') //-->
Bahasa
Al-Qur’an :
Allah menegaskan “Sesungguhnya Kami menurunkan Al-Qur’an dalam bahasa
Arab”. Ini penegasan dari Allah SWT, bahwa Al-Qur’an adalah bahasa Arab,
bahasa yang dipakai oleh nabi Muhammad dan oleh masyarakat Arab. Tujuannya
sudah pasti agar Al-Qur’an mudah difahami.
Akan tetapi, menurut Isa Bugis, Al-Qur’an bukan bahasa Arab tetapi bahasa
wahyu. Alasannya adalah karena Muhammad adalah keturunan nabi Ismail dari
isteri kedua, sehingga Muhammad berdarah Babylon, bukan berdarah Arab asli
dengan demikian maka bahasa nabi Muhammad adalah bukan bahasa Arab tetapi
serumpun dengan bahasa Arab, itulah yang disebut "bilisáni
qaumih" (berbicara dengan bahasa kaumnya).
Menurut penulis, pendapat di atas tidak tepat. Alasan pertama, sebagaimana
dijelaskan oleh Ismail al-Faruqi adalah bahwa, suku Arab asli (al-‘Aribah)
ialah suku Qanaan, Ya‘rub, Yasyjub dan Saba'. Kemudian datanglah suku Arab
Musta‘ribah I (Pendatang I), yakni suku ‘Adnan, Ma’ad dan Nizar. Lantas datang
pula suku Arab Musta‘ribah II (Pendatang II) yakni suku Fihr atau Quresy. Jadi
suku Quresy adalah bagian dari Suku Arab, bukan suku lain. Suku-suku
pendatang lantas berbaur dan mempelajari bahasa yang ada yakni bahasa Arab,
bukan mempelajari bahasa Babylon.
Alasan kedua, Bangsa Arab termasuk bangsa Semit. Dewasa ini yang disebut
dikatagorikan bahasa Semit adalah setengah kawasan bagian Utara, bagian
Timurnya berbahasa Akkad atau Babylon dan Assyiria, sedangkan bagian Utara
adalah bahasa Aram, Mandaera, Nabatea, Aram Yahudi dan Palmyra. Kemudian di bagian
Baratnya adalah Foenisia, Ibrani Injil. Di belahan Selatan, yakni di bagian
utaranya berbahasa Arab sedangkan sebelah selatan berbahasa Sabe atau Hymyari,
dan Geez atau Etiopik. Hampir semua bahasa di atas telah punah , hanya bahasa
Arab yang masih hidup".
Apakah ada bahasa selain Arab yang serumpun dengan bahasa arab dapat dilihat
antara lain dari bentuk hurufnya. Huruf Arab ternyata berbeda sekali dengan
dengan huruf bahasa Foenesia, Aramaea, Ibrani, Syiria Kuno, Syiria Umum, Kaldea
dan Arab. Para pembaca bisa melihat perbedaan huruf-huruf tersebut pada buku
"Atlas Budaya" karya Ismail Al-Faruqi bersama isterinya.
Al-Qur'an menggunakan huruf Arab bukan huruf lainnya, dengan demikian maka
bahasa dan tulisan Al-Qur'an memang mutlak bahasa Arab bukan bahasa yang
serumpun bahasa Arab. Kalau mau dikatakan serumpun maka harus dikatakan
serumpun dengan bahasa Semit bukan serumpun bahasa Arab. Sebagai tambahan
penjelasan, menurut Ismail Al-Faruqi, bahasa Semit yang masih hidup sampai saat
ini adalah bahasa Arab. Dengan demikian maka bahasa Al-Qur'an adalah bahasa
Arab, bahasanya orang Arab bukan serumpun dengan bahasa Arab.
Hujjah lain dari kelompok Isa Bugis adalah bahwa jika Al-Qur’an berbahasa Arab
maka semua orang Arab pasti mengerti Al-Qur’an, tetapi pada kenyataannya tidak
semua orang Arab mengerti Al-Qur’an, kalau begitu Al-Qur’an bukanlah bahasa
Arab.
