') //-->
Dan pada sisi Allah-lah mafatih yang gayb (kunci-kunci semua yang gayb); tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah, Dia sendiri dan Dia mengetahui apa yang ada di daratan dan di lautan. Dan tiada sehelai daunpun yag gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula,) Dan tidak jatuh sebuah bijipun dalam kegelapan bumi dan tidak ada sesuatu yang basah dan atau yang kering, melainkan tertulis dalam lauh mahfuz. (Qs. al-An’am [6] :59). Di dalam ayat al-quran di atas disebutkan tentang sesuatu yang basah dan sesuatu yang kering apakah yang di maksud adalah Kitab Mubin atau al-Quran? Dan apakah yang dimaksud dengan rutab (sesuatu yang basah) dan yabis (dan sesuatu yang kering) tersebut? Bagaimanakah entitasnya?
Dalam sebagian ayat dijelaskan tentang kitab mubin dan yang dimaksud adalah kitab suci al-Quran, tapi di dalam ayat ini dan ayat-ayat lain dijelaskan sebagai sandaran Ilahi. Yang dimaksud dengan kitab mubin adalah martabat dari ilmu Ilahi atas makhluk-makhluk-Nya sebelum mereka diciptakan (qabla ijad) dan hal itu termasuk juga kitab-kitab dan wahyu-wahyu lain, namun terkait dengan kuantitas dan kualitasnya sama sekali tidak diketahui oleh manusia.
Rutab (basah) dan Yabis (kering) adalah kata kiasan untuk segala sesuatu dan tidak mengandung makna yang spesial . Kemudian disebutkan di dalam ayat itu bahwa mafatih al-gaib tersebut hanya diketahui oleh Allah swt (dan tidak ada seorang pun yang mengetahuinya kecuali mereka yang memang diberitahu oleh-Nya). Dan demikian juga tentang sesuatu yang basah dan sesuatu yang kering semuanya diketahui oleh Allah dan tidak satupun daun yang berguguran kecuali pasti ketahui oleh Allah Swt. Dan Tuhan tidak menyebutkan contoh-contoh lain dan segala sesuatu yang basah atau kering itu semuanya diketahui oleh Allah Swt.
Para filosof dan juga para teolog terkait dengan ayat-ayat itu, menegaskan bahwa ilmu Ilahi terbagi menjadi tiga bagian[1] :
Pertama, ilmu Allah tentang diri-Nya dan sifat-Nya; ini yang disebut dengan ilmu Dzati. Ilmu terhadap Dzat dan sifat-sifat-Nya tidak mengalami perubahan apapun. Dan ini bukan yang dimaksud oleh ayat di atas.
Kedua, ilmu tuhan terhadap makhluk-Nya setelah tercipta atau ilmu tentang partikular-partikular segala sesuatu. Ilmu ini dipersepsi karena melihat hubungan antara tuhan dan makluk-Nya yaitu hubungan relasional (idhafiyyah) antara Tuhan dan obyek yang diketahuinya, jadi Tuhan Mahamengetahui dan segala sesuatu yang hâdits (yang mengalami perubahan) diketahui oleh Allah Swt. Lantaran ilmu jenis ini mempertimbangkan objeknya, maka ilmu seperti ini mengalami perubahan alias tidak tetap. Berubah karena perubahan makhluk dan zaman.
Ilmu dalam kategori seperti ini disebut dengan ilmu fi’ili dan bagian dari sifat fi’liyah (perbuatan) Tuhan dan ilmu ini juga bukan yang dimaksud dalam ayat yang sedang kita bicarakan.
Ketiga, Ilmu tuhan terhadap makhluk pada alam azal (sedari dulu ada) dan sebelum penciptaan.. Artinya Tuhan mengetahui tentang makhluk sebelum diciptakan langit dan bumi dan segala isinya serta sebelum terjadi segala peristiwa dengan segala detailnya. Ilmu ini disebut dengan kitab mubin atau ummul kitab yang didalamnya juga termasuk lauh mahfuz, dan lahw mahw.
Jadi, ilmu itu ada dua bagian satu bagian gaybi (transendental) dan satu lagi masyhud (imanen) mengikuti proses zaman; yang pertama tidak berubah dan yang belakangan mengalami perubahan.
Yang dimaksud dengan kitab mubin yang disebutkan oleh ayat tersebut[2] adalah ilmu Ilahi yang meliputi makhluk-Nya sebelum mereka diciptakan, sebelum mereka memiliki aktifitas dan yang dimaksud dengan rutab ( sesuatu yang basah) dan yabis (sesuatu yang kering) dalam ayat tadi adalah setiap eksisten yang direpresentasikan dalam dua kata yaitu sesuatu yang kering dan sesuatu yang basah.
Basah dan kering adalah dua kata yang berseberangan sebab setiap maujud itu bisa diletakan dalam dua kategori yang basah dan kering. Sesuatu yang basah dan sesuatu yang kering adalah bahasa simbolis dari setiap eksisten makhluk-Nya.
Dalam beberapa riwayat dianalogikan[3] bahwa yang sesuatu kering sebagai janin dan yang basah adalah anak yang baru lahir atau sesuatu yang kering adalah kurma yang sudah dipetik dan yang basah adalah yang belum dipetik.
Kitab mubin dalam ayat-ayat lain[4] adalah simbol untuk al-Quran dan bukan tajalinya yang kadang-kadang ditafsirkan sebagai ilmu khusus Tuhan terhadap makluk-Nya sebelum mereka diciptakan.
Untuk memahami maksud dari kitab mubin kita harus membaca ayat-ayat lain atau konteks turunnya ayat tadi sebelum dan sesudahnya, seperti dalam ayat pertama berbicara tentang konteks kemahaluasan ilmu Allah dan yang kedua terkait dengan isu turunnya wahyu.
[1] Ma’ârif al-Qurân juz 186-194
[2] Qummi, Masyhadi, Muhammad bin Muhammad Ridha, Kanz Daqâiq juz 4,hal :342-344
[3] Makarim Shirazi, Tafsir al-Amtsal, juz 8, 9, 15,18
[4] Thayyib Sayid Abdul Husain, Atyâbul Bayân, hal 91-92