Mengapa kita - dalam melakukan sholat dan berbagai ibadah lainnya- harus menggunakan bahasa Arab?

Islam adalah sebuah agama dunia dan menginginkan agar seluruh kaum Muslimin berada dalam satu barisan.

Membentuk masyarakat semacam ini tanpa bahasa yang satu yang dapat dipahami oleh semua pemeluknya, adalah sesuatu yang sulit diterima. Ulama bahasa mengakui bahwa bahasa Arab adalah bahasa dunia yang paling lengkap, paling luas dan dikenal sebagai sebuah bahasa internasional.

Bacaan shalat dengan bahasa Arab yang dilakukan oleh segenap kaum muslimin adalah sebuah rumus persatuan dan sebagai tanda kesatuan umat Islam. Hal ini merupakan dasar dari seluruh aturan Islam. Sebagaimana juga mereka mengarah pada kiblat yang satu ketika melakukan shalat.

Selain itu dapat dikatakan bahwa melakukan shalat dengan cara tertentu dapat menjaga pelakunya dari penyelewengan dan perubahan serta perbauran dengan sesuatu yang diada-adakan dan permasalahan-permasalahan yang tidak berdasar dimana hal tersebut disebabkan oleh pengaruh keikutsertaan orang-orang yang tidak mengerti ketika mereka menerjemahkannya ke dalam bahasa yang lain. Dengan perantara inilah esensi ibadah Islam ini lebih terjaga.

Ya memang ada sebagian ibadah seperti memanjatkan doa dan yang lainnya yang tidak diharuskan diekspresikan dengan bahasa arab, walaupun ada doa-doa ma’tsur yaitu doa-doa yang bersumber dari para Imam Maksum As yang sampai kepada kita yang -dari satu sisi- memiliki makna-makna pengetahuan yang sangat dalam dan sangat dimungkinkan bahwa pengetahuan tersebut tidak dapat dipindah ke dalam sebuah terjemahan. Dan dilihat dari sisi lainnya terdapat kelezatan dan keindahan tersendiri, sehingga disarankan, dengan memperhatikan makna-makna tadi, dibaca dengan bahasa Arab.

Untuk menjawab pertanyaan di atas secara detil dan lebih terarah, kami harus menyampaikan beberapa mukaddimah:

Mukaddimah pertama: Menurut pengakuan para ahli bahasa bahwa bahasa Arab adalah sebuah bahasa dunia yang sangat luas yang memiliki kemampuan untuk menjelaskan makna-makna yang sangat dalam dan rinci dengan ungkapan yang paling fasih dan dengan bahasa peradaban yang paling tinggi.[1]

Oleh sebab itu, dapat diduga mengapa Allah Swt dalam menyampaikankan firman-Nya kepada manusia, menjelaskan hakikat ciptaan-Nya dan memberikan  petunjuk kepada manusia dengan menggunakan bahasa Arab. Tentunya penurunan Al-Qur’an dengan bahasa Arab juga memiliki alasan-alasan lain yang akan diulas sebagian darinya berikut ini:

1- Islam muncul di pesisir Arab. Karena itu, upaya tahap awal adalah mengumpulkan masyarakat di sekitarnya kemudian merubah masyarakat yang tidak berpendidikan dan tidak beradab menjadi masyarakat yang maju di dalam pancaran ajaran-ajarannya. Sehingga esensi utama ajaran-ajarannya menebar ke seluruh pelosok daerah. Oleh karena itu penurunan Al-Qur’an dengan bahasa Arab merupakan sebuah fenomena yang sangat wajar.[2]

Jika Al- Qur’an diturunkan dengan selain bahasa Arab, maka hal itu akan menimbulkan pertanyaan: mengapa pesan ini tidak diturunkan dengan bahasa Arab, padahal masyarakat pertama yang menjadi objek pembicara adalah masyarakat yang bertutur-kata dengan bahasa Arab?

