Tafsir ayat Tathir

Dalam menjawab pertanyaan pertama bisa dikatakan bahwa: ayat tathir ini berada ditengah-tengah ayat, dimana hal itu menandaskan bahwa konteksnya sejalan atau sama  dengan subjek yang ada sebelum dan sesudahnya. Dan jika tidak ada bentuk pengkhususan atas istri-istri Nabi Saw maka minimalnya secara umum dapat mencakup mereka. Namun perlu diperhatikan bahwa Pertama: Anggaplah hal semacam ini bisa diterima, dimana ia tidak lebih dari sebuah bentuk atau model presentasi dan ini tidak akan mampu menghadapi argumen-argumen kuat. Mesti dan harus berlepas tangan dari indikasi semacam ini demi adanya indikasi-indikasi lain yang tentunya lebih kuat. Kedua: konteks ayat-ayat ini tidak mengarah kepada bahwa ayat tathir juga mencakup istri-istri Nabi Saw.

Poin pertama: Adanya kalimat sisipan dalam sebuah ungkapan/perkataan dan tulisan dapat merusak tulisan dan ungkapan tersebut, namun jika disertai oleh sebuah indikasi atau qarinah maka tidak hanya bertentangan dengan kaidah retorika (balaghah) dan elokuensi (fashahah) tapi justru akan lebih memperindah ungkapan atau tulisan tersebut. Dengan demikian, tidak begitu esensial untuk mengatakan bahwa apa yang ada pada ayat tathir tersebut juga mencakup istri-istri Nabi Saw dengan alasan ayat tersebut berada di antara ayat-ayat yang sedang berbicara kepada istri-istri Nabi Saw, karena mungkin saja kalimat sisipan ini menyiratkan kepada pribadi-pribadi yang jelas “ashab al kisa”  dan khusus untuk mereka saja dan ada banyak indikasi-indikasi yang mendasari klaim ini, di antaranya adalah:

1.  Berdasarkan substansi sekumpulan riwayat, ayat tathir turun secara sendiri dan Nabi Saw, untuk menolak  adanya kecurigaan bahwa Ahlulbait dan istri-istri Nabi saw adalah dua hal yang terpisah, memerintahkan supaya ayat yang dimaksud dalam hal ini dimuat serta diketahui sehingga tidak ada lagi orang yang berangan-angan bahwa Ahlulbait As sama halnya dengan istri-istri Nabi saw dimana tidak menutup kemungkinan untuk lebih memilih kehidupan dunia yang hina ini daripada Nabi Muhammad Saw dan lain sebagainya.

2.  Irama ungkapan Allah SWT dalam ayat ini berubah dan kemudian menggunakan dhamir (pronoun) bentuk plural untuk laki-laki, sementara ayat ini berbicara kepada istri-istri Nabi Saw.

3.  Sesuai pandangan pakar bahasa, kata ahl dalam bahasa Arab tidak digunakan untuk istri, kecuali secara majazi saja. Berdasarkan hal ini, setelah ayat tathir turun Ummu Salamah meminta kepada Nabi saw untuk memasukkan ia sebagai bagian dari Ahlulbait As. Bukti dari klaim ini adalah Zaid bin Arqam mengatakan bahwa istilah Ahlulbait itu bukan mengenai istri-istri.

4.  Tak ada satu pun dari istri-istri Nabi saw yang mengklaim bahwa ayat ini turun berkaitan dengan mereka, padahal Aisyah pada perang Jamal sangat membutuhkan dalil dan argumen semacam ini.

5.  Kata turidna dalam ayat 29 surat al Ahzab mengisahkan bahwa Allah SWT tidak punya keinginan dan perhatian khusus kepada Istri-istri Nabi Saw, tapi memiliki perhatian dan kehendak takwini terhadap Ahlulbait As yang tidak bisa diingkari dimana mereka dijauhkan dari segala macam bentuk kekotoran.

6.  Alif dan lam pada kata Ahlulbait, dalam istilah ilmu nahwu, disebut ‘ahd khariji atau ‘ahdi hudhuri (yakni hadir ketika dibicarakan), dimana ia menunjuk kepada peristiwa terkenal ashabul kisa. Oleh sebab itu, kata Ahlulbait sama halnya seperti alu ‘abai, ash habul kisa dan yaumuddar.

