pun yang dirugikan.

Individu dan Masyarakat dalam Islam

Masyarakat memiliki pengertian yang terpisah dari individu. Dalam pandangan filsafat, masyarakat tidak memiliki bentuk eksternal, yaitu apabila kita umpamakan pada suatu daerah terdapat seribu orang, hal ini tidaklah berarti bahwa di sana terdapat seribu individu manusia dan ada seribu satu masyarakat, melainkan hanya di dalam benaklah terbentuk sebuah pengertian dari kumpulan individu-individu yang dinamakan masyarakat. Jadi menurut pandangan filsafat tak ada sebuah hakikat eksternal yang bernama masyarakat, akan tetapi berdasarkan pandangan ilmu sosial, dalam setiap pembentukan hukum dan politik, tak ada solusi lain selain dengan memandang keberadaan masyarakat, dimana dalam sebagian persoalan, hal ini akan meniscayakan ketiadaan perhatian terhadap hak-hak individu.

Akan tetapi, apabila individu membutuhkan masyarakat, maka tak ada cara lain kecuali dia harus mengesampingkan sebagian hak-haknya untuk mendapatkan kelebihan-kelebihan dari masyarakat. Dari sini, secara politik, tidak ada cara lain kecuali harus memandang secara positif akan eksistensi masyarakat, dan tentunya perhatian terhadap aturan-aturan umum, seperti pajak, perang, dan lain sebagainya, akan senantiasa diikuti dengan keterbatasan-keterbatasan politik, aturan, dan hukuman, dimana hal ini mengharuskan untuk diikuti oleh seluruh individu. Dan para pengambil kebijakan masyarakat sama sekali tidak boleh melepaskan warganya dari masalah-masalah seperti ini.

Kemuliaan Islam

Tentunya dalam pandangan dunia Islam, individu dan masyarakat memiliki keterkaitan yang tak terpisahkan, dimana dalam masalah ini tidak nampak kesulitan yang ditemukan dalam hukum dan politik sebagaimana yang dimiliki oleh seluruh lembaga pemerintahan dan hukum yang lain. Sebagaimana yang telah kami katakan, Islam tidak memandang alam hanya sebagai sebuah dunia, melainkan menurut pandangan al-Qur’an majemuk dunia dan akhirat merupakan sebuah kemanunggalan yang tak terbatas. Pandangan Islam tentang manusia adalah bahwa manusia tidaklah abadi dan kehidupan setiap manusia senantiasa dimulai dengan kelahiran di alam dunia yang kemudian akan dilanjutkan ke arah keabadian di alam akhirat. Manusia abadi adalah sebagaimana yang terwujud di alam abadi dan kehidupannya tidak akan pernah berakhir di alam dunia yang sempit ini. Oleh karena itu, jika manusia kehilangan sebuah manfaat di alam dunia ini, maka seluruh kerugiannya tersebut akan tergantikan dengan pengganti yang paling baik. Oleh karena itu, hak yang paling sedikit sekalipun, di dalam mekanisme kebijaksanaan Islam sama sekali tidak akan menimbulkan kerugian bagi individu yang manapun, dan dari sinilah Islam memberi pandangan pada masyarakat dan membentuk serta menyusun mekanisme masyarakat, dan untuk mengeluarkan aturan-aturan yang diperlukan untuk melaksanakan mekanisme ini, dia tidak mengorbankan hak-hak individu untuk membentuk masyarakat, melainkan setiap orang akan melihat usaha dan jerik payahnya, yang bahkan amal yang dilakukan manusia di dunia ini meskipun hanya sebesar atom pun akan mendapatkan balasannya dan tidak akan musnah, sebagaimana dalam salah satu ayat Allah swt berfirman, “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya”[28], pada ayat yang lain berfirman, “Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya, dan bahwasanya usaha itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya)”[29].

Dalam politik dunia, apabila seseorang terbunuh dalam perang atau terkena kewajiban untuk membayar pajak, maka apa yang telah terlepas dari tangannya, niscaya akan hilang dan tidak akan pernah kembali, akan tetapi tidak demikian yang terjadi dalam mekanisme Islam.

Allah Swt dalam salah satu ayat-Nya berfirman, “…, yang demikian itu ialah karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan dan kelaparan pada jalan Allah, dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan sesuatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan yang demikian itu suatu amal saleh. Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik, an mereka tiada menafkahkan suatu nafkah yang kecil dan tidak (pula) yang besar dan tidak melintasi suatu lembah, melainkan dituliskan bagi mereka (amal saleh pula) karena Allah akan memberi balasan kepada mereka yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”[30].

Jadi pandangan Islam terhadap masyarakat, tak ada sedikitpun hak individu yang dinegasikan. Selain Tuhan memberikan pandangan yang positif kepada masyarakat serta menyampaikan beragam hukum dan aturan masyarakat kepada umat, Tuhan juga menganggap bahwa keberadaaan masyarakat merupakan hal yang urgensi bagi kehidupan manusia, karena itulah lalu diberikan hak-hak hakiki pada masyarakat, dan sebagaimana yang ada dalam aturan pertahanan, jihad, pembayaran pajak, keadilan hukum, etika-etika kemasyarakatan dan lain-lain, pada suatu masyarakat juga diberikan aturan-aturan yang layak untuk para individu yang ada di dalamnya, yang disusun dengan cermat supaya tidak mengganggu mekanisme kemasyarakatan. Kemuliaan luar biasa serta keluasan pandangan politik ini merupakan salah satu keistimewaan yang dimiliki oleh Islam dan tidak ada satupun lembaga hukum, ideologi, dan kalau ada aliran politik atau ideologi selain Islam yang memiliki pandangan universal dan wawasan yang luas seperti ini, biasanya hanya dengan mementingkan satu visi dan dimensi kemanusian yang kemudian terpaksa harus berbenturan dengan aspek lain secara ekstrim, atau memperhatikan satu sisi, akan tetapi lalai terhadap sisi yang lain.

Sebagaimana yang telah kami singgung sebelumnya, pandangan dunia Islam terhadap manusia bersandar pada sebuah prinsip yang memiliki pengaruh sangat kuat, antara lain, memberikan hak-hak pada kedua anggota, yaitu individu dan masyarakat dalam persoalan hukum dan politik. Hal ini merupakan hadiah paling berharga bagi mekanisme hukum dan politik manusia, dan pengaruh berharga dari wawasan yang luas dalam mekanisme Islam ini akan bisa mengantarkan manusia pada hakikat penciptaannya, dimana dengan memberikan perhatian pada hak-hak individu di tengah-tengah pergumulan keras masyarakat, akan mampu memberikan keyakinan luar biasa terhadap kewajiban individu dalam masyarakat, karena individu mengetahui bahwa tak ada satupun usaha dan jerih payahnya yang akan mengalami kerugian, melainkan seluruhnya akan kembali kepada dirinya sendiri. Para prajurit perang di medan laga akan berusaha untuk mencapai salah satu dari keberhasilan, misalnya menghancurkan musuh yang hal ini berarti akan membukakan jalan baginya meraih hidayah Ilahi dan pertumbuhan spiritual, atau dia akan terbunuh dan mengantarkannya untuk memandang wajah Tuhan dan setiap tetesan darahnya akan mendapatkan balasan kenikmatan, begitu pula para syuhada akan senantiasa diletakkan sebagai teladan bagi masyarakat. Apabila dia dikenai kewajiban untuk membayar pajak, hal ini tidak akan dianggapnya sebagai sebuah kerugian, karena segala sesuatu yang dia berikan di jalan Allah dianggap sebagai “simpanan” Ilahi yang dia kumpulkan untuk suatu hari kelak dimana tak ada satupun kelebihan yang bisa dihamparkan di hadapannya kecuali “simpanan-simpanan” Ilahi semacam ini.

Mekanisme Pengaturan dalam Islam

Dalam setiap mekanisme pengaturan hukum senantiasa berada di bawah persyaratan dan batasan-batasan khusus yang kemudian penerapan tersebut akan mengalami perkembangan dan memberikan pengaruh positif yang menguntungkan. Di dalam mekanisme pengaturan seperti ini seluruh kriteria-kriteria pentingnya akan mendapatkan perhatian, karena dengan mengesampingkan bagian-bagiannya atau salah satu syarat dari syarat-sayaratnya bahkan sekecil apapun, hal ini  akan menjadikan mekanisme pengaturan ini tidak mampu menjadi solusi atas kebutuhan-kebutuhan dan tidak akan mampu diletakkan dalam lintasan pemanfaatan dalam aspek yang manapun.

Mekanisme pengaturan dalam maktab Islam tidak terkecualikan dari prinsip universal tersebut, dengan arti bahwa manajemen kemasyarakatan dalam Islam yang dalam batasan khusus diletakkan sebagai solusi bagi seluruh kebutuhan masyarakat manusia dan akan menyebabkan pertumbuhan dan kenaikan tingkat kemanusiaan dan mampu membimbing manusia ke arah tujuan yang benar dan hakiki.

Problematika Pengamalan Ajaran Islam

Tak bisa dikatakan bahwa tujuan Tuhan akan terwujud dengan memilih sebagian dari aturan-aturan Islam dan melepaskan sebagiannya, melainkan harus melaksanakan seluruh hukum yang meliputi ibadah, individu, kemasyarakatan, politik, perekonomian, dan spiritual. Tentunya tak bisa disangkal bahwa kewajiban praktis setiap individu akan mampu menyelamatkannya dan menyebabkan dia mendapatkan pertumbuhan akhlak, spiritual, dan lahirnya kepribadian yang tinggi dan teladan. Demikian juga melaksanakan sebagian dari hukum-hukum masyarakat secara otomatik akan mampu memberi pengaruh yang baik bagi masyarakat dan individu. Tentunya, tujuan dari penjabaran ini adalah untuk menghadirkan hidayah pada masyarakat dan menambah lajunya kafilah Islam di kalangan dunia, yang hal ini akan memberikan contoh dan suri teladan dalam barisan depan bagi kehidupan manusia. Demikian juga untuk tujuan lain, yaitu memberikan jawaban terhadap kritikan sebagian kelompok yang mengatakan bahwa masyarakat Islam merupakan kafilah yang terbelakang, dan dikatakan bahwa apabila maktab Islam merupakan maktab yang berkembang, sebagaimana yang dinyatakan oleh pengikutnya, maka seharusnya saat ini para muslim telah menjadi pihak tunggal pemegang bendera pertumbuhan dan perkembangan, dan menjadi peraih medali emas dalam spiritual dan maknawi, akan tetapi yang terjadi tidaklah demikian, tidak saja dalam persoalan ilmiah, para muslim ini bahkan dalam dimensi spiritual pun, tidak memberikan lompatan dan gerak yang menarik perhatian bagi kalangan dunia.