2- Al-Qur’an pada kondisi tertentu melontarkan tantangan[3] untuk membuktikan kebenarannya. Dan sebuah tantangan menuntut agar pesan ini harus disampaikan dengan satu bahasa yang dapat dipahami oleh audiens sehingga untuk membuktikan kebenaran pengakuan Nabi Saw mereka dapat menguji ketidakmampuannya.[4]

3- Membungkam alasan para pembagkang juga merupakan dalil yang menyebabkan Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab. Karena jika tidak demikian, maka tidak dipahaminya kandungan Al-Qur’an akan dijadikan alasan oleh sebagian orang dan tidak menerima apa yang ada di dalamnya.[5] Dan sebagian kelompok lainnya akan melontarkan isu bahwa Nabi Saw mengambil Al- Qur’an ini dari orang lain  selain Arab.[6]

Mukaddimah kedua: Islam adalah sebuah agama universal[7] dimana salah satu misinya adalah membentuk umat yang satu. Sebagaimana Nabi Saw juga pada awal pembentukan pemerintah di Madinah mengikat tali persaudaraan sesama muslim dan mengajak mereka untuk besatu. Hal ini terjelma  pada kebanyakan ibadah Islam itu sendiri.

Setiap ibadah terbentuk dalam dua bagian, bagian pertama berkaitan dengan bentuk lahiriah yang harus dituangkan dalam bentuk amal.  Dan bagian kedua berkaitan dengan batiniah yang berhubungan dengan motivasi dan niat.

Sangat mungkin sekelompok orang melakukan satu amal ibadah lahiriah seperti mendirikan shalat berjamaah dalam satu barisan, namun terdapat perbedaan yang mencolok di antara mereka.  Sebagian mereka berdiri dalam barisan shalat semata karena Allah Swt dan sebagian lainnya untuk tujuan materi dunia.

Yang jelas, apabila ibadah itu memiliki ruh, maka ia dapat membuat hati dan jiwa seseorang menjadi bersih dan suci.[8] Dalam pancaran ibadah semacam inilah umat manusia memperoleh pendidikan dan akan sampai ke tempat tujuan.

Ajaran  Islam telah menata bentuk lahiriah berbagai ibadah dengan desain yang sangat indah sehingga dapat memberikan pelajaran dan pendidikan kepada segenap umat manusia. Kenapa Islam mengharuskan segenap pemeluknya agar menghadap ke satu arah ketika mendirikan sholat? Apakah tidak mungkin ruh ibadah tersebut yakni berhubungan dengan Tuhan menghadap ke arah yang lain? Apakah Tuhan hanya berada pada satu titik saja? Mengapa pula banyak kaum muslimin berkumpul di Mekkah pada satu bulan yang khusus dan melaksanakan amal ibadah khusus pada hari tertentu? Apakah pada selain waktu dan tempat tertentu ruh ibadah haji itu tidak dapat diraih dan kontak dengan Tuhan tidak dapat dilakukan? Tidak diragukan lagi bahwa Islam menghendaki agar kaum muslimin dalam pancaran ibadah-ibadah ini, dapat menyaksikan persatuan absolut dan juga meraih persatuan sosial. Karena itu, pertama mereka harus meraih ruh ibadah dan yang kedua bentuk lahiriah ibadah.

Mendirikan shalat dan berbagai ibadah selainnya dengan bahasa Arab, juga merupakan bukti lain bahwa agama Islam adalah agama yang mendunia. Karena sebuah umat yang berada dalam satu barisan, terpaksa harus memiliki bahasa yang satu, sehingga dengan perantara bahasa tersebut satu dengan yang lainnya saling memahami. Yakni selain  bahasa asli dan bahasa daerah, mereka juga harus memiliki sebuah bahasa yang umum dan mendunia. Karena dapat dipastikan bahwa persatuan masyarakat semacam ini tanpa adanya bahasa kesatuan, tidak akan sempurna. [9]

Dewasa ini, sebagian cendikiawan meyakini bahwa selama dunia ini tidak menjadi sebuah negara, maka masyarakat dunia tidak akan memperoleh kebahagiaan. Karena itu mereka membuat sebuah rancangan yang salah satu diantaranya adalah menciptakan sebuah bahasa internasional dan mendunia.