Poin kedua: Dalam ayat-ayat ini Nabi saw diposisikan sebagai lawan bicara dan supaya mengatakan kepada istri-istrinya. Al-Quran mengatakan:”ya ayyuhannabi qul liazwaajika...(wahai nabi katakanlah kepada istri-istrimu...).

Selanjutnya Allah Swt  juga menujukan khitab (ungkapan) tersebut kepada baiturrisalah dan maqamunnubuwwah (maqam kenabian), untuk menginformasikan bahwa sebab dari semua perintah dan larangan kepada istri-istri Nabi Saw tersebut adalah supaya Ahlulbait As terhindar dari tudingan berbuat kekejian; karena Allah SWT telah menghendaki bahwa Ahlulbait As akan dijauhkan dari berbagai bentuk kekotoran dan keburukan. Jadi konteksnya juga tidak paradoks dengan adanya pembatasan ayat tathir hanya pada Ash habul kisa.

Adapun jawaban untuk pertanyaan kedua adalah: Berdasarkan penjelasan sebelumnya, mungkin tidak perlu lagi diulangi untuk kedua kalinya dan cukup ditegaskan saja bahwa dalam beberapa riwayat mutawatir dikatakan; yang dimaksud dengan Ahlulbait As adalah Rasulullah saw, Imam Ali As, Hadrat Fathimah As, Imam Hasan As dan Imam Husein As dan juga mencakup seluruh Imam (sebagaimana yang diisyaratkan oleh ayat tathir).

Hal yang dijadikan landasan dan sandaran pada pertanyaan di atas sama seperti apa yang dituturkan oleh sebagian yang lain, yaitu dikatakan bahwa ayat tathir tersebut terletak di akhir ayat-ayat yang ada kaitannya dengan istri-istri Nabi Saw. Kalau hal tersebut tidak dikhususkan untuk istri-istri Nabi Saw, maka minimalnya secara umum bisa mencakup mereka (istri-istri Nabi saw). Klaim semisal ini tidak memiliki landasan argumen dan selain itu ada banyak dalil yang mencoba menafikan klaim di atas.

Dengan memfokuskan pikiran pada poin-poin dibawah ini akan dapat membantu kita untuk menemukan hakikat yang sebenarnya:

1.  Meski kita punya keyakinan bahwa Al-Quran pada masa hidup Nabi Saw telah disusun dan dikodifikasi langsung oleh beliau, namun perlu dimaklumi bahwa substansi sebagian riwayat-riwayat menyiratkan bahwa ayat tathir itu turun secara sendiri (tanpa disertai ayat-ayat lain) dan bahkan tidak ada satu pun riwayat yang menyatakan bahwa ayat ini (ayat tathir) turun bersamaan dengan ayat-ayat yang ada kaitannya dengan istri-istri Nabi saw (ayat 28 dan 29 surah al-Ahzab). Buktinya adalah kalau ayat ini diambil dari sini maka tidak akan merusak keselarasan dan hubungannya.[1] Kalau pada bagian ini telah dimuat, itu karena Al-Quran menunjuk kepada seluruh anggota keluarga Nabi Saw dan mereka itu dibagi menjadi dua kelompok, sebagiannya adalah para istri Nabi Saw dan sebagiannya lagi adalah Ahlulbait Rasulullah saw, dan (Alquran) hendak menginformasikan bahwa seluruh sanak keluarga Nabi saw tersebut tidak berasal dari satu sumber yang sama, tapi diantara mereka ada kelompok khusus yang memperoleh anugerah serta inayah khusus langsung dari Allah SWT serta disucikan dari segala bentuk ketidaksucian. Ibarat lainnya, kalau pun kita mencoba menerima bahwa pada ayat-ayat sebelum dan sesudahnya adalah ayat-ayat yang ditujukan kepada istri-istri Nabi saw maka kita masih punya dua cara lain untuk membuktikan kalau yang dimaksud Ahlulbait As hanya ash habul kisa; yakni Rasulullah saw, Imam Ali As, Sayyidah Fathimah As, Imam Hasan As dan Imam Husein As. Pertama: Iltifât: Iltifat merupakan salah satu metode dalam menjelaskan dan membuat sebuah tulisan atau ungkapan menjadi indah, seperti apa yang ada pada surat al-Fatihah dimana disana ketika berbicara dari ihwal ghaib (Alhamdulillah) berubah ke ihwal non-ghaib (iyyaka na’budu) dan iltifat dalam ayat tathir juga untuk menginformasikan poin berikut bahwa terhindarnya Ahlulbait As dari segala kenistaan merupakan hal yang demikian penting sehingga kepada istri-istri Nabi saw juga diperintahkan serta dilarang melakukan hal seperti ini (menjauhi kenistaan dan keburukan) supaya nantinya tidak ada seorang pun mencoba menuduh dan memprotes Ahlulbait As.[2] Kedua: i’tirâdh: tumbuh berkembangnya kalimat-kalimat sisipan (mu’taridhah) pada kalam dan ucapan para pakar ilmu Balaghah dan Fashahah merupakan hal yang lumrah dan dikalangan mereka seringkali melakukan hal semacam ini guna apa yang disampaikannya bisa tertanam dan terlukis dalam benak setiap orang yang mendengarnya dengan baik dan ini telah berulangkali disebutkan dalam Al-Quran.[3] Pada ayat yang sedang dibahas, guna melenyapkan khayalan sebagian orang yang meyakini bahwa Ahlulbait As sama seperti istri-istri Nabi Saw, dilampirkanlah kalimat sisipan (mu’taridha) seperti ini; yakni jika istri-istri Nabi Saw juga tidak menutup kemungkinan untuk berbuat dosa dan kesalahan maka demikian pula Ahlulbait As tidak menutup kemungkinan untuk melakukan dan berbuat dosa dan kesalahan, padahal Ahlulbait As terhindar serta terjaga dari hal semacam ini.  Oleh karena itu dalam kalimat sisipan tersebut telah diingatkan bahwa:”innamaa yuriidullahu liyuzhaba...”.[4]

