') //-->
Dalam menetapkan pewahyuan al-Qur'an dari sisi Allah Swt dapat digambarkan dengan beberapa metode dan pola yang akan dijelaskan secara global sebagai berikut:
Metode Pertama: Dalam metode ini, sabda-sabda para Maksum dapat digunakan; artinya kita menukil riwayat-riwayat definitif dari Rasulullah Saw sendiri. Atau riwayat salah seorang Maksum As yang bersabda: Al-Qur'an adalah wahyu yang berasal dari sisi Allah Swt. Dengan memperhatikan mukjizat yang dimiliki para Imam Maksum dan mukjizat lain Rasulullah Saw yang menetapkan derajat Ilahianya al-Qur'an serta dengan memperhatikan kemaksumannya dari segala kesalahan yang disengaja atau tidak disengaja (baik dalam perbuatan dan ucapan) – yang merupakan dalil-dalil kuat dan pada kesempatan lain akan dibahas – maka sabda mereka terkait dengan al-Qur'an adalah sabda yang dapat diterima dan dapat dibuktikan. Akan tetapi metode ini adalah metode asasi dan dasar yang tidak dapat kita pahami dengan mudah. Mengapa demikian? Hal itu disebabkan karena pertama Nabi Saw memperkenalkan al-Qur'an sebagai mukjizatnya untuk menetapkan kenabiannya. Kedua, tidak satu pun dari mukjizat lain Nabi Saw atau para Maksum As yang tertinggal dewasa kecuali al-Qur'an, meski telah ditetapkan melalui dalil-dalil kuat dan tawatur qath'i dan tidak dapat diragukan. Di samping itu, penalaran referensial semacam ini tidak sejalan dengan apa yang menjadi obyek pembahasan di sini dan kriteria utama teologisnya pembahasan. Lantaran kriteria masalah teologis adalah rasionalitasnya. Karena itu, untuk menggunakan metode ini dalam menetapkan bahwa al-Qur'an itu adalah wahyu maka hal itu harus dilakukan dengan teliti dan semaksimal mungkin sehingga persoalan dalam metode ini dapat dipecahkan.
Metode Kedua: Metode yang digunakan pada metode ini dalam membuktikan bahwa al-Qur'an itu adalah wahyu dapat ditetapkan melalui al-Qur'an sendiri. Allah Swt berulang kali memperkenalkan dan berfirman dalam al-Qur'an: "Inna Nahnu nazzalnâ al-dzikra wa inna lahu lahafizhun,"[1] dan "Anzala al-Furqan"[2] dan "Nazzala al-Kitab"[3] dan "Walau anzalna hadza al-Qur'an".[4] Kalau kita menyimak ayat-ayat ini maka kita jumpai penegasan bahwa al-Qur'an itu adalah wahyu yang diturunkan dari sisi Allah Swt. Nampak jelas bahwa dalil dan penalaran yang digunakan pada metode ini merupakan satu dalil dan penalaran daur (circular reasoning). Karena revelasionalnya al-Qur'an dan hujjiyahnya belum lagi ditetapkan, sehingga kita dapat bersandar padanya dan menjadikannya sebagai premis dalam proposisi kita.
Namun dengan meninjau secara akurat dan teliti kita dapat menetapkan keberwahyuan al-Qur'an dengan menggunakan ayat-ayat al-Qur'an itu sendiri. Harus diperhatikan bahwa ayat-ayat tahaddi (tantangan)[5] seperti, "Dan jika kamu (tetap) meragukan Al-Qur'an yang telah Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad), maka buatlah (paling tidak) satu surah saja yang semisal dengan Al-Qur'an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah (untuk melakukan hal itu), jika kamu orang-orang yang benar." (Qs. Al-Baqarah [2]:23) atau pada ayat lainnya: "Maka apakah mereka tidak merenungkan Al-Qur’an? Kalau kiranya Al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya." (Qs. Al-Nisa [4]:82) menandaskan bahwa al-Qur'an itu diwahyukan dan diturunkan dari sisi Allah Swt dan menjadi sandaran pasti perkara ini. Akan tetapi karena ayat-ayat semacam ini sejatinya berkenaan dengan kemukjizatan al-Qur'an maka ia tidak dapat dipandang sebagai dalil referensial (naqli) dan Qur'ani, melainkan sebuah dalil rasional dan eksternal yang digunakan juga oleh al-Qur'an. Sejatinya metode ketiga yang bertahan di hadapan para cendekiawan dan pemikir dan merupakan sebuah bentuk penalaran sempurna akal untuk memandu para pencari kebenaran.
Metode ketiga: Metode ini menetapkan perkara ini melalui penetapan kemukjizatan al-Qur'an. Dalam metode ini metode-metode yang paling sedernana dikaji pelbagai tipologi yang terdapat pada al-Qur'an sendiri dan menyingkap tentang corak Ilahianya al-Qur'an.[6]
Mahdi Hadawi Tehrani, Mabani Kalami Ijtihad, Muassasah Farhangg-e Khane Kherad, Qum, cetakan pertama, 1377 S.
[1]. "Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Dzikra, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya." (Qs. Al-Hijr [15]:9) Para mufassir menafsirkan al-Dzikra di sini sebagai "al-Qur'an."
[2]. "Dia menurunkan al-Furqan." (Qs. Ali Imran [3]:4)
[3]. "Allah telah menurunkan al-Kitab." (Qs. Al-Baqarah [2]:176) Yang dimaksud dengan kitab di sini adalah kitab suci samawi Islam, yaitu al-Qur'an karena sebelumnya Taurat dan Injil telah diturunkan.
[4]. "Kalau sekiranya Kami menurunkan Al-Qur’an." (Qs. Al-Hasyr [59]:21)
[5]. Ayat-ayat tahaddi (tantangan) adalah ayat-ayat yang berisikan tantangan Tuhan kepada orang-orang yang mangkir.
[6].Mahdi Hadawi Tehrani, Mabani Kalami Ijtihad, hal. 46-47. Silahkan lihat Indeks: Kemukjizatan al-Qur'an, pertanyaan 70 (Site:311)