Apabila kita mengamati sosok masyarakat Islam, maka kita akan melihat betapa begitu banyak masyarakat yang mengesampingkan hukum-hukum Islam atau mereka melangkahkan kakinya dengan mengikuti orang-orang asing yang tak mereka kenal.

 Islam sama sekali tidak pernah menyatakan bahwa pengikutnya yang tak sempurna akan bisa menjadi kebanggaan masyarakat dan kebanggaan bagi perkembangan dalam mekanisme ilmu dan peradaban, melainkan pengaruh mereka muncul dalam bentuk yang bergradasi, sesuai dengan adanya kebersamaan dan keharmonisan praktis terhadap seluruh persoalan-persoalan kecil dari perintah-perintah Ilahi, sebagaimana hal ini bisa kita saksikan pada masa permulaan Islam. Demikian juga pada masa revolusi Islam Iran, seluruh bangsa menyaksikan pancaran cahaya yang muncul dalam kepemimpinan sosok agung (Peletak Negara Republik Islam Iran), Imam Khomeini ra, sebuah masyarakat yang selama hampir satu kurun berada di bawah himpitan dan tekanan invasi asing, telah mampu bangkit dan menampakkan wajah Islam-nya, dan dengan sekali putaran, negara ini telah mampu keluar dari tangan penjajah, demikian juga kekuatan perangnya yang mampu bertahan hingga 8 tahun dalam perang yang tak seimbang, telah menambahkan lembaran bercahaya pada lembaran-lembaran sejarah dunia Islam, dan taufik Ilahi ini tak lain karena berada dalam bayangan pengikut hakiki dari pemimpin Ilahi .

Contoh-contoh ini merupakan tanda-tanda yang sangat jelas yang telah diabaikan oleh para pengkitik, dimana mekanisme Islam yang kuat, merupakan satu-satunya maktab yang merupakan sumber inspirasi suci bagi generasi-generasi manusia dimana Tuhan Sang Pencipta telah mengatur manusia dengan gerak hakiki alam.

Tawaran Solusi

Solusi yang bisa diusulkan untuk menyelesaikan permasalahan ini terdapat dalam dua bentuk mendasar dimana berguna untuk menyelamatkan kafilah yang tersesat, kedua asas tersebut adalah sebagai berikut:

1.  Pengenalan yang benar dan mendalam terhadap seluruh dimensi maktab Islam dan pengenalan prinsip dari sebagian besar hukum-hukum dan aturan-aturan Ilahi dimana dengan menjaga prinsip tersebut akan bisa mengungkap rahasia-rahasia yang terdapat dalam aturan-aturan Ilahi.

2.  Setelah melakukan pengenalan sempurna dalam seluruh dimensinya, dengan melaksanakan aturan-aturan tersebut secara sempurna, manfaat praktisinya akan dirasakan langsung oleh masyarakat Islam.

Contoh-Contoh Mekanisme Pemberdayaan Islam

Dalam Al-Qur’an, tentang para pasukan perang Islam Allah berfirman, “Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mukmin untuk berperang, jika ada dua puluh orang yang sabar di antaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang yang sabar di antaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan seribu orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti”.[31]

Dari ayat di atas, terdapat dua poin yang sangat menarik, sebagai berikut:

1.  Tidak diperhadapkan duapuluh orang dengan duaratus orang, melainkan seratus orang berhadapan dengan seribu orang. Pada zaman ini dengan mudah bisa kita temukan bahwa apabila sebuah pasukan perang menginginkan kemenangan, maka supaya pasukan tersebut mampu mengalahkan rivalnya, paling tidak mereka harus menyiapkan kekuatannya dalam jumlah satu setengah kali lipat dari kekuatan musuh, karena kalau tidak demikian, maka tidak akan ditemukan kemenangan yang mutlak dan sempurna. Jadi, seakan ayat ini menganggap bahwa duapuluh orang sama dengan tiga ratus orang dan seratus orang sama dengan tiga ribu prajurit. Faktor yang menambah kekuatan luar biasa pada para mujahid di medan perang ini tak lain adalah penerapan agama dan pembinaan umat Ilahi.

2.  Salah satu rahasia kemenangan lasykar Islam pada peperangannya melawan kafir adalah pengetahuan mereka terhadap perbuatan, hasil perbuatan, pengawasan, dan kehadiran Tuhan serta imbalan yang akan mereka terima dari sisi Tuhan. Pengetahuan agung ini telah mengarahkan langkah para prajurit dan bahkan mampu melengkapi kekuatannya sehingga mereka mampu mengambil langkah dan keputusan yang pasti tanpa merasa sedikitpun memiliki rasa takut terhadap kekuatan musuh. Kecintaan yang telah menguasai akal, merupakan kecerdasan lain yang mampu memberikan kekuatan tak terbatas pada manusia. Dengan adanya hal ini, pasukan perang tidak akan merasa takut dengan kematian atau cacat tubuh karena mereka senantiasa melihat seluruh amal dan perbuatannya berada di hadapan Tuhan. Akan tetapi para kafir, mereka berangkat ke medan perang hanya karena adanya perintah dari atasan. Mereka tidak mengetahui kenapa harus berperang dan tidak pula mengetahui pengaruh langsung atau tak langsung yang akan mereka peroleh dari peperangan tersebut. Mereka bukan hanya tidak memandang Tuhan dalam seluruh perbuatan yang dilakukannya bahkan dia tidak menganggap dirinya memiliki saham dalam kemenangan yang mungkin akan diperolehnya pada masa mendatang, karena anggota pasukan hanyalah bertindak sebagai pasukan, dan tak lebih dari itu. Apabila mereka mati atau cacat dalam peperangan tersebut maka mereka benar-benar akan ditinggalkan, tidak mendapatkan sedikitpun perhatian, dan tidak akan pernah pula dikenang. Sedangkan apabila kemenangan bisa diperoleh dengan imbalan kematian atau cacat tubuh, maka langkah selainnya yang akan menjadi sejahtera dan makmur. Dari sini diketahui bahwa tidak ada sesuatu lain yang memotivasi mereka untuk melangkah ke medan perang kecuali rasa ketakutan pada atasan. Tidak mungkin mereka rela mengorbankan jiwanya kecuali karena perintah-perintah atasan yang memaksa, dan mereka memiliki rasa ketakutan yang teramat sangat terhadap kematian dan cacat tubuh. Dan kengerian terhadap kematian inilah yang akan membuatnya jatuh tersungkur bahkan akan menghancurkan kekuatan pertahanannya.

Dari hal-hal di atas bisa dipahami bagaimana pengetahuan terhadap perbuatan, tujuan, dan memperoleh kedudukan di sisi Tuhan akan mampu mengarahkan kekuatan para pasukan perang Islam pada batasan yang luar biasa dan menakjubkan, bisa dikatakan salah satu pengaruh yang positif dari penerapan agama wahyu ini adalah kecerdasan dan pengetahuan yang luar biasa, dimana seluruhnya merupakan pelajaran dari Tuhan. Dan dalam bayangan pengetahuan Ilahi inilah dan ditambah dengan adanya kecemerlangan, keberanian, dan kekesatriaan yang dimiliki oleh para pengikutnya sehingga Islam telah menjadi hiasan bibir dalam sepanjang sejarah.

Dengan kata lain, bisa dikatakan mekanisme pembinaan dan pemberdayaan al-Qur’an hanya berkaitan dengan pemahaman, pengetahuan, dan kecerdasan manusia, dengan arti bahwa kepada manusia diberikan sumber akal, dan manusialah yang secara langsung harus mengopersionalkan dan memanfaatkannya secara maksimal.

Keharmonisan Agama dan Pengetahuan

Bisa dinyatakan dengan jelas bahwa agama tidak hanya sejalan dengan ilmu dan pengetahuan, melainkan agama merupakan teks pengetahuan itu sendiri dan sekaligus mengarahkan pada pertumbuhan dan kesempurnaan di alam. Selain meletakkan para Nabi sebagai pencetus langkah-langkah awal dalam ilmu dan peradaban, Islam juga menganggap bahwa pengetahuan merupakan dasar bagi wujud manusia dan menganggap manusia-manusia yang tak berakal sebagai makhluk yang paling buruk. Dalam salah satu ayat-Nya Allah swt berfirman, “Sesungguhnya binatang (makhluk) yang seburuk-buruknya pada sisi Allah ialah; orang-orang yang pekak dan tuli yang tidak mengerti apa-apapun”[32], pada ayat yang lain juga berfirman, “Dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya”[33]. Orang yang tidak mengetahui dengan orang yang mengetahui sama sekali tidak bisa dibandingkan, mereka seakan merupakan dua substansi yang berlawanan dan memiliki perbedaan sempurna, dari sinilah kemudian Allah Swt berfirman, “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?”[34]

Mungkin dari majemuk al-Qur’an bisa disimpulkan bahwa maqam dan tingkatan setiap manusia bergantung dan berkaitan erat dengan batasan pengetahuan yang dimilikinya, demikian juga berkaitan erat dengan rasionalitas dan pemahamannya, dan bahkan dikatakan bahwa syarat pertama untuk menerima hidayah dan bimbingan adalah pengetahuan, kecerdasan, dan keseimbangan pemahaman. Tentang individu yang tak berakal secara khusus Allah Swt berfirman, “…, kemudian (sesudah kamu menyampaikan Al Quran kepada mereka), biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya”[35]

Demikian juga pada tempat lain Allah berfirman, “Maka berpalinglah (hai Muhammad) dari orang yang berpaling dari peringatan Kami, dan tidak mengingini kecuali kehidupan duniawi. Itulah sejauh-jauh pengetahuan mereka. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang paling mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia pulalah yang paling mengetahui siapa yang mendapat petunjuk”[36].

Jadi, pengetahuan merupakan dasar pertama dan merupakan titik lompat manusia untuk menggapai tujuannya yang hakiki. Karena itulah, dalam maktab Islam disyaratkan suatu pikiran, kecerdasan, pengetahuan yang akan membentuk hakikat manusia, bahkan orang-orang yang tidak memiliki pemahaman yang dibutuhkan, dan tidak memiliki kesiapan hati untuk belajar, akan keluar dari tingkatan kemanusiaan, dalam salah satu ayat-Nya Allah berfirman, “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai”[37].