2.  Dalam ayat-ayat ini setelah 20 bentuk pronoun plural (dhamir jama’) untuk perempuan, irama kalam Tuhan berubah dan menggantinya dengan bentuk pronoun plural untuk laki-laki dan ini merupakan indikasi terbesar yang menyatakan bahwa kita harus angkat kaki dari klaim yang bersumber dari bentuk konkret teks (ayat) tersebut dan seharusnya tidak meyakini atau memahami bahwa ayat tathir tersebut ditujukan kepada para istri Nabi Saw.

3.  Pakar bahasa berkeyakinan bahwa kata ahl tidak digunakan untuk istri-istri, kecuali secara majazi.[5] Dan pada ayat 73 surat Hud, kendati Ahlulbait juga digunakan untuk istri-istri, namun harus dikatakan bahwa methode penggunaan (isti’mal) itu lebih umum dan mencakup penggunaan secara hakiki dan kalaupun terdapat indikasi (qarinah), namun itu tidak dapat menjadi penghalang atas adanya keinginan untuk memaknai hal itu secara majazi dan pada ayat yang disebutkan diatas terdapat qarinah dan indikasi penggunaan semacam ini, tapi pada ayat tathir tidak hanya ada qarinah dan indikasi yang mengarah kepada pemaknaan secara majazi, tapi bahkan qarinah dan indikasi sebaliknya pun tak ditemukan. Demikian sehingga Ummu Salamah, setelah turun ayat tathir tersebut, bertanya kepada Nabi Saw apakah ia termasuk bagian dari Ahlulbait As? Atau meminta kepada Rasulullah saw untuk menjadikan ia sebagai bagian dari Ahlulbait As,[6] padahal kalau kata ahl mencakup istri-istri Nabi Saw maka pertanyaan atau permohonan ummu Salamah kepada Nabi saw tidak tepat dan salah. Dari sinilah Zaid bin Arqam mengatakan bahwa istilah Ahlulbait itu bukan mengenai istri-istri.[7]

4.  Menurut riwayat-riwayat yang dinukil dari Ahlusunnah, Aisyah dan Ummu Salamah dengan jelas menyatakan bahwa ayat tathir itu turun bukan ditujukan ke mereka.[8] Dan sesuai ungkapan Allamah Amini Ra:” Sekiranya ayat ini mencakup istri-istri Nabi Saw maka pasti Aisyah akan menulisnya di atas kening ontanya pada peristiwa perang Jamal, tapi ia tidak melakukannya padahal ketika itu ia sangat butuh dalil-dalil semacam ini”.[9] Dengan adanya hal di atas, ada dua kelompok yang mengklaim bahwa ayat tathir tersebut turun ditujukan kepada para istri Nabi Saw. Kelompok pertama: Di antara perawi hadis, seperti ‘Ikrimah, Maqatil bin Sulaiman dan ‘Urwah bin zubair telah menjelaskan pendapat pribadinya sendiri, dan di satu sisi terdapat riwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa mereka ini dituduh sebagai pembohong.[10] Kelompok kedua: Sebagian mufassir Ahlusunnah yang dengan bersandar pada metode tunggal atau pada semata satu konteks saja, telah mengklaim hal semacam ini namun metode yang hanya melihat satu konteks –kalau seumpama diterima- tidak akan mampu menandingi dalil-dalil kuat yang telah disebutkan sebelumnya.