Apakah di masa Nabi Saw dengan melihat para obyek bicaranya (audiens) pada masa awal-awal kedatangan Islam dan budaya dunia saat itu dan keharusan untuk memberi petunjuk kepada manusia di sepanjang sejarah dan bertujuan sampai pada persatuan dan kesatuan, ada jalan selain ini yaitu dipilihnya bahasa yang paling sempurna sebagai bahasa Al-Qur’an dan ibadah-ibadah, sehingga bahasa tersebut juga menjadi penjelas makna-makna yang dalam dan hakikat-hakikat yang indah sehingga manusia dapat saling bergantung dan saling memahami dengan baik secara Islami? Sekarang coba Anda bayangkan, misalnya dalam melaksanakan shalat berjamaah pada musim haji di Masjidil Haram, setiap orang membaca zikir setelah shalat dengan bahasa daerahnya masing-masing, apakah hal ini tidak akan menimbulkan kekacauan, keributan dan ketidak pantasan?

Tentunya kesatuan bahasa dalam shalat, walaupun berkaitan dengan bentuk lahiriah shalat, namun hal itu dapat menyebabkan terjaganya batin dan ruh ibadah tersebut, yakni jika setiap orang mendirikan shalat dengan bahasanya masing-masing, maka tidak dapat dinafikan kemungkinan terjadinya perubahan dan penyimpangan shalat dengan kebohongan dan hal-hal yang tidak berdasar disebabkan oleh pengaruh terjemahan-terjemahan yang salah dari orang-orang yang tidak paham.  Bacaan Al-Qur’an dengan cara tertentu dan bahasa yang khusus, akan dapat menghindari bahaya semacam ini.

Terakhir dan untuk menyempurnakan pembahasan, ada dua hal yang harus diketahui:

1.  Penggunaan lafaz dan penyebutan zikir pada setiap hukum dan ibadah dengan bahasa Arab bukan merupakan syarat lazim. Misalnya berdasarkan pandangan sebagian ulama, bahwa ungkapan yang dipakai dalam akad nikah tidak diharuskan memakai bahasa arab. [10]

Sebagian  ulama seperti Imam Khomeini Ra dalam bab ini mengatakan bahwa: jika seorang mukallaf tidak mampu mengucapkan formula (sigah) dengan bahasa Aab, walaupun dalam hal ini ia mampu mewakilkannya, dibolehkannya dan sah akad dengan selain bahasa Arab.[11]

Doa-doa juga tidak selalu diharuskan dibaca dengan bahasa Arab. Oleh karena itu, doa dalam shalat pun di perbolehkan mengucapkannya dengan bahasa selain Arab, walaupun lebih baik jika doa-doa yang keluar dari para Imam As diucapkan dengan bahasa Arab untuk merenungkan dan  memperhatikan makna-makna yang terkandung di dalamnya. Berikut ini adalah bukti yang akan memperjelas fenomena di atas :

Allah Swt melalui Al-Qur’an yang diturunkannya mengadakan kontak dengan manusia dan manusia untuk menjawab kalam Allah harus memahami Al-Qur’an tersebut. Para Imam As yang telah memahami Al-Qur’an secara sempurna dan bahkan mereka itu sendiri adalah hakikat Al-Qur’an, menyampaikan sebaik-baiknya jawaban kepada Tuhan dalam bentuk doa-doa. Dengan kata lain bahwa firman Tuhan adalah Al-Qur’an yang diturunkan dan Doa-doa yang dipanjatkan oleh para imam adalah Al-Qur’an yang naik. Al-Qur’an adalah ucapan Allah kepada manusia dan doa adalah ucapan manusia kepada Tuhannya. Oleh karena itu doa-doa adalah seperti Al-Qur’an yang meliputi berbagai hakikat dan pengetahuan yang dalam. Dan bahasa Arab adalah sebaik-baiknya bahasa untuk menjelaskannya.