Hujjah inipun lemah. Mengapa demikian? Keadaan ini sama saja dengan orang
Indonesia. Tidak semua orang Indonesia mampu memahami karya sastera berbahasa
Indonesia, ini karena buku-buku sastera itu menggunakan bahasa Indonesia kelas
tinggi.
Pada umumnya orang-orang Arab dalam percakapan mereka sehari-hari menggu-nakan
bahasa Arab Yaumiyah sedangkan Al-Qur’an menggunakan bahasa Arab Fushá.
Di samping itu untuk dapat memahami suatu teks tidak cukup dengan mengetahui
kosa kata (mufradat) tetapi harus berbekal ilmu pengetahuan tentang isi teks.
Sarjana sastera Indonesia misalnya, tidak otomatis dapat memahami teks
buku-buku Ilmu Kimia. Begitu pun sarjana Kimia tidak otomatis memahami teks
tentang filsafat. Untuk mampu memahami teks ilmu pengetahuan, harus memiliki
syarat-syarat, antara lain memahami substansi materi, memiliki frame of
reference yang teratur, serta memiliki paradigma berfikir yang menunjang.
Ketidakmengertian sebahagian orang Arab terhadap teks-teks Al-Qur’an tidak
menunjukkan bukti bahwa Al-Qur’an bukan bahasa Arab.
Hujjah ketiga Isa Bugis adalah bahwa kata ‘Arabiyyan dengan doble ya merupakan
ya nisbat yang menunjukkan serumpun dengan bahasa Arab tetapi bukan bahasa
Arab. Sepengetahuan penulis, kata ‘arabiyyan berarti bahasa yang dinisbahkan
kepada orang Arab, atau bahasanya orang Arab, yakni bahasa Arab.
Wahbah Zuhayly, ketika menafsirkan ayat tersebut menyataklan bahwa kata
‘arabiyyan bermakna “nuzila bilisánin ‘arabiyyin mubân, yaqra-u bi lugah
al-‘arabi”, yang artinya al-Qur’an diturunkan dengan lisan orang
Arab, di baca dengan bahasa Arab. Senada dengan itu, Muhammad Ibn Muhammad Abu
Syahbah dalam bukunya: ”Al-Madkhal li Dirásah Al-Qur’án al-Karâm”
menjelaskan bahwa Al-Qur’an itu adalah kitab ‘arabiyyah al-akbar atau kitab
berbahasa Arab yang maha besar.
Kelompok Isa Bugis pun lantas beralih dengan mengatakan bahwa Al-Qur’an bahasa
Quresy bukan bahasa Arab. Pendapat demikian ditentang oleh Ahmad Satori sebagai
doktor dalam sastra Arab. Ia menegaskan bahwa bahasa orang Arab adalah bahasa
Arab. Perbedaan bahasa Quresy dengan bahasa suku Tamim dan lain-lainnya
hanyalah dalam dialek bukan dalam makna.
Dengan demikian hujjah Isa Bugis yang menyatakan al-Qur'an bukan bahasa Arab,
seluruhnya tertolak.
Fungsi
Al-Qur’an
Aturan Allah yang terdapat di dalam Al-Qur'an memiliki tiga fungsi utama,
yakni sebagai hudá (petunjuk), bayyinát (penjelasan) dan
furqán (pembeda). Sebagai hudá, artinya Al-Qur’an
merupakan aturan yang harus diikuti tanpa tawar menawar sebagaimana
papan petunjuk arah jalan yang dipasang di jalan-jalan. Kalau seseorang tidak
mengetahui arah jalan tetapi sikapnya justeru mengabaikan petunjuk yang ada
pada papan itu, maka sudah pasti ia akan tersesat ( QS. 13: 37). Petunjuk yang
ada pada Al-Qur’an benar-benar sebagai ciptaan Allah bukan cerita
yang dibuat-buat (QS. 12:111). Semua ayatnya harus menjadi rujukan termasuk
dalam mengelola bumi.