5.  Pada ayat 29 surat al Ahzab, kata turidna hendak menjelaskan bahwa Allah SWT tidak begitu memiliki perhatian terhadap para istri Nabi saw; yakni Allah SWT menyatakan bahwa mereka ini mukhtar (punya ikhtiar) dan Ia mengingatkan kalau mereka hendak berbangga sebagai istri Nabi saw maka kiranya harus menapaki jalan dan cara hidup seperti orang-orang saleh. Namun pada ayat tathir, kata innamaa yuriidullahu menghikayatkan ihwal kehendak dan iradah takwini[11] azali Allah SWT atas sebuah keluarga dimana keluarga tersebut terhindar dan suci dari segala macam bentuk ketidak sucian. Kejelasannya bahwa pada ayat tathir dari satu sisi terdapat kata innamaa yang bermakna hasr (hanya; pembatasan) iradah terkait dengan masalah pensucian dari rijs (dosa, amal keji) dan pada sisi lain kata ‘ankum lebih awal dari kata Ahlulbait dan kata Ahl juga diberi harakat fatha (maftuh) sebagai tanda kalau ia memiliki makna ”hanya,  pembatasan dan pengkhususan”, dan kedua hal ini memiliki dilalah (petunjuk) yang menyatakan bahwa batasan pensucian tersebut hanya milik Ahlulbait As dan orang-orang yang diajak berbicara pada kata ‘ankum; yakni Allah Swt telah berkehendak bahwa hanya kalian wahai Ahlulbait As terhindar dan suci dari segala bentuk dosa (rijs). Jadi atas dasar itu, Ahlulbait As memiliki kekhususan tersendiri dan kata yuriidu menunjukkan bahwa iradah tersebut bersumber dari Allah SWT dimana “dijauhkan dari segala bentuk kenistaan” itu hanya ditujukan kepada Ahlulbait As dan inayah serta taufiq semacam ini tidaklah dimiliki sembarang orang, dan lebih menariknya lagi adalah mereka yang memperoleh inayah semisal ini karena dengan ikhtiar dan kehendak yang dimilikinya sendiri dalam menyiapkan lahannya. Iradah ini merupakan iradah dan kehendak yang tidak bisa dipungkiri dan juga tidak mungkin ada kaitan dengan para istri Nabi Saw karena pada ayat-ayat sebelum ayat tathir telah dijelaskan bahwa mungkin saja kalian para istri Nabi Saw lebih memilih dan cenderung kepada kehidupan dunia ini dan ketika itu tak ada gunanya membanggakan diri sebagai istri seorang Nabi Saw.[12]

6.  Alif dan lam pada kalimat Ahlulbait, dalam istilah ilmu nahwu, disebut alif dan lam ‘ahdi dimana mengisyarahkan kepada sebuah kejadian yang telah terjadi; yakni kata Ahlulbait kejelasannya sama dengan peristiwa yaumuddaar dimana suatu hari Nabi saw mengumpulkan sekelompok orang-orang di rumah Abu Thalib dan mengumumkan kenabiannya serta menghikayatkan ihwal peristiwa orang-orang yang berada di suatu rumah (sesuai riwayat-riwayat yang ada, rumah tersebut adalah rumah Ummu Salamah) dan disuatu hari berada di bawah kain (‘aba) Rasulullah Saw  dimana orang-orang tersebut tidak lain adalah Nabi Muhammad saw, Imam Ali As, Sayyidah Fathimah As, Imam Hasan As dan Imam Husein As[13] ; artinya bahwa Ahlulbait dengan Âli ‘Aba serta Ashhabul kisa ketiga-tiganya merupakan satu tema yang tidak punya perbedaan sama sekali. Dan lebih tehnisnya bisa dikatakan bahwa ini merupakan sebuah proposisi eksternal bukan hakiki, dan proposisi-proposisi eksternal terkadang seperti ini sebuah tema berkedudukan sebagai subjek proposisi; misalnya dikatakan “muliakanlah kedua orang alim ini!”; yakni kedua pribadi alim tersebut wujudnya ada diluar, dan ini adalah hal yang jelas dimana pada proposisi-proposisi eksternal tidak akan menghukumi sesuatu yang bukan subjek dari proposisi tersebut.