Maktab Islam sama sekali tidak bermanfaat bagi orang-orang yang tidak memiliki pengetahuan, tidak membuka dirinya untuk menuju kesempurnaan, dan hidupnya terjebak dalam perhiasan-perhiasan dunia yang menipu dan mempertahankan penampakan lahiriahnya yang indah tersebut. Islam hanya layak bagi orang-orang yang mau dididik dan dibina yang mampu memanfaatkan potensi-potensi yang ada dalam dirinya dan memiliki hati yang bebas serta spiritual yang bisa berkembang.

Peribadatan dalam Islam

Salah satu persoalan yang terkait dengan hal ini yakni pelaksanaan perintah-perintah ibadah dalam maktab Islam adalah bersifat wajib dan dilakukan dengan taklid semata, yaitu tetap menjaga pelaksanaan dan implementasinya sesuai dengan aturan-aturan yang telah ditentukan oleh Tuhan.

Batasan Akal

Di sinilah muncul pertanyaan berikut tentang, apakah akal manusia secara sempurna bisa mencapai hidayah dan petunjuk Tuhan? Kemajuan manusia yang sedemikian menakjubkan pada kurun terakhir dalam penguasaan ilmu dan teknologi telah menegaskan pertanyaan di atas dengan menambahkan bahwa apakah dalam era pengetahuan dan teknologi modern seperti saat ini, rangkaian aturan-aturan ibadah dan yang hal-hal yang tak dipahami oleh akal masih tetap harus dikerjakan? Apakah saat ini manusia belum sampai pada suatu tingkatan yang bisa menyempurnakan dirinya sendiri dengan apa yang telah diperolehnya? Akan tetapi, pada saat yang sama, nilai kebaikan dan keburukan secara riil tidak bisa ditentukan lagi batasannya oleh manusia, dengan dasar inilah sehingga hukum-hukum disusun untuk memberikan solusi atasnya, lalu apakah bisa dikatakan bahwa manusia secara hakiki tidak lagi membutuhkan masalah-masalah ibadah dan spiritual?

Jawaban atas pertanyaan tersebut bisa dipaparkan dalam berbagai dimensi, seperti dimensi sosial, rasional, dan spiritual.

1. Dimensi Sosial

Seseorang yang tidak memiliki spesialisasi dan tidak memiliki pengetahuan akan bergantung pada seorang spesialis dan orang-orang yang memiliki pengetahuan, dan mereka akan menaati dan taklid secara mutlak. Topik ini sangat jelas bahwa setiap orang yang mengetahui tentang pengetahuan dan keahlian orang lain, mulai dari persoalan sederhana seperti keahlian menjahit, merias hingga paling pada persoalan rumit seperti operasi jantung dan otak, tak ada jalan lain kecuali dia hanya mendengarkan perkataan dan melaksanakan anjuran para ahli ilmu tersebut. Seorang perias sama sekali tidak akan menerima campur tangan dari pelanggannya, pelanggan hanya memberikan perintah tentang model dan bentuk yang diinginkannya, akan tetapi tentang bagaimana dia harus memenuhi dan menentukan keinginan tersebut hal ini berada di tangan ahlinya, ketaatan dan taklid buta ini merupakan prinsip mendasar dalam korelasi antara pelanggan dengan perias. Jadi dalam mekanisme sosial, masalah ibadah merupakan masalah yang paling mendasar dan prinsip untuk pembentukan masyarakat dimana mayarakat harus memiliki kepercayaan penuh kepada kelompok lain yang berilmu, dan setiap yang berada pada wilayah khusus akan mengimplementasikan keahliannya dengan seluruh kemampuannya lalu memposisikan dirinya untuk berkhidmat kepada masyarakat dan semuanya bergantung padanya tersebut tanpa sedikitpun ikut campur dalam urusannya. Campur tangan dan intervensi dari selainnya hanya berada dalam lingkup bentuk atau sifat pekerjaan, bukan dalam hal yang berkaitan dengan keahlian.

Apabila tidak ada unsur taklid semacam ini, maka tidak akan ada seorangpun yang akan merujuk kepada penjahit, perias, arsitek, dokter, hakim, dan lain-lain, bahkan tidak akan ada seorangpun yang berani memanfaatkan pesawat dan seluruh pelayanan perjalanan, karena pilot dan sopir harus merupakan orang-orang yang bisa dipercaya oleh para penumpang, dan mereka harus mengkonsentrasikan dirinya dalam keahliannya memandu pesawat dan mobil. Tak ada seorangpun  yang bisa memberi perintah kepada pilot. Segala sesuatu yang dilakukannya harus diterima oleh penumpang. Jadi, seluruh penumpang pesawat dengan beragam keahlian yang mereka miliki, akan menjadi pengikut dan muqallid mutlak sang pilot. Dari sini, kehidupan dalam masyarakat hanya akan berlangsung dengan adanya kepercayaan timbal balik dan taklid terhadap keahlian selainnya, dan dalam pembicaraan ini tidak ada perbedaan antara seseorang yang memiliki tingkatan tinggi dan rendah dalam masyarakat. Marja’ taklid (ulama yang diikuti) dalam agama dan makrifat, pada aspek lain sebagai mukallid dan pengikut para dokter dan insinyur dalam keahlian mereka dan pada saat yang sama para dokter dan insinyur taklid kepada penjahit dan tukang batu dalam urusan pakaian dan bangunan.

2. Dimensi Rasional

Tanpa keraguan sedikitpun bisa dikatakan bahwa terdapat hukum yang ditentukan bagi orang-orang yang tak mengetahui untuk taklid dan merujuk kepada orang yang alim dan mengetahui. Akal sehat niscaya menegaskan hal tersebut, dan menyimpang dari realitas yang gamblang seperti ini pertanda kelemahan akal dan jauhnya seseorang dari fitrah. Dengan alasan inilah para fukaha besar Islam, dalam masalah kewajiban taklid kepada mujtahid yang adil, menganggapnya sebagai sebuah persoalan yang ditegaskan dan dibenarkan semata oleh akal dan tidak perlu mencari pembenaran syariat.

Imam Ali As membagi masyarakat ke dalam tiga bagian, bersabda, “Masyarakat terdiri dari tiga kelompok yaitu: para ulama Ilahi, para pelajar yang berjalan di atas jalan benar (pengikut ulama) dan “serangga” yang senantiasa kebingungan karena adanya angin dan topan, dan mengikuti setiap suara yang didengarnya (yaitu orang-orang jahil dan tidak memiliki pengetahuan, orang-orang seperti ini tak akan pernah melakukan sesuatu dengan benar)”.[38]

3. Dimensi Wahyu

Selain ayat-ayat semacam, “Maka tanyakan kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tidak mengetahui”[39], harus pula diisyarahkan poin berikut bahwa wahyu merupakan sejenis pengetahuan yang hanya dimiliki oleh para Nabi dan Imam alaihimussalam. Pengetahuan sejenis ini hanya bersumber dari pengetahuan terhadap hakikat dan realitas mekanisme eksistensi, hal ini disebabkan karena banyak dari persoalan yang tidak bisa dijangkau oleh akal dan tidak berada dalam ruang lingkupnya, dan tanpa diragukan lagi manusia membutuhkan persoalan-persoalan tersebut. Dari sinilah kemudian perintah-perintah tersebut bisa diperoleh melalui Nabi terakhir saw dan para Imam suci yang diletakkan dalam kewenangan umat dalam bentuk kitab-kitab hadits. Penggunaan kitab hadits pun membutuhkan penjelasan dari para mujtahid yang telah menghabiskan umurnya dalam cabang-cabang ilmu Islam. Hanya dari metode inilah agama Ilahi bisa digapai dan menjadi satu-satunya metode yang bisa dilewati hingga sampai pada pengetahuan yang lebih tinggi dari akal dan untuk membentuk sosok hakiki manusia.

Taklid dalam Koridor Kesadaran

Taklid-sadar - dimana taklid yang mengikuti akal dan logika - adalah bukan taklid-buta terhadap musuh yang dikenal atau yang tak dikenal.  Pada dasarnya musuh akan menyimpangkan masyarakat dari jalan yang benar dan mengarahkannya menuju ke kegelapan, dan propaganda-propaganda mereka yang salah telah memberikan banyak kekacauan, propaganda-propaganda ini bisa muncul dalam bentuk inovasi-inovasi baru yang nampak secara propesional, yang hal ini terutama mereka tawarkan kepada kalangan remaja. Kelompok ini memperkenalkan sebuah kesesatan sebagai sesuatu yang benar dan modern. Mereka menganggap bahwa motivasi-motivasi dan prinsip-prinsip kehidupan yang benar sebagai sesuatu yang kuno dan harus ditinggalkan. Tanpa diragukan lagi, taklid kepada propaganda seperti ini merupakan sebuah taklid yang salah, keliru, dan hukumnya haram. Para remaja dan para pemikir harus mencari solusi untuk menyelamatkan diri dari keadaan yang mengerikan ini dengan berlindung kepada agama Ilahi dan menyandarkan diri kepada para ulama yang benar dan adil.

2. Makrifat dan Pengenalan Tuhan

Salah satu prinsip yang memiliki akar terpenting dalam pandangan dunia, pengenalan manusia, ideologi, dan menjadi bagian terbesar dalam wacana filsafat adalah pengenalan terhadap Sumber Eksistensi alam dan kebergantungan segala sesuatu kepada-Nya. Pandangan dunia yang tidak bersandarkan pada makrifat Sang Pencipta merupakan sebuah pandangan yang non-rasional dan rendah. Korelasi-korelasi yang dipandang terjadi secara kebetulan yang tanpa tujuan berujung pada pandangan atas ketiadaan mekanisme yang bersandar pada hikmah dan kebijaksanaan dalam maujud-maujud alam. Manusia yang meyakini Sang Pencipta dan alam akhirat dengan orang yang tidak meyakini kedua hal itu adalah dua substansi dan dua hakikat yang berbeda, kecuali dalam hal yang sangat sedikit memiliki persamaan. Dari sinilah sehingga pengenalan terhadap Sang Pencipta memiliki peran yang sangat signifikan dalam pengenalan manusia, dan perbedaan serta persamaan yang ada dalam wilayah ini telah membentuk manusia betul-betul berbeda antara satu dengan yang lain. Demikian juga pembahasan pengenalan Tuhan, memiliki saham yang sangat besar dalam pembahasan epistemologi. Pendapat-pendapat yang dimiliki oleh para pemikir dan ilmuwan Ilahi dalam pembahasan epistemologi sangat berbeda dengan pendapat-pendapat para kafir dan ateis, bahkan kadangkala sangat kontradiktif. Oleh karena itu, perlu dilakukan pembahasan secara cermat dan mendetail terhadap berbagai pikiran dan pendapat serta menghindarkan diri dari segala persoalan politik, fanatisme, dan taklid-buta, juga menghindarkan diri dari segala bentuk pengabaian dan peremehan serta sebisa mungkin untuk melakukan observasi, karena menganggap remeh persoalan sekecil apapun akan berujung pada kelemahan iman, merusak pilar keagungan manusia, dan menghancurkan kemuliaan akhlak manusia.