Dengan menggunakan kedua macam hukum secara beriringan yakni hukum
alam dan hukum Al-Qur’an, ditujukan antara lain untuk menampakkan
kejayaan Islam dan mengalahkan segenap tata aturan ciptaan manusia (liyudlhirah
‘aláddini kullih) sebagaimana ditunjukkan oleh kemenangan negeri
Madinah atas negeri Mekah yang Jahiliyah (futuh Mekah). Supaya tujuan itu bisa
dicapai maka hukum Allah (Al-Qur’an) harus benar-benar dijadikan undang-undang
oleh para khalifah fil ardl dalam mengelola bumi.
Sedangkan Al-Qur’an sebagai bayyinát berfungsi memberikan penjelasan
tentang apa-apa yang dipertanyakan oleh manusia. Dalam fungsinya
sebagai bayyinát, Al-Qur'an harus dijadikan rujukan semua
peraturan yang dibuat oleh manusia, jadi manusia tidak boleh membuat aturan sendiri
sebab sistem aturan produk akal manusia sering hanya bersifat trial and
error.
Fungsi ketiga Al-Qur’an adalah sebagai furqán atau pembeda antara
yang haq dan yang báthill, antara muslim dan luar muslim,
antara nilai yang diyakini benar oleh mukmin dan nilai yang dipegang oleh
orang-orang kufurr.
Untuk bisa memahami dan menggali fungsi-fungsi Al-Qur’an, baik sebagai
hudá, bayyinát maupun furqán secara mendalam,
maka Al-Qur’an perlu dipelajari bagian demi bagian secara cermat dan tidak
tergesa-gesa (QS. 75 : 16-17, QS. 17 : 105-106), memahami munásabah atau
hubungan ayat yang satu dengan yang lain, surat yang satu dengan surat yang
lain.
Selanjutnya fungsi lain Al-Qur’an sebagai Syifa (obat, resep). Ibarat resep
dokter, pasien sering sulit membaca resep dokter apalagi memahaminya,
akan tetapi walaupun begitu, pasien tetap percaya bahwa resep itu
benar mustahil salah karena dokter diyakini tidak mungkin bohong. Inilah
kebenaran otoritas. Demikian pula dengan Al-Qur’an, ia a adalah resep
dari Allah yang sudah pasti benar mustahil salah karena Allah adalah Maha
Benar. Dengan demikian walaupun ada beberapa ayat Al-Qur;an yang untuk
sementara waktu belum dapat difahami oleh ratio, tak apa tetapi tetap harus
dilaksanakan, sebab kalau menunggu dapat memahaminya secara penuh
bisa keburu mati.
Juga obat dari dokter kadang rasanya manis kadang pahit, tetapi dokter berpesan
agar obat tersebut dimakan sesuai aturan dan sampai habis, sebab kalau tidak
tepat aturan dan tidak sampai habis, penyakitnya tidak akan sembuh. Demikian
pula dengan Al-Quran sebagai obat, tidak selalu harus sejalan dengan perasaan
(feeling) kemauan (willing) dan ratio (thinking). Allah menghendaki agar
seorang mukmin mengamalkan seluruh ayat Al-Qur’an tanpa terkecuali. Pemilahan
dan pemilihan ayat-ayat tertentu untuk diamalkan sedangkan ayat yang lainnya
dibiarkan adalah sikap kufur (Nu’minu biba;dlin wa nakfuru biba’dlin).
Úä ÃÈì åÑíÑÉ ÑÖí Çááå Úäå ÞÇá : ÞÇá ÑÓæá Çááå Õáøì Çááå Úáíå æ Óáøã :ØåæÑ ÅäÇÁ ÃÍÏßã ÅÐÇ æáÛ Ýíå ÇáßáÈ Åä íÛÓáå ÓÈÚ ãÑÇÊ ÇæáÇ åä ÈÇáÊÑÇÈ
Dari Abâ Hurairah r.a ia berkata, telah bersabda Rasulullah SAW, bersih-kanlah
bejana salah seorang di antaramu, apabila dijilat anjing dengan membersihkan
sebanyak tujuh kali, salah satunya dengan tanah (HR. Muslim).