Adapun bukti-bukti: 1. Pada ayat-ayat sebelum dan sesudahnya, kata bait berbentuk plural ketika digabungkan (idhafah) kepada para wanita dimana dimaknai dengan kamar atau ruangan khusus para wanita. Jadi kata al bait juga harus dimaknai sebagai kamar atau ruangan khusus, 2. Sesuai dengan riwayat-riwayat, ayat tersebut juga mencakup pribadi Nabi saw dan dengan tercakupnya Nabi saw, apakah ada jalan selain dari penafsiran ini?, 3. Pada ayat 73 surat Hud, kata Ahlulbait menggunakan alif dan lam dan maksud ahlulbait  dalam ayat itu adalah Hadrat Ibrahim As dan Sarah, dan sungguh adanya kemungkinan-kemungkinan seperti ahlulqiblah atau para istri Nabi Ibrahim As atau keluarga beliau As pada ayat tersebut ternafikan dan ini bisa mengantarkan kita untuk memahami kata Ahlulbait pada ayat tathir.[14]

7.  Dengan mencamkan baik-baik ayat-ayat ini dan ayat tathir maka dapat diklaim bahwa konteks ayat tersebut tidak memiliki sedikit pun dilâlah (petunjuk) yang menunjukkan kalau ayat tathir tersebut juga mencakup istri-istri Nabi Saw (baik secara khusus mencakup para istri Nabi Saw saja atau secara umum mencakup para istri Nabi Saw dan selain istri beliau). Tapi justru sebaliknya, ayat itu turun ditujukan serta hendak menjelaskan Ash Habul kisa. Pada ayat-ayat tersebut, Nabi Saw yang diajak berbicara: “Yaa ayyuhannabii qul liazwaajika...; yakni Allah Swt memerintahkan kepada Rasulullah Saw untuk menyuruh istri-istrinya memilih antara Allah Swt serta Rasul-Nya dengan kehidupan dunia. Selain itu ditambahkan pula:”Wahai istri-istri Nabi saw barangsiapa diantara kalian yang berbuat dosa secara terang-terangan maka azab bagi mereka itu akan digandakan dan...” dan ungkapan ini ditujukan kepada istri-istri atau pada lanjutan dari firman Allah Swt kepada Nabi Saw dimana beliau saw menyampaikan perintah-perintah ini kepada istri-istrinya atau ini merupakan bentuk iltifât (telah dijelaskan sebelumnya) dimana Allah SWT langsung berbicara kepada istri-istri Rasulullah Saw.

Falsafah adanya iltifât dalam ayat ini adalah para istri Nabi Saw memiliki hubungan dengan Rasulullah Saw dan untuk menjaga kehormatan maqam kenabian dan baiturrisalah, Allah Swt menitahkan kepada istri-istri Nabi Saw bahwa kalau kalian (istri-istri Nabi Saw) melakukan perbuatan dosa secara terang-terangan maka azab-Nya dua kali lipat dan seterusnya Allah Swt menjadikan maqam kenabian dan baiturrisalah (kediaman risalah) tersebut sebagai objek pembicaraan guna Ia hendak menginformasikan bahwa sebab adanya iltifat kepada istri-istri Nabi saw dan juga sebab lahirnya perintah-perintah dan larangan-larangan ini tidak lain adalah demi melenyapkan serta menghilangkan segala bentuk kotoran dosa dan mensucikan rumah ini (baiturrisalah).

“Innamaa yuriidullahu liyuzhiba ‘ankumurrijsa...”; yakni bahwa Allah SWT dengan iradah tasyri’i menginginkan supaya istri-istri Nabi Saw melakukan hal-hal ini demi menjauhkan kalian Ahlulbait As dari segala bentuk noda dosa dan buktinya adalah ayat tersebut menyatakan:”liyuzhiba ‘ankumurrijsa” dan tidak menyatakan dengan:”al izhaabu Arrijsu” dan huruf lam pada kata liyuzhiba adalah untuk ta’lil (menjelaskan sebab-sebab suatu hal atau perkara), jadi Allah SWT menginginkan taklif-taklif tersebut ditujukan kepada istri-istri Nabi saw. Sebab dari iradah tersebut adalah menjauhkan serta melenyapkan segala bentuk kotoran dosa dari Ahlulbait As, sehingga dari sisi ini pula, Ahlulbait Nabi saw tidak dapat dituding atau bahkan dituduh melakukan dosa dan segala bentuk kenaifan.