Seluruh agama-agama Ilahi memberikan perhatiannya terhadap persoalan pengenalan hamba kepada Tuhan dan mengarahkan perhatian manusia kepada realitas bahwa Tuhan merupakan sumber dari seluruh eksistensi, penyebab seluruh kebaikan, dan seluruh yang terjadi di alam eksistensi ini merupakan keinginan dan kehendak-Nya. Mereka datang untuk membangunkan fitrah-fitrah manusia, menjelaskan argumentasi-argumentasi akal dan memberikan nasehat-nasehat untuk lebih mendekatkan umat manusia kepada hakikat yang lebih tinggi dan tidak melalaikan mereka selama berada dalam lintasan ini hingga sampai ke titik akhir. Perhatian yang tulus dan jerih payah tiada putus dari para Nabi, dan juga diutusnya sosok agung Rasulallah dan para Imam yang telah menyebabkan sebagian besar dari masyarakat dunia dalam berbagai masa dan berbagai tempat baik jauh maupun dekat telah memiliki satu sembahan saja yaitu Tuhan Sang Pencipta.

Kemustahilan Mengenal Hakikat Zat Tuhan

Hakikat zat Tuhan tidak bisa dikenali. Tak terjangkaunya masalah ini oleh pikiran manusia bisa digambarkan sebagai berikut: karena Tuhan merupakan sebuah hakikat tak terbatas yang dalam ketakterbatasan-Nya pun tak terbatas. Dia adalah Esa, tanpa ada yang serupa dengan-Nya, dan tanpa ada yang mampu menandingi-Nya, maka:

a.  Hakikat tak terbatas ini sama sekali tidak akan bisa ditangkap oleh pikiran manusia yang terbatas dan tak akan bisa berada dalam lingkup pikiran seseorang, karena apa yang ada dalam lingkup pikiran dan bisa dikuasai oleh akal adalah terbatas; dan segala sesuatu yang digapai - yang selain Tuhan - adalah terbatas.

b.  Dalil ini bisa dipaparkan sebagai berikut bahwa tak bisa diragukan lagi bahwa manusia adalah makhluk dan akibat Tuhan, dan suatu akibat tidak akan pernah bisa melingkupi sebabnya.

c.  Demikian juga bisa dipaparkan dengan metode ketiga, yaitu tidak ada sebuah maujudpun di alam ini yang mampu mengetahui hakikat zat Tuhan, melainkan seluruh pengenalan yang dimiliki oleh manusia hanya terbatas pada aksiden-aksiden dan sifat-sifat benda. Apabila kita mendefinisikan air, maka kita akan mengatakan bahwa air adalah sebuah benda cair tak berwarna dan tak berasa yang memiliki massa tertentu. Pada prinsipnya, seluruh yang kita utarakan berkaitan dengan benda adalah penjelasan mengenai sifat-sifatnya, akan tetapi tentang apa substansi dan hakikat air itu sendiri hingga sekarang ini belum terlontarkan. Demikian juga apabila kita menjelaskan air sebagai sesuatu benda cair yang terbentuk dari dua unsur tertentu (yaitu oksigen dan hidrogen), maka permasalahan yang sama akan kita temukan pada kedua unsur tersebut dimana kitapun harus mendefinisikan tentang kekhususan, aksiden, dan sifat-sifat yang dimiliki oleh kedua unsur tersebut.

Meskipun makna dan pengertian ‘wujud’, ‘keberadaan’, dan ‘eksistensi’ adalah sangatlah jelas dan pemahaman tentang ‘wujud’ itu sendiri tidak membutuhkan satupun penjelasan semantik, akan tetapi mengenai hakikat zat Tuhan tidaklah demikian, karena zat Tuhan benar-benar berada di luar jangkauan akal-pikiran manusia. Ilmu manusia terhadap “hakikat-hakikat” alam adalah tidak pasti. Jadi, apabila hakikat maujud-maujud alam ini tidak bisa ditangkap oleh pikiran dan tidak berada dalam kewenangan akal, lantas bagaimana hakikat Pencipta alam ini apakah bisa dipahami oleh akal dan diketahui?

Pengenalan Tuhan melalui Sifat-Sifat-Nya

Tentunya kita bisa mengenal Tuhan dengan sifat-sifat-Nya, sebagaimana al-Qur’an memperkenalkan Tuhan dengan berbagai firman-Nya, yang salah satunya adalah ayat berikut, “Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, Raja, yang Maha Suci, yang Maha Sejahtera, yang mengaruniakan Keamanan, yang Maha Memelihara, yang Maha Perkasa, yang Maha Kuasa, yang memiliki segala Keagungan, Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan”[40].

Kadangkala Dia memperkenalkan diri-Nya sedemikian tegas dan jelas dimana Dia memposisikan pintu, dinding, bumi dan tanah sebagai manifestasi dan tajalli diri-Nya, Allah berfirman, “.., maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah”[41], dengan makna bahwa tidak ada satu arahpun yang kosong dari-Nya dan tidak ada sesuatupun yang memiliki kemandirian, melainkan segala sesuatu merupakan wajah-Nya dan bergantung kepada-Nya.

Pembuktian Tuhan dengan Argumentasi Akal

Argumentasi terbentuk dari dua premis yang memiliki korelasi khusus dan melahirkan sebuah konklusi. Apabila kita mengatakan “Socrates adalah manusia” dan “Setiap manusia pasti akan mati”, maka kesimpulannya pasti adalah, “Socrates pasti akan mati”. Sekarang apabila kita mengetahui bahwa Tuhan adalah Pencipta manusia, sementara dalam hal ini manusia dan kedua premis argumentasi beserta korelasi antara keduanya dan kesimpulan yang dihasilkannya adalah semuanya akibat dari Tuhan, dengan demikian hakikat argumentasi yang tidak lain adalah ‘hubungan’ itu sendiri dengan Tuhan, sama sekali tidak akan pernah mampu secara mandiri menjadi bukti dan dalil sempurna atas hakikat Tuhan. Apakah matahari adalah dalil bagi cahaya atau cahaya sebagai dalil matahari?

Jadi, hal ini sebagaimana seseorang yang berdiri di atas matahari dan melihat cahaya alam dan terangnya alam, dan meyakini bahwa matahari merupakan dalil dan alasan bagi munculnya sinar yang terang itu, bukan sebaliknya, yaitu cahaya alam yang menjadi dalil atas keberadaan matahari.

Dalam salah satu ayatnya Allah Swt berfirman, “Dialah Allah yang menciptakan, yang mengadakan yang membentuk rupa, yang mempunyai asmaaul husna”[42], demikian juga  Dia berfirman, “Berkata Rasul-rasul mereka: “Apakah ada keragu-raguan terhadap Allah, Pencipta langit dan bumi?”[43]

Dengan alasan inilah Mula Sadra berkata, “Dia tidak membutuhkan dalil, melainkan Dia adalah dalil atas segala sesuatu”.[44]  Imam Husein as dalam salah satu doanya bersabda, “Bagaimana mereka bisa berargumentasi tentang-Mu, sementara segala sesuatu dan seluruh hakikat yang dimilikinya membutuhkan-Mu“[45], setelah itu dengan mengungkapkan sebuah argumentasi yang jelas, beliau bersabda, “Adakah maujud selain diri-Mu yang memiliki manifestasi mengagumkan yang Engkau tidak memiliki sehingga Engkau tidak mampu menampakkan diri-Mu?”[46], lalu Imam as melanjutkan, “Kapankah Engkau menghilang sehingga membutuhkan sebuah argumentasi supaya mereka melihat-Mu, dan ke manakah Engkau pergi sehingga mereka menampakkan bukti ketiadaan-Mu. Butalah mata orang-orang yang tidak melihat penjagaan-Mu atasnya.”[47]

Tuhan memperkenalkan diri-Nya dengan cahaya, dengan berfirman, “Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi”[48], dengan keyakinan, yang dimaksud dengan cahaya di sini bukanlah cahaya fisik yang memancar pada benda-benda, melainkan cahaya yang menyibak ‘kegelapan ketiadaan’ dan menampakkannya dalam bingkai ‘keberadaan’ dan ‘eksistensi’. Di dalam al-Qur’an sama sekali tidak akan ditemukan argumentasi untuk membuktikan wujud Tuhan, karena fitrah dan akal manusia “memahami” eksistensi-Nya.

Pembuktian Eksistensi Tuhan

Apa yang diungkapkan oleh para filosof dan teolog dalam bentuk argumentasi atas pembuktian wujud Tuhan, pada hakikatnya sebagai peringatan atas kelalaian-kelalaian manusia dan untuk membangunkan manusia dari “tidur”nya, dimana setelah manusia sadar dan terbangun akan mengetahui bahwa tidak ada yang akan mampu memenuhi wadah keberadaan dan wujud ini selain Tuhan dengan segala perbuatan dan sifat-sifat-Nya. Jadi, argumentasi wujub dan imkan, argumentasi gerak, argumentasi shiddiqin, dan burhan lainnya, seluruhnya merupakan bentuk peringatan bagi manusia dan menjawab berbagai keraguan-keraguan dan kritikan-kritikan yang diajukan manusia tentang eksistensi Tuhan, misalnya berbagai sanggahan yang diajukan oleh kaum ateisme seputar masalah-masalah ontologi. Dengan demikian, argumentasi rasional dan filosofis tentang ketuhanan tetap bermanfaat bagi kehidupan beragama manusia, meskipun masing-masing argumentasi tersebut memiliki kelemahan dan kekuatan yang berbeda.