2.  Semua yang telah dijelaskan bukan berati bahwa kaum Muslimin tidak memperhatikan makna-makna zikir dalam shalat.  Bahkan setiap Muslim harus mengenal arti shalat dan doa-doa sehingga dapat memahami apa yang ia katakan kepada Tuhannya, sehingga amalan yang ia lakukan tidak kering, tetapi mempunyai ruh dan makna yang akan terabng menuju kepada  keabadian.[]


[1].  Al-Mizân, jil. 4, hal. 160; Tafsir Nemuneh, jil. 9, hal 300,  jil. 13, hal. 311 dan jil. 21, hal. 8; Pâsukh be Pursesh-hâye Madzhabi, Ayatullah Makarim Syirazi dan Ayatullah Subhani, hal. 293

[2]. “Kami tidak mengutus seorang rasul  pun, melainkan dengan bahsa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka.” (Q.s Ibrahim []:04) Tafsir Nemuneh, jil. 10, hal. 237- 238 dan jil. 9, hal. 301.

[3]. Tahaddi, ajakan untuk saling menantang dan saling berhadap-hadapan, dimana apabila kalin berfikir bahwa Al-Quran bukanlah sebuah mukjizat yang datang dari sisi Allah SWT, maka datangkanlah satu surah atau satu ayat sepertinya.

[4]. Ayat-ayat seperti: Qs. Yusuf:03; Qs. Az-Zukhruf:03; Qs. Al-Syuara:195; Qs. Thaha:27-28; Qs. Al-Zumar:28; Qs. Asy-Syura:07; Qs. Al-Ahqaf:12; Al-Dukhan:58; Qs. Al.Qamar:17, 31 dan 40; Qs. Fussilat:03; mengisyaratkan akan hal-hal tersebut. Al-Mizân, jil. 17, hal. 359; Ayatullah Misbah Yazdi, Qurân Syenâsi, jil. 1, hal. 94-101.

[5]. Qs. Fussilat:44; Qs. Al-Syuara:198. Imam Shadiq As dalam sebuah riwayat bersabda: Jika Al Quran ini turun bukan dengan bahasa Arab, orang-orang Arab tidak akan berkorban demi Al Quran (Tafsir Ayyasi sebagaimana yang dinukil Tafsir Al-Mizan, jil. 15, hal. 332) untuk kajian lebih jauh silahkan rujuk ke kitab Tafsir Nemuneh, jil. 20, hal. 303, dan Qurân Syinâsi, jil. 1, hal. 94-101.

[6]. Qs. Al-Nahl:103.

[7]. Qs. Al-A’raf:158; Qs. Al-An’am:19; Qs. Al-Anbiya:107; Qs. Al-Ahzab:40; Qs. Al-Sajdah:42; Al-Mizan, jil. 4, hal. 159-161.

[8]. Manusia berhubungan dengan Tuhan melalui sholat, dan hal ini adalah jiwa dan batin sholat sebagaimana yang disinggung dalam al-Qur’an “Dirikanlah sholat untuk mengingatku” (Qs. Thaha:13) “Sesungguhnya sholat mencegah kamu dari perbuatan keji dan mungkar” (Qs. Al-Ankabut:45), “Dengan mengingat Allah( yang dihasilkan melalui sholat) manusia akan bebas dari kegalauan.”

[9]. Pâsukh be Pursesh-hâye Madzhabi, Ayatullah Makarim Syirazi dan Ayatullah Subhani, hal. 293.

[10]. Muallaqât, Ayatullah Gerami, jil. 4, hal. 645.

[11]. Al-Urwat al-Wustqa, jil. 2, catatan pinggir,  hal. 654.