Hal ini menandaskan ihwal iradah takwini atas terhindarnya Ahlulbait As dari segala bentuk dosa dan ini merupakan hal yang sangat fundamental serta asasi. Dan karna demikian pentingnya sehingga Allah Swt secara pribadi tidak mengizinkan sama sekali salah seorang dari kerabat (istri-istri dan siapa pun juga) mencoba membuat nama baik Ahlulbait As tercoreng. Oleh karna itu, dengan perintah dan larangan secara tasyri’i Allah SWT menetapkan pahala atau azab dua kali lipat untuk istri-istri Nabi saw.[15] Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa:

1.  Adanya pembatasan (hashr) pada ayat tathir khusus untuk ash habul kisa tidak paradoks dengan konteks ayat dan kalaupun ada ketidaksesuaian itu hanya dari segi iltifat atau kalimat mu’taridhah. Dengan melihat indikasi dan qarinah yang ada maka harus dikatakan bahwa ayat tersebut ditujukan khusus untuk ash habul kisa.

2.  Maksud dari Ahlulbait As adalah Nabi Muhammad saw, Imam Ali As, Sayyidah Fathimah As, Imam Hasan As dan Imam Husein As, atau bahwa istilah ini merupakan istilah khusus yang ada dalam Alquran[16] dan atau Ahlulbait As itu sebagaimana yang telah disebutkan.[17]

Terakhir perlu dikatakan bahwa kalau demikian halnya, lalu kenapa para Imam Ma’shum As menggunakan kata Ahlulbait tersebut untuk diri mereka?[18] Jawabannya bahwa berdasarkan penafsiran ini dimana ayat tersebut ditujukan kepada baitunnubuwwah dan maqamurrisalah maka luas-sempitnya batasan Ahlulbait tersebut bisa menjadi jelas dan transparan dengan melihat indikasi dan qarinah serta riwayat-riwayat dan adapun qarinah dan indikasi yang ada menjelaskan bahwa ayat tathir tersebut menghendaki kepemimpinan kaum Muslimin tersebut diemban oleh Ahlulbait As.

Adapun bukti-buktinya, antara lain:

1.  Imam Ali As, ketika berada di tengah-tengah kaum Muhajirin dan Anshar, dengan bersandar pada bahwa beliau As adalah salah satu bagian dari Ahlulbait As, menyatakan akan kelayakannya untuk memimpin kaum Muslimin.[19]

2.  Beliau (Imam Ali As), dalam majlis Umar yang dihadiri enam orang, dengan bersandar pada ayat tathir menyatakan kalau beliau itu paling layak menjadi pemimpin.[20]

3.  Imam Hasan As ketika memegang tumpuk kepemimpinan, beliau dengan bersandar pada ayat tathir mengikrarkan kelayakannya untuk memimpin kaum Muslimin.[21]

4.  Imam Husein As juga melakukan hal yang sama ketika hendak membuktikan kelayakannya untuk memimpin Umat Islam.[22]

5.  Rasulullah saw, selama kurang lebih 6 bulan setiap subuh ketika hendak berangkat ke masjid untuk shalat, berdiri di depan pintu rumah Imam Ali As dan Sayyidah Fathimah As sambil membaca:”innamaa yuriidullahu liyuzhiba ‘ankumurrijsa...”.[23]

Apakah Nabi saw punya maksud lain selain daripada beliau hendak memberitahukan kepada orang-orang bahwa sepeninggal Rasulullah saw, hendaknya orang-orang jangan mencari rumah selain rumah Ahlulbait As (jangan mengikuti selain dari Ahlulbait As). Dengan demikian, tema tersebut mencakup dan meliputi seluruh Imam Ma’shum As, kenapa? Karna mereka itu adalah pemimpin sejati dan hakiki Umat Islam.