Dari seluruh argumentasi yang ada, argumentasi yang paling baik adalah yang mengarahkan kita dari pengenalan sebab kepada akibatnya dan kalimat yang menghubungkan (middle term) dua premis (minor dan mayor) adalah sebab eksistensial bagi premis mayor, sebagaimana ketika kita mengatakan, “Darah orang ini terinfeksi, dan setiap orang yang memiliki darah terinfeksi akan memiliki suhu badan yang sangat tinggi, jadi orang ini memiliki suhu badan yang sangat tinggi”, dimana middle term-nya adalah “darahnya terinfeksi” yang juga merupakan sebab eksistensial untuk predikat dalam premis mayor yakni “memiliki suhu badan tinggi”. Argumentasi semacam ini dinamakan dengan a priori demonstration (burhan limmy, yakni argumentasi dari sebab ke akibat). Akan tetapi argumentasi yang berangkat dari akibat ke sebab yang disebut dengan posterior demonstration (burhan inny) menduduki tingkatan yang lebih rendah, sebagaimana kita membuktikan orang yang pernah melewati suatu jalan dengan melihat bekas tapak kaki yang ditinggalkannya. Sebenarnya bisa dikatakan bahwa kita belum sampai pada hakikat argumentasi, karena ketika melihat suatu akibat dan menyifatinya sebagai bentuk keakibatan lantas hal itu ditempatkan sebagai dalil, sementara belum dibuktikan bahwa hal itu benar-benar suatu akibat dari sebab tertentu, dan secara langsung ditetapkan keberadaan sebab dari akibat tersebut. Bagaimana hal ini bisa diyakini bahwa akibat itu secara hakiki adalah akibat dari sebab tertentu? Dengan demikian, sekedar penyipatannya sebagai suatu akibat tidak bisa dijadikan dalil untuk membuktikan suatu sebab. Selama kita tidak menemukan sebab mustahil diketahui akibatnya.

Tentunya posterior demonstration ini memiliki bagian lain yang mirip dengan a priori demonstration[49], yakni berangkat dari satu keniscayaan mengarah pada keniscayaan yang lain, seperti ketika kita mengatakan, “Alam adalah temporer, dan setiap yang temporer adalah baru-tercipta (hadits). Jadi, “alam adalah baru-tercipta (hadits)”. Dalam argumentasi ini, perubahan dan keterciptaan pada dasarnya merupakan dua hal yang saling meniscayakan, yakni dari suatu perubahan mengarahkan pada suatu keterciptaan. Argumentasi ini, meskipun tidak sekuat a priori demonstration, akan tetapi dalam filsafat, ilmu logika, fisika, kimia, dan ilmu matematika sangat penting dan bermanfaat.

Tentunya sebagian dari argumentasi yang telah diuraikan untuk membuktikan eksisitensi Tuhan adalah argumentasi yang mirip dengan a priori demonstration, sebagaimana argumentasi wujub dan imkan, argumentasi gerak yang masing-masing sangat penting dan mempunyai peran yang khas untuk mengarahkan ilmu dan makrifat, akan tetapi dalam argumentasi shiddiqin akan mengantarkan kita dari suatu ‘keberadaan’ kepada ‘keberadaan murni’. Dalam argumentasi ini, yang ada hanyalah wujud mutlak. Terutama penjabaran yang dilakukan oleh Allamah Thabathabai qs yang serupa dengan syair yang berbunyi: Matahari adalah dalil bagi wujud matahari itu sendiri.

Tauhid dalam Zat Tuhan

Zat Tuhan merupakan satu-satunya hakikat yang keesaan dan kemanunggalan-Nya tidak sebagaimana kemanunggalan yang ada pada seluruh maujud, karena kemanunggalan yang ada pada masing-masing maujud alam masih menerima suatu asumsi atas keberadaan realitas lain secara potensial yang serupa dengan masing-masing maujud tersebut. Sebagai contoh, dalam tata surya, hanya ada satu matahari demikian juga hanya ada satu planet bumi, akan tetapi apabila kita asumsikan bahwa suatu hari nanti terdapat matahari lain dan bumi lain, maka hal ini bisa diterima dan dimungkinkan oleh akal serta tidaklah mustahil, meskipun saat ini matahari dan bumi lain belum terwujud secara aktual.

Akan tetapi mengenai wujud Tuhan adalah mustahil diasumsikan keberadaan wujud lain yang bernama Tuhan. Wujud Dia adalah satu-satunya yang tidak akan pernah memiliki wujud kedua, karena Dia adalah sebuah wujud yang tak terbatas, dan di alam eksternal keberadaan dua wujud yang tak terbatas adalah mustahil, karena jika ada dua wujud yang tak terbatas di alam eksternal ini maka wujud yang dikatakan tak terbatas itu pada hakikatnya adalah terbatas (yakni dibatasi oleh wujud yang lain). Jadi zat Tuhan yang tak terbatas hanya ada satu dimana keberadaan wujud kedua baginya sama sekali tidak bisa kita bayangkan, karena jika kita memisalkan salah satu dari tak terbatas tersebut lalu menggambarkannya, maka kita akan melihat bahwa kita tidak bisa mengumpamakan yang kedua. Apabila dalam tauhid zat kita sepakat dengan keesaan Tuhan, hal ini tidaklah berarti bahwa Dia adalah satu (dalam kuantitas bilangan), yakni bukan dua, tiga, empat, dan seterusnya. Namun bermakna bahwa Dia adalah Esa dan Tunggal dimana yang kehadiran realitas kedua mustahil tergambarkan. Tentunya dalam masalah ini telah dilakukan survei yang sangat cermat, dan dikatakan bahwa wujud Tuhan tidak terkomposisi dari enam hal dibawah ini:

1. Tidak terkomposisi dari unsur-unsur kuantitas;

2. Tidak terkomposisi dari unsur-unsur alam-pikiran (spesis dan diferensia);

3. Tidak terkomposisi dari unsur-unsur benda eksternal (materi dan bentuk);

4. Tidak terkomposisi dari wujud dan tiada;

5. Tidak terkomposisi dari wujud dan kuiditas;

6. Tidak terkomposisi dari substansi dan aksiden.

Tauhid dalam Sifat Tuhan

Di antara pembahasan tauhid yang sangat mendalam adalah tauhid dalam sifat Tuhan. Dikatakan bahwa jumlah sifat Tuhan sebanyak jumlah maujud-maujud dan makhluk-makhluk-Nya, yaitu setiap makhluk memiliki karakteristik khusus dan tercipta berdasarkan karakteristik khusus. Kita mengetahui bahwa makhluk-makhluk Tuhan tidak bisa terhitung. Jadi sifat perbuatan Tuhan, dari sisi ketakterbatasan makhluk ini, tidak bisa pula terhitung, akan tetapi kita harus memperhatikan poin penting berikut bahwa dalam salah satu hadits Imam Ali as bersabda, “Kesempurnaan tauhid adalah tidak memandang sifat-sifat Tuhan sebagaimana sifat-sifat ciptaan-Nya, karena pada makhluk, sifat adalah selain yang disifati dan yang disifati adalah selain sifat“[50], demikian juga sifat mengaksiden pada yang disifati, akan tetapi Tuhan sama sekali bukan tempat aksiden, dan hal ini merupakan keistimewaan Pencipta dan hanya menjadi milik-Nya. Akan tetapi Tuhan dalam al-Qur’an dipuji dengan begitu banyak sifat-sifat, seperti Maha Mengetahui, Maha Agung, Maha Melihat, Maha Mendengar, Maha Penyayang, Maha Pengampun, dan sifat-sifat lainnya, dan kita mengenal-Nya dari sifat-sifat ini, akan tetapi tentunya kita harus mengetahui bahwa Tuhan tidaklah seperti kita yang berilmu setelah jahil. Jika Tuhan Maha Penyayang itu tidak berarti bahwa Dia memiliki suatu kondisi yang lahir dari pengaruh dan reaksi, dan di sinilah letak kesulitan manusia paling besar dalam mengenal Tuhan, karena manusia tidak bisa menggambarkan segala sesuatu dengan benar tanpa melihatnya atau tanpa memahaminya dengan panca indera.

Sifat-Sifat dan Ketunggalan Tuhan

Tuhan Pencipta segala alam merupakan zat yang tak dikenal secara mutlak dan tak bisa digambarkan. Seluruh penglihatan bagi-Nya merupakan suatu hal yang jelas dan dari sinilah kita menyebut Yang Maha Melihat (al-bashîr). Seluruh maujud yang ada di alam sangat gamblang dalam pandangan-Nya dan tak ada satupun realitas yang tak jelas bagi-Nya, dan kita menyebut-Nya dengan Yang Maha Mengetahui (al-Alîm). Dari sisi bahwa Dia menciptakan segala sesuatu sesuai dengan keadaan dan kondisi masing-masing, kita menyebutnya Maha Bijaksana (al-Hakîm). Karena Dia menciptakan seluruh eksistensi dari ketiadaan, maka Dia adalah Maha Pencipta (al-Khâlik). Akan tetapi seluruh sifat-sifat tersebut sama sekali tidak akan pernah menafikan keesaan zat-Nya, melainkan zat-Nya tetap merupakan suatu hakikat tunggal yang hadir dalam berbagai sifat-sifat tersebut, hanya saja kita memahami secara beragam sifat-sifat tersebut, yakni dalam konteks pemahaman, sifat-sifat tersebut berbeda satu dengan yang lain, namun dari sisi realitas eksternal, semua sifat tersebut menyatu dalam zat Tuhan secara manunggal.

Untuk memperjelas masalah ini, marilah kita mengamati seseorang yang memiliki berbagai sifat, misalnya pemurah, ahli matematik, sastrawan, filosof, dan dokter. Di antara para filosof dia adalah seorang filosof terkenal, di kalangan para ahli matematik dia adalah seorang yang handal dalam memecahkan persoalan-persoalan matematik, di juga dikenal sebagai seorang sastrawan yang mumpuni, sedangkan di kalangan para dokter dia dikenal sebagai seorang dokter yang ahli dalam bidangnya. Keragaman sifat-sifat yang dimiliki oleh orang tersebut sama sekali tidak memecah ketunggalan wujudnya (yakni menjadikan dia menjadi sosok-sosok yang beragam), melainkan dia tetap sosok tunggal yang memiliki berbagai sifat istimewa tersebut.

Tuhan pun demikian halnya, dengan seluruh sifat dan asma yang tak terbatas jumlahnya, Dia sama sekali tidak memiliki keragaman dalam zat suci-Nya, melainkan Dia senantiasa dalam keesaan dan ketunggalan wujud-Nya.

Perbedaan antara Asma dan Sifat

Apabila sifat yang kita nisbatkan kepada Tuhan dalam bentuk kata pelaku (ism al-fâ’il), maka zat itu digandengkan dengan sifat, misalnya dikatakan alîm, hakîm, qâdir, atau hadir dalam bentuk sifat musyabbahah seperti samî’, bashîr, rahîm, karîm, maka di sini kita sebut sebagai ‘nama’ Tuhan, dan apabila kita hanya menisbatkan sifat semata kepada Tuhan, maka disebut dengan ’sifat’, seperti kodrat, ilmu, hikmah, mengatur, dan lain-lain.

Asma, Sifat Zat, dan Sifat Perbuatan

Setiap kali kita menisbatkan asma atau sifat kepada Tuhan dimana nisbat ini mengharuskan keberadaan suatu maujud di luar zat, maka asma dan sifat ini merupakan sifat perbuatan. Sebagaimana ‘Maha Pemberi Rezki’ (ar-razzaq) yang memestikan keberadaan ’sesuatu yang menerima rezki’ (al-marzuq), khalik menuntut adanya makhluk, sementara Pemberi Ampun (al-ghafur) dan Penyayang (ar-rahim) menuntut adanya orang yang bisa diampuni dan diberi kasih sayang. Jadi, asma dan sifat ini akan terwujud apabila orang yang membutuhkan rezki dan yang membutuhkan pengampunan serta rahmat terwujud di alam eksternal. Dan setiap kali nama dan sifat yang kita nisbatkan kepada-Nya tidak membutuhkan kemestian maujud di luar zat, maka kita namakan dengan sifat zat yang menyatu dengan zat itu sendiri, seperti sifat hidup, berilmu, wujud, nur, kaya, dan lain-lain, yang seluruhnya merupakan asma zat dan menyatu dengan zat Tuhan, dan dalam kehadirannya tidak membutuhkan sesuatupun di luar zatnya, seperti sifat Maha Kuat (al-qâdir) yang bermakna pemilik kekuatan dan sumber keberadaan, makna sifat ini ada pada Tuhan meskipun Dia tidak menciptakan sesuatupun.

Perlu diingat bahwa asma dan sifat Tuhan merupakan kemestian zat, karena Dia adalah Maha Pemberi Kesempurnaan (fayyadh bi adz-dzat) dan pasti Dia menciptakan segala sesuatu dengan suapaya asma dan sifat-sifat-Nya termanifestasi.

3. Mengenai Kepemimpinan dalam Islam

Setelah membahas pengenalan Tuhan, pandangan dunia, dan pengenalan manusia, pembahasan selanjutnya berkisar pada hidayah dan kepemimpinan dari Tuhan. Kebijaksanaan Tuhan atas alam ini dan keuniversalan pengaturan alam semesta akan mengarahkan kita pada suatu pemikiran bahwa mustahil Tuhan tidak mengutus pemimpin dan pembimbing untuk manusia, karena sebelum kebutuhan manusia atas segala sesuatu, kebutuhan atas segala kenikmatan, dan sebelum memanfaatkan seluruh kemuliaan-kemuliaan Tuhan, pada hakikatnya manusia pertama-tama lebih membutuhkan seorang pemimpin, manusia senantiasa membutuhkan seorang pemimpin yang akan memberikan pelajaran tentang metode dan adab-adab kehidupan, bahkan bagaimana kita harus menjalani kehidupan di samudra keberadaan yang tak terbatas ini, dimana awal dan akhir dari alam ini tidak akan pernah jelas bagi siapapun, kecuali bagi Tuhan Sang Pencipta.

Tanpa bimbingan seorang pemimpin suci Ilahi, apapun yang dikerjakan oleh manusia akan terjerumus pada kesalahan dan kesesatan, kecuali apa yang dikerjakan tersebut sesuai dengan ketetapan yang berdasarkan petunjuk suci seorang pemimpin Ilahi yang bersumber dari Pemiliki Ketakterbatasan, Pemiliki Pengetahuan Abadi, dan yang Mengetahui awal dan akhir petualangan manusia serta alam. Dari sini, jelaslah bahwa Pencipta yang maha Hakim pasti tidak akan melepaskan para hamba-Nya melainkan akan membimbing mereka dengan kebenaran, dalam al-Qur’an Allah Swt berfirman, “Dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk”[51], dan berfirman, “… yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk”[52], yaitu segala sesuatu berada dalam lingkup pengaturan dan hidayah Ilahi, atompun yang sangat kecil sekalipun tidak akan mampu bergeming dari tempatnya, dan tidak akan ada tunas yang keluar dari tanah kecuali dengan hidayah dan izin dari-Nya. Demikian juga, apabila batu, tanah, bunga, bahan-bahan tambang, dan segala sesuatu di alam ini yang seluruhnya diarahkan ke jalan yang benar dan lurus, maka bagaimana mungkin manusia sebagai makhluk paling mulia di alam semesta akan dilepaskan begitu saja di alam yang begini luas?, apalagi dalam al-Qur’an, Allah swt telah berfirman, “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu.”[53] Jadi, hidayah untuk manusia merupakan suatu hal yang pasti dan niscaya.

Perbedaan manusia dari selainnya terletak pada kemuliaan manusia yang hal inilah menyebabkan keberadaan ritualitas dan kewajiban dari Tuhan hanya layak dan pantas bagi manusia, satu-satunya ciptaan yang memiliki kemampuan untuk memilih, dan dia harus melangkah menuju kesempurnaan dengan pilihan dan kehendaknya sendiri, bangkit dari alam materi menuju ke alam tertinggi malakuti yang membuat takjub pada malaikat.

Di alam ini, dari dalam tanah yang hitam dan pupuk yang kotor bisa memunculkan beragam bentuk bunga, seperti bunga mawar, bunga melati, dan sebagainya, akan tetapi tidak ada kemuliaan pada bunga-bunga itu, karena seluruh perubahan ini muncul dari suatu proses alami yang “terpaksa”, akan tetapi manusia akan menjadi makhluk termulia karena bergerak dengan seluruh pilihan dan kehendak yang dimilikinya, manusia akan bangkit dari alam tanah untuk mencapai kedudukan tertinggi malakuti, namun karena tidak memahami hakikat manusia para malaikat mengajukan keberatan dengan berkata, “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal Kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?”[54], dan Allah Swt menjawab dengan berfirman, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”[55]

Sebuah Argumentasi Sederhana

Semua mengetahui bahwa antara dua titik bisa ditarik begitu banyak garis hingga berjumlah tak terbatas, dan di antara seluruh garis yang tak terbatas ini hanya ada sebuah garis yang lurus, sementara garis-garis lainnya tidak akan terlepas dari penyimpangan, kadangkala bentuk penyimpangannya terlihat sangat kentara dan kadangkala sangat halus yang hampir tak terlihat. Manusia dari titik permulaan kehidupannya hingga titik akhirnya, yaitu dari lahir hingga kematiannya, akan melewati kehidupannya di antara dua titik tersebut dimana di antara dua titik ini terdapat garis-garis yang tak terbatas jumlahnya. Walhasil, garis yang lurus hanya ada satu dan garis-garis lainnya, bisa jadi berada dalam penyimpangan dan mengandung penyimpangan, dan kemungkinan untuk menemukan satu garis lurus di antara sekian banyak garis, akan memiliki perbandingan satu berbanding tak terbatas, yang secara normal dan rasional merupakan sebuah hal yang mustahil tercapai.

Oleh karena itu, mustahil manusia bisa melangkah di atas jalan lurus ini kecuali dengan hidayah dari Sang Arsitek Alam, dan kitapun mengetahui bahwa berdasarkan perhitungan geometri mustahil menghitung keluasan alam materi secara tepat dan pasti, begitu pula akal-pikiran manusia tak mampu menebak batasan hakikat dirinya sendiri, lantas bagaimana mungkin dia mampu mengetahui seluruh alam yang keluasannya tak terbatas ini? Jadi, Tuhan sama sekali tidak akan pernah melepaskan manusia begitu saja tanpa mengutus seorang pemimpin suci untuk menebarkan hidayah-Nya kepada manusia. 

Mengenai Klaim Para Penerima Hidayah Ilahi

Aliran-aliran yang mengklaim dirinya pemiliki hidayah berupaya menyusun rancangan untuk menarik generasi manusia ke arahnya, sebenarnya mereka ini tidak memahami hakikat alam, keluasan alam, dan tidak memiliki sedikitpun informasi tentang realitas-realitas alam, dan manusia malang yang seharusnya melangkah untuk melewati keluasan alam ini dan bergerak dengan kecepatan penuh ke arah Sumber Eksistensi dan melakukan harmonisasi dengan seluruh maujud, dimana al-Qur’an mengutarakan lintasan tersebut dengan, “…, dan kepada Allah-lah kembali (segala sesuatu)”[56] dan “Sesungguhnya hanya kepada Tuhanmulah kembali(mu)”[57], akan tetapi langkah manusia terhalangi dan terkonsentrasi hanya pada dirinya dan bergerak hanya pada lintasan khayalnya sendiri. Mereka ini berusaha mempertahankan manusia dari untuk tetap berada dalam kafilah alam materi supaya tidak pernah menapakkan kakinya ke arah alam malakuti, hingga kemudian ketika manusia yang terpenjara ini terlepas dari cengkeraman mereka dan sampai pada gerbang kematian, tiba-tiba dia melihat dirinya telah terkapar dan mengalami kerugian sedemikian besar karena ternyata selama ini dia berada dalam genggaman hawa nafsu sebagian orang-orang yang tak berpengetahuan. Pada saat ini barulah mereka memahami kebodohan dan kezalimannya, lalu ketika berada di dalam neraka yang membakar itu mereka lantas mengadu kepada Tuhan dengan berkata, “Ya Tuhan Kami, mereka telah menyesatkan kami, sebab itu datangkanlah kepada mereka siksaan yang berlipat ganda dari neraka”. Allah berfirman: “Masing-masing mendapat (siksaan) yang berlipat ganda, akan tetapi kamu tidak mengetahui”[58] dan juga berkata, “Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar)”[59].

Persyaratan Pemimpin Sejati

Karena manusia adalah makhluk yang paling mulia dan paling rumit dalam mekanisme penciptaan serta juga memiliki beragam dimensi yang mustahil untuk dikenali, dengan demikian, pemimpin mereka haruslah orang yang memiliki kelayakan yang benar-benar dibutuhkan, yaitu memiliki pengetahuan sempurna dan penguasaan yang luas terhadap seluruh dimensi manusia, dan mampu mengawasi hukum-hukum partikular dan jalannya kehidupan dengan pandangan yang cermat, teliti, dan meyakinkan.