Materi kajian ini tetap bisa dikatakan benar, kendatipun berdasar pada penafsiran bahwa alif dan lam , untuk ‘ahd khariji (sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya) dimana Ahlulbait dijadikan tema yang sangat sesuai; karna menurut teori ini kata Ahlulbait dapat dilihat dari dua sudut pandang: 1. Kata ini menjadi pokok perhatian dikarnakan peristiwa turunnya, 2. Hal ini menjadi fokus perhatian dikarnakan hukum yang diembankan di dalamnya; yakni menjauhkan dari segala perbuatan keji dan menetapkan kesucian. Dengan melihat bagian pertama maka yang dimaksud Ahlulbait As itu hanya Ahlul kisa; yakni hanya kelima orang yang disuatu hari berada di bawah naungan kain (‘aba) Rasulullah saw. Namun jika melihat bagian yang kedua maka seluruh Imam Ma’shum juga termasuk Ahlulbait dengan alasan bahwa sesuai dengan substansi ayat tathir mereka itu memiliki satu kesamaan. Oleh sebab itu, tema ini juga mencakup mereka dan mungkin dengan alasan ini pula sehingga Rasulullah saw bersabda bahwa:”Salman Al Farisi adalah dari kami Ahlulbait”.[24]

Imam Shadiq ketika menjawab pertanyaan Ibnu Katsir, bersabda:”Ahlulbait As adalah kelima orang tersebut, adapun para Imam Ma’shum As yang lain, dengan bantuan ayat lain dari Alquran; yakni ulul arhaami ba’dhuhum awlaa bi ba’din fii kitabillahi, maka mereka juga termasuk Ahlulbait”[25]; yakni takwil ayat ini bahwa para Imam yang lain memperoleh keutamaan ini dan dijauhkan dari segala bentuk perbuatan keji. Takwil daripada ayat tathir tersebut adalah ayat ulul arhaam itu sendiri dimana telah dibuktikan bahwa ayat tathir tersebut mencakup seluruh Imam Ma’shum As,[26] tentunya bukan dilihat dari bentuk tekstualnya tapi ditinjau dari segi takwil dan penjelasannya.[] 


[1] . Allamah Thabathabai, Tafsir al Mizan, jil. 16 hal. 311-312.

[2] . Karaki, Nafahât al-Lâhűt, hal. 85; Muhammad Hasan Muzhaffar, Dalâilu al-Shidq; Sayyid Ja’far Murtadha ‘Amili, Ahlu Bait dar Aye-e tathir, hal. 58-61.

[3] . Qs. Yusuf ayat 28 dan 29, Qs. An Naml ayat 34 dan 35, Qs. Al Baqarah ayat 73-75, Qs. Al Waqi’ah ayat 76, Qs. Luqman ayat 13 dan 16.

[4] . ibid, Ahlu Bait dar aye-e tathir, hal. 60-62; Isyraqi, Syihabuddin dan Fadhil Lankarani, Ahl-e bait, hal. 53-81.

[5] . Ahli bahasa membedakan antara kata ahlu al-Rajul dengan Ahlulbait dan meyakini bahwa penggunaan ahlulbait untuk istri-istri itu hanya secara majazi (Tâjul ‘Aruus, jil. 1 hal.217; Lisânul ‘Arab, jil. 1 hal. 38; mufradaat Raghib, hal. 29. Oleh itu, substansi sebagian dari riwayat-riwayat Nabi Saw, kendati Rasulullah Saw menganggap bahwa Ummu Salamah adalah keluarga dan salah satu istrinya, namun Rasulullah Saw tidak mengabulkan guna memasukkan ia (Ummu Salamah) sebagai bagian Ahlulbait As; Suyuthi, Tafsir Al-Durr al-Mantsur, jil. 5 hal. 198; Musykilul Âtsâr Thahawi, jil. 1 hal. 334; Muhammad bin Harir Thabari, Jâmi’ul Bayân, jil. 22, hal. 7; Nafahaatullaahuut, hal. 84; Mushtafa bin Isma’il Dimasyqi, Mirqâtul Wushul, hal. 106; Bihâr al-Anwâr, jil. 35 hal. 217 dan 228.

[6] . Tafsir Ibnu Katsir, jil. 3 hal. 484 dan 485; Sayyid Hasyim Bahrani, Ghâyatul Marâm. 

[7] . Ibnu Taimiyah, Minhaj al-Sunnah, jil. 4 hal. 21; shahih Muslim, jil. 7 hal. 123; Bihaarul anwaar, jil. 35 hal. 230 dan jil. 23 hal. 117; Ibnu Hajar Asqalani, ash shawa’iqul muhriqah, hal. 147; sayyid Hasyim Bahrani, al-Burhân fii Tafsir al-Qur’ân, jil. 3 hal. 324; Bayadhi ‘Amili, Al-Shirath al-Mustaqim, jil. 1 hal. 185; Qadhi Nurullah Syustari, Ihqâq al-Haqq wa Ibthâl al-Bâthil, Mulhaqât Ayatullâh Mar’asyi Najafi, jil. 9 hal. 323; Ahlu Baitdar Aye-e Tathhir, hal. 119. 

[8] . Abdul Qadir Badaran, Tahdzib Târikh Dimasyq, jil. 4 hal. 908; Tafsir Majma’ al-Bayân, jil. 8 hal. 356; Qunduzi, Yanâbii’ al-Mawaddah, hal. 249; Ibnu Hajar Asqalani, Al-Shawâ’iq al-Muhriqah, hal. 141... Ahlu Bait dar Aye-e Tathhir, hal. 20-28; Allamah Thabathabai, Tafsir al-Mizân, jil. 16 hal. 316-324.

[9] . Dinukil dari kitab Ahlu Bait dar Aya-e Tathhir, hal. 78.

[10] . Ahlu Baitdar Aye-e Tathhir, hal. 22; Isyraqi dan Fadhil Lankarani, Ahlu Bait, hal. 5-53; Allamah Syarafuddin Musawi, Al-Kalimat al-Gharra fii Tafshiili al-Zahra; Qamus al-Rijâl; Syarh-e Hâl-e Rijâl; Dalâil al-Shidq, jil. 2 hal. 95; Qadhi Nurullah syusytari,  Qadhi, Ihqâq al-Haqq wa Ibthâl al-Bâthil, jil. 2 hal. 502.

[11] . Irâdah takwini adalah iradah yang terkait hanya kepada si yang berkehendak, yakni hanya tergantung kepada takwin (penciptaan) dan wujudnya dan iradah semacam ini ada pada Allah Swt dan juga ada pada manusia, namun iradah takwini manusia selalu tidak pernah terselesaikan dan dikalahkan oleh iradah azali. Adapun iradah tasyri’i adalah iradah yang tergantung kepada perbuatan (fi’il) orang yang lain, dengan kata lain ia melakukan hal tersebut dengan ikhtiarnya sendiri. Dan inilah perintah dan larangan Allah Swt dimana si mukallaf punya kemungkinan untuk mengamalkannya dan juga punya kemungkinan untuk tidak mengamalkannya.

[12] . Isyraqi dan Fadhil Lankarani, Ahl-u bait, hal. 81-92.

[13] . ‘arusi huwaizi, abdu ali bin jum’ah, Tafsir nurutstsaqalain, jil. 4 hal. 276 dan 277.

[14] . Isyraqi dan Fadhil Lankarani, ahl-e bait, hal. 112-142.

[15] .  Sayyid Ja’far Murtadha ‘Amili, Ahlu Baitdar aye-e tathir, hal. 38-51

[16] . Allamah Thabathabai, Tafsir al Mizân, jil. 16 hal. 312.

[17] . Isyraqi dan Fadhil Lankarani, Ahl-e bait, hal. 112.

[18] . tafsir Nur  al-Tsaqalain, jil. 4 hal. 275, Riwayat Ihtijâj,  dan hal. 273 riwayat Ushul Kâfi.

[19] . Ibnu Abi Al Hadid, Syarh Nahjul Balâghah, jil. 6 hal. 11 dan 12.

[20] . Sayyid Hasyim Buhrani, Ghâyatul Marâm, hal. 265; Ihtijâj Thabarsi.

[21] . Qâmus al-Rijâl, jil. 6 hal. 20.

[22] . Ibnu Thawus, Luhuf, hal. 53.

[23] . Tafsir Ibnu katsir, jil. 3 hal. 483; Musnad Ahmad, jil. 3 hal. 259; Al kalimat al-Garra’ fii tafdhil al-Zahra’.

[24] . Qamus Ar Rijal, jil. 4 hal. 423.

[25] . ‘Arusi huwaizi, Abdu Ali bin Jum’ah, Tafsir Nur al-Tsaqalain, riwayat Abdurrahman bin Katsir, jil. 4 hal. 273.

[26] . Isyraqi dan Fadhil Lankarani, ahl-e bait, hal. 112-143 dan 5-53.