Pemimpin mereka haruslah orang yang tidak terbatasi oleh penggalan waktu dan tempat, melainkan harus mendominasi alam ini dengan seluruh wujudnya, dan mengenal malaikat, alam malakuti, dan jabaruti yang merupakan lintasan yang akan dilalui oleh manusia setelah kehidupan di dunia ini. Demikian juga dia harus memiliki keharmonisan dengan dimensi kenon-materian manusia (jiwa manusia) dan perangkat-perangkat serta aksiden-aksidennya. Dia berusaha penuh dengan ketulusan dan keikhlasan dalam mendidik, membimbing, dan meninggikan martabat manusia. Demikian juga dia harus searah dengan keabadian wujud manusia dan telah melewati berbagai alam setelah alam dunia ini, mengenal hakikat alam akhirat sebagaimana dia mengenal adab-adab dan hukum-hukum dunia ini. Kemampuan semacam ini tidak akan bisa diperoleh kecuali di bawah naungan wahyu-Nya dan utusan hakiki-Nya. Satu-satunya jalan untuk menggapai pengetahuan terhadap rahasia-rahasia agung ini hanyalah dengan menjalin hubungan hakiki dengan Sumber Alam dimana sejak permulaan alam hingga akhir alam Dia telah memperkenalkan para Nabi, Rasul, dan utusan-Nya dan setelah itu Dia menugaskannya untuk mengajak manusia ke arah-Nya.

Mukjizat

Mukjizat merupakan argumentasi yang paling kuat untuk membuktikan kesucian para Nabi dan bukti kuat akan hubungan sucinya dengan Sang Pencipta dan alam non-materi. Mukjizat merupakan perbuatan luar biasa yang mustahil bisa dilakukan oleh manusia biasa, bahkan tidak ada seorangpun yang mampu berhadapan dengan mukjizat para Nabi. Tentunya pernyataan kepemilikan mukjizat seiring dengan pernyataan kenabian seseorang. Dan apabila seseorang mengutarakan pernyataan kenabian tersebut, maka penampakan mukjizat di hadapan masyarakat merupakan sebuah perbuatan yang mudah baginya.

Pembagian Mukjizat

Mukjizat terbagi menjadi dua bagian:

1. Mukjizat dari seorang Rasul yang pada zaman tertentu diutus untuk menyampaikan risalah dan setelahnya diutus Rasul lainnya yang juga mengumumkan mukjizat baru untuk kenabiannya, dan cukup baginya menampakkan mukjizat tersebut di hadapan masyarakat. Kemudian pada masa selanjutnya, mukjizat tersebut hanya dinukilkan, dan penukilan secara pasti tersebut diyakini oleh masyarakat tersebut (seperti al-Qur’an menukilkan mukjizat yang dimiliki oleh para Nabi terdahulu). Apabila pemberitaan tersebut bersifat tidak pasti, maka perkara tersebut tidak bisa digolongkan sebagai mukjizat, dan hanya pemberitaan yang tidak bercampur dengan kebohongan dan kekeliruan yang bisa diterima, walaupun keberadaan mukjizat yang diberitakan itu adalah sangat mungkin pada zaman tersebut.

2. Mukjizat dari seorang Rasul yang abadi hingga hari kiamat, seperti al-Qur’an yang merupakan mukjizat dari Rasul terakhir, Muhammad bin ‘Abdillah saw. Dalam keadaan ini, rasul yang abadi meniscayakan mukjizat yang abadi pula. Mukjizat tersebut tidak terbatas pada kondisi, zaman, dan tempat tertentu, dan juga bukan merupakan lambang kenabian yang bersifat sementara, bahkan diharuskan ada suatu mukjizat yang bersifat abadi dan tak usang oleh zaman. Mukjizat yang berada di atas ruang dan waktu serta tidak memiliki keterbatasan ini dikatakan sebagai mukjizat akal.

Mukjizat Rasul Terakhir

Nabi Muhammad saw memiliki suatu mukjizat yang abadi yang dikaruniakan kepada umat manusia dalam bentuk al-Qur’anul Karim yang tidak dibatas oleh zaman dan tempat. Al-Qur’an senantiasa menantang seluruh umat manusia untuk membuat ayat-ayat yang serupa dengan salah satu ayat-ayat yang ada di dalamnya, sebagaimana dikatakan dalam salah satu firman-Nya, “Katakanlah: “Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan Dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain”[60], demikian juga dalam salah satu ayat dari surah Thur, Allah swt berfirman, “Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal Al Quran itu jika mereka orang-orang yang benar”[61], dan pada surah al-Baqarah berfirman, “Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Quran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar. Maka jika kamu tidak dapat membuat(nya) - dan pasti kamu tidak akan dapat membuat(nya), peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir”[62].

Di sepanjang sejarah, belum ada seorangpun yang mampu menerima tantangan al-Qur’an tersebut bangkit dan berhasil menaklukkan keajaiban yang dimiliki oleh al-Qur’an. Kita mengetahui bahwa para musuh Islam ketika mampu melawan Islam sedikit saja, mereka pasti akan menginformasikan hal ini ke seluruh jagat raya supaya seluruh umat manusia mengetahuinya dan tercatat dalam sejarah manusia, akan tetapi, hingga saat ini tidak pernah ditemukan seorangpun yang menyatakan mampu menandingi al-Qur’an dan sejarahpun tidak pernah menukilkan sebuah realitas yang seperti ini.

Mukjizat Lain dalam Islam

Mukjizat-mukjizat abadi lain yang dimiliki oleh Islam adalah mengenai keluasan hukum Islam dimana mencakup seluruh dimensi wujud manusia dengan seluruh kebutuhan-kebutuhannya, pada dimensi ini manusia telah diletakkan sebagai lawan bicara yang didudukkan berdasarkan karakteristik yang dimilikinya, dimana dengan melakukan hukum-hukum yang telah ditetapkan secara baik dan benar, akan mengantarkan manusia menjadi makhluk paling mulia dan  berharga di alam semesta ini.

Pembinaan masyarakat yang benar, akan membentuk manusia menjadi:

Manusia akan sampai pada kedudukan paling tinggi di dunia ini, sebagaimana yang ditunjukkan oleh berbagai pengalaman bahwa kejahilan bangsa Arab mengalami perubahan yang begitu drastis dengan turunnya agama ini dimana menjadi sumber paling penting dalam kemunculan peradaban Islam. Wilayah yang sebelumnya merupakan sebuah wilayah yang jahil, terbelakang, dan tak beradab, telah berubah wajah menjadi negara teladan bagi bangsa barat dan timur. Demikian juga dengan Negara Republik Islam Iran, dari sebuah negara dengan masyarakat paling tertinggal dan berada dalam cengkeraman kekuasaan penjajah, kemudian terselamatkan dengan datangnya seorang Imam pemimpin umat, Imam Khomeni, dan setelah 24 tahun, negara yang awalnya merupakan sebuah negara terbelakang dan sangat bergantung pada Negara penjajah ini dengan kemuliaan dan izin dari Sang Khalik mampu muncul dalam bentuk sebuah negara yang paling mandiri dan bisa keluar dari boikot musuh-musuhnya dengan kebanggaan penuh dan mulia.

Pasca alam dunia, manusia akan tetap menjadi yang termulia. Hukum-hukum yang diterapkan oleh agama yang suci ini telah membentuk manusia berdasarkan kondisi alam barzakh, alam kubur, dan alam kiamat sebagaimana ketika memasuki alam yang lainnya, mereka menemukan dirinya mendapatkan ketenangan di alam tersebut sebagaimana di alamnya sendiri. Aturan-aturan ibadah, etika dan akhlak, sosial dan politik, konstruksi dan rekonstruksi manusia sangat sesuai dengan tempatnya yang abadi. Semakin cermat, mendalam, dan berkualitas seseorang dalam menjalankan aturan-aturan suci agama dan semakin dia berusaha menghiasi dirinya dengan taqwa dan kesucian, maka sudah pasti dia akan menggapai maqam terttinggi dan menjadi semakin agung dan mulia. Kemampuan yang dimiliki oleh hukum-hukum ini muncul dengan sedemikian hebatnya, hal ini karena penyusun dan perancang hukum-hukum yang dimiliki oleh agama ini adalah Sang Pencipta keberadaan dan utusan-Nya memiliki pengetahuan yang sempurna terhadap hakikat alam ini yang akan membawa umatnya selangkah demi selangkah menuju ke depan dalam setiap perjalanan yang dilaluinya, dan mereka akan menjadi penjamin bagi kebahagiaan dan keberuntungan para umatnya di alam dunia dan akhirat. Metode pembinaan agama Islam ini secara sendirinya merupakan mukjizat ilmu yang terbesar dimana tidak dapat ditandingi oleh “agama-agama” dan paham-paham yang lain.

Sebuah Catatan

Agama Islam, dengan keajaiban abadi yang dimilikinya akan senantiasa abadi dan tetap. Yang urgen untuk diperhatikan di sini adalah poin penting berikut bahwa agama Islam merupakan sebuah maktab yang tertinggi sedemikian sehingga bisa dikatakan bahwa saat ini para spesialis yang bergelut dalam hukum-hukum dan makrifat Islam memiliki jumlah yang lebih sedikit apabila dibandingkan dengan para spesialis yang berkecimpung dalam bidang ilmu lainnya. Saat ini sosok-sosok agung yang mampu memberikan jawaban tentang makrifat tinggi Islam secara benar dan mendetail, seperti Allamah Thabathabai, Imam Khomeini, dan Syahid Muthahhari. Sosok-sosok seperti ini sangat langka dan sulit ditemukan. Oleh karena itu, tak seorangpun berhak memberikan pendapatnya pada agama suci ini tanpa adanya spesialisasi yang dibutuhkan, karena setiap cabang dari spesialisasi agama ini menuntut setengah umur manusia dan pemahaman yang teliti, seperti cabang-cabang fikih, usul, tafsir, kalam, filsafat, logika, irfan, hadits, sejarah, fikih politik, sosial dan lain-lain. Ijtihad dalam keahlian yang beragam ini membutuhkan waktu dan kesempatan yang sangat luas dari orang-orang yang paling berbakat.

Dari masalah ini, bisa dipahami dengan baik bahwa masyarakat dan umat Islam membutuhkan para spesialis dan para ahli agama yang mumpuni dalam setiap bidang-bidang tersebut pada setiap era dan zaman, sosok-sosok handal yang dengan ilmunya mampu memperkenalkan dan mengajarkan kepada masyarakat tentang kewajiban-kewajiban Ilahi yang berada dalam tanggung jawab masyarakat. Masyarakat pada umumnya tidak bisa mengenal hukum-hukum Ilahi dan perintah-perintah agama secara mandiri tanpa adanya seorang pembimbing dan pemimpin suci, adil, dan benar.

Kepemimpinan Sepanjang Masa

Seseorang yang memiliki ilmu dan pengetahuan, mengetahui perkembangan zaman, memiliki kecerdasan dan kepandaian yang luar biasa, demikian juga memiliki kemuliaan, ketakwaan, menghindari dosa, melawan hawa nafsu, dan pengemban seluruh perintah-perintah Islam dan Ilahi, maka dia sangat layak dan pantas memegang kepemimpinan dan mengarahkan masyarakat menuju tujuan tertinggi dan termulia. Sejarah telah mencatat berulang kali, apabila masyarakat memiliki kekuatan Ilahi dan kemampuan politik, maka sudah pasti mereka tidak akan terkalahkan oleh sebuah kekuatan manapun dan dengan kehendak suci mereka akan berhasil menundukkan para penguasa yang zalim. Dalam keadaan ini para fukaha, pewaris Nabi dan Imam, memiliki kewajiban untuk membimbing masyarakat dan mengajak mereka menuju agama suci Islam. Masyarakat harus mengikuti mereka, karena kalau tidak demikian, masyarakat akan terkapar dan tak berdaya di bawah injakan kaki para penjajah dan penguasa zalim serta akan kehilangan harga diri dan kepribadian. Sejarah berulang kali mencatat bahwa masyarakat yang meninggalkan perintah-perintah Islam akan berada di bawah cengkeraman para penindas dan penjajah.

Dalam agama Islam, kepemimpinan merupakan keberlanjutan dan keberlangsungan wilayah dan khilafah para Nabi, Rasul, dan Imam suci. Para manusia sempurna ini pada masa kehidupannya telah menekankan secara tegas mengenai masalah ini dan mengutus orang-orang yang memiliki pengenalan sempurna terhadap aturan-aturan Ilahi ke seluruh wilayah, baik yang jauh maupun yang dekat, dan sejarah banyak mencatat bahwa para Nabi berpesan kepada para fukaha yang berpengetahuan dan bertaqwa untuk menyampaikan masalah keberlanjutan khilafah ini kepada masyarakat. Setelah para Nabi dan Rasul wafat, para Imam suci inilah yang menjadi pemegang tampuk untuk memberi hidayah dan membimbiung manusia menuju ke arah jalan yang benar dan menuju kebahagiaan abadi, dan mereka sama sekali tidak akan pernah meninggalkan kafilah ini. Kepemimpinan dan wilayah ini, hingga saat ini masih tetap berlanjut. Agama suci ini sama sekali tidak akan membiarkan masyarakat berada dalam keadaan mereka sendiri dan mereka itu sekaligus sebagai hujjah bagi umat manusia.

Catatan Sejarah

Untuk semakin jelas tujuan dan maksud dari persoalan keberlanjutan wilayah dalam Islam, Anda bisa menyimak poin yang kami isyaratkan di bawah ini.

Dalam sepanjang sejarah Islam, sebagian dari negara-negara Islam di dataran Arab dimana mazhab resmi mereka adalah mazhab Sunni, kata-kata seperti ‘khalifah Rasulullah’ merupakan panggilan yang sangat masyhur di kalangan kesultanan mereka. Mereka menganggap orang-orang yang memegang tampuk kesultanan merupakan sosok-sosok penerus dan pewaris hakiki Rasulullah. Negara-negara yang termasuk ke dalam daratan Arab adalah seperti Iraq, dan kebanyakan dari Teluk Persia dan Oman.

Para pemeluk Syiah pun memiliki keyakinan terhadap adanya keberlanjutan khilafah Rasulullah dimana dengan wafatnya para Imam As, hidayah, wilayah, dan penerusnya, sudah pasti akan terus berlanjut, perbedaan yang ada antara Syiah dan Sunni hanyalah terletak pada kekhususan sosok yang memegang bendera keberlanjutan khilafah ini. Syiah mengatakan bahwa kekhalifahan haruslah berada dalam genggaman orang yang faqih, adil, memiliki jiwa pemimpin, bertaqwa, dan memiliki penguasaan dan pengontrolan nafsu yang tinggi. Dengan demikian, Syiah dengan Sunni sepakat tentang keberlanjutan kekhalifahan dan kepemimpinan Islam, dan di dalam umat Islam tidak ada sedikitpun ikhtilaf mengenai keberlanjutan hidayah dan kepemimpinan ini. Perbedaan yang mendasar terletak pada proses keberlanjutan agama Ilahi ini.

Kelanjutan Khilafah dalam Pandangan Ibnu Sina

Ibnu Sina dalam kitab al-Ilahiyat asy-Syifa berkata, “Adalah logis bagi para Nabi untuk mewajibkan ketaatan kepada para pelanjutnya dan menurut pandangan akal, dia pun wajib menentukan khalifah setelahnya.”[63]

Ibnu Sina mengatakan, “Apabila Nabi sendiri yang menentukan dan menegaskan tentang siapa pelanjutnya, pasti hal ini akan lebih baik, karena dengan demikian tidak akan ditemukan perselisihan, ikhtiklaf, fanatisme  kelompok, dan kesesatan dalam masyarakat.”[64]

Sekarang menjadi jelas, karena Nabi mengetahui akar dari persoalan penting mengenai keberlanjutan wilayah dan kekhalifahan ini maka tidak layak baginya untuk melakukan suatu perbuatan yang akan menyebabkan kerusakan mekanisme sosial dan hilangnya keteraturan serta persatuan muslim, dan sama sekali tidak akan pernah pantas apabila nabi melepaskan tanggung jawab ini lalu menyerahkan tanggung jawabnya kepada selainnya dengan tidak menentukan pelanjutnya dengan jelas, sementara dia mengetahui akibat pasti dari perbuatan tersebut yakni akan memantik kesesatan, ikhtilaf, dan pengelompokan dalam masyarakat. Jadi, dari poin ini bisa dipastikan bahwa Ibnu Sina juga memperhatikan masalah ini dengan sangat jelas.

Para Nabi sebagai Pencetus Ilmu

Dengan fakta-fakta yang dilontarkan oleh para peneliti yang melakukan observasinya di luar arena politik dan fanatisme kelompok, dan adil dan jauh dari rasa waswas, bisa disimpulkan bahwa ilmu merupakan sebuah warisan yang sampai kepada manusia. Ilmu dan pengetahuan itu berasal dari para Nabi, Rasul, dan Imam Ilahi.

Bahkan bisa dikatakan bahwa pengetahuan rasional pertama ditemukan di dalam agama-agama Ilahi dan maktab-maktab para nabi. Dalam kitab at-Tarikh al-Hukama dikatakan bahwa Nabi Idris As adalah salah satu nabi yang pertama kali mengajarkan ilmu pengobatan kepada masyarakat, memperkenalkan gerakan-gerakan bintang-bintang, dan menceritakan kejadian masa yang akan datang tentang angin topan yang menenggelamkan umat Nuh As. Dia juga mengajarkan tulis menulis kepada masyarakat dan menyarankan kepada mereka untuk memperlajari ilmu hitung dan matematika serta bersabda bahwa dengan memperlajari ilmu hitung ini secara mendalam maka akan menghasilkan berbagai kebaikan dan keberuntungan.[wisdoms4all.com/Indonesia]


[1] . Contoh ini adalah bentuk hukum kedua, sementara hukum pertamanya adalah haram memakan makanan yang bernajis.

[2] . Ushul Kafi, jilid 3, hal. 22, hadits 1.

[3] . Qs. Huud: 52.

[4].  Qs. Al-A’raf: 96.

/[5] . Qs. Thahaa: 124.

[6] . Qs. An-Nahl: 112.

[7] . Qs. Nuh: 26-27.

[8] . Qs. Huud: 82.

[9] . Qs. Asy-Syu’ara: 123-139.

[10] . Qs. Asy-Syu’ara: 141-158.

[11] . Qs. Huud: 94.

[12] . Qs. Huud: 65-66.

[13] . Qs. Al-Qhashash: 58-59.

[14] . Nahjul Balaghah, Hikmah 131.

[15] . Qs. An-Nahl: 78.

[16] . Qs. Al-Israa: 14.

[17] . Qs. Zilzalah: 7-8.

[18] . Qs. An-Nisa: 79.

[19] . Qs. An-Nahl: 93.

[20] . Qs. Al-’Alaq: 14.

[21] . Qs. At-Taubah: 105.

[22] . Doktor Nasir Katuzion, Muqadimah ‘Ilm-e Huquq, hal. 19.

[23] . Ibid, hal, 20.

[24] . Ibid, hal. 23.

[25] . Ibid, hal. 33.

[26] . Ibid, hal. 24.

[27] . Ibid, hal. 25.

[28] . Qs. Al-Zalzalah: 7.

[29] . Qs. An-Najm: 39-40.

[30] . Qs. At-Taubah: 120-121.

[31] . Qs. Al-Anfaal: 65.

[32] . Qs. Al-Anfaal: 22.

[33] . Qs. Yunus: 100.

[34] . Qs.Az-Zumar: 9.

[35] . Qs. Al-An’am: 91.

[36] . Qs. An-Najm: 29-30.

[37] .  Qs. Al-A’raf: 179.

[38] . Nahjul Balaghah, hikmah 137.

[39] . Qs. Al-Anbiya: 7, An-Nahl: 43.

[40] . Qs. Al-Hasyr: 23.

[41] . Qs. Al-Baqarah: 115.

[42] . Qs. Al-Hasyr: 24.

[43] . Qs. Ibrahim: 10.

[44] . Rujuklah: kitab Asfar, jilid 6.

[45] . Doa Arafah Imam Husein as.

[46] . Ibid.

[47] . Ibid.

[48] . Qs. An-Nuur: 35.

[49] . Rujuklah: kitab Asfar, jilid 6, hal. 177.

[50] . Nahjul Balaghah, khutbah pertama.

[51] . Qs. Al-A’laa: 3.

[52] . Qs. Thahaa: 50.

[53] . Qs. Al-Baqarah: 29.

[54] . Qs. Al-Baqarah: 30.

[55] . Ibid.

[56] . Qs. Al-Maidah: 18.

[57] . Qs. Al-’Alaq: 8.

[58] . Qs. Al-A’raf: 38.

[59] . Qs. Al-Ahzab: 68.

[60] . Qs. Al-Israa: 88.

[61] . Qs. Ath-Thuur: 34.

[62] . Qs. Al-Baqarah: 23-24.

[63] . Al-Ilahiyat as-Syifa, Ibnu Sina, bab kelima, pasal kesepuluh, hal. 451

[64] . Ibid. Hal. 453.