Hadits serupa berasal dari ‘Ali ibn Hujr al-Sa‘dy, dari ‘Ali ibn Mushâr, dari
A‘masy, dari Abâ Razain dan Abâ Shálih dari Abâ Hurairah. Juga dari
Mu\ammad ibn Rafi’, dari Abd Razaq, dari Ma‘mar, dari Hamam ibn Munabbah, dari
Abâ Hurairah.
Menurut hadits di atas, kalau bejana dijilat anjing maka wajib dibasuh tujuh
kali, satu kali menggunakan tanah. Pertanyaannya adalah mengapa harus dengan
tanah bukan dengan sabun. Apakah hal itu karena di zaman nabi belum mengenal
sabun? Tentu tidak sesederhana itu jawabannya. Namun untuk dapat memahami
mengapa harus dicuci dengan tanah memang sangat sulit.
Hal ini besar kemungkinan berkaitan dengan unsur-unsur karbon yang sangat
beragam dalam tanah. Multi karbon sangat efektif dalam menghilangkan racun
termasuk virus rabies, sedangkan sabun hanya mengandung beberapa karbon saja
yang mustahil dapat membunuh virus rabies.
Muncul lagi pertanyaan, mengapa kalau anjing menjilat bejana, bejana itu harus
dibasuh tujuh kali di antaranya satu kali dengan memakai tanah. Tetapi ketika
berburu kelinci menggunakan anjing terlatih (mu‘allam), terus anjing ini
menggigit kelinci, tidak ada satu hadits pun yang mengharuskan mencuci leher
kelinci bekas gigitan anjing itu dengan tanah. Mengapa demikian?” Selintas
pertanyaan ini menyudutkan dan sulit dijawab. Akan tetapi apabila ditanyakan
kepada ahlinya, rahasianya dapat agak terbuka.
Dapat kita bandingkan dengan bisa ular. Apabila manusia digigit oleh ular
kobra, maka dalam beberapa menit saja manusia bisa mati, padahal hanya sedikit
saja bisa ular yang masuk melalui pagutan itu. Lain halnya dengan bisa yang
sengaja diperas dari mulut kobra itu. Apabila bisa ular itu diperas dari
mulutnya kemudian ditampung pada gelas lantas diminum, ternyata tidak berbahaya
bahkan justeru menjadi obat. Kasus ini kurang lebih sama dengan air liur
anjing tadi. Air liur yang keluar ketika anjing menjilat dan ketika tetap dalam
mulutnya, terdapat perbedaan besar.
Contoh lain ialah tentang puasa. Orang yang sering menahan lapar bisa terkena
penyakit maag, tetapi tidak demikian dengan menahan lapar karena puasa. Kalau
perut sangat lapar dapat mengakibatkan tubuh berkeringat dingin, tetapi tidak
demikian kalau lapar karena puasa. Kalau perut sedang lapar akan sulit tidur,
tetapi kalau perut lapar karena puasa justeru nikmat tidur. Mengapa demikian?
Contoh lainnya masih tentang puasa adalah bahwa ketika Nabi berbuka puasa, Nabi
ta‘jil (mempercepat buka puasa) hanya memakan tiga biji kurma bukan dengan
makan yang banyak. Mengapa demikian? Menurut ilmu kedokteran, ketika berpuasa,
lambung (maag) itu kosong. Dengan berbuka menggunakan kurma (manis) akan
mempercepat pembakaran dan segera dapat mengganti glukosa (gula darah) yang
berkurang selama puasa. Mengapa hanya tiga kurma? Dengan kurma yang sedikit
yang masuk ke dalam lambung, maka darah akan mengalir ke lambung sebagai energi
sehingga lambung bisa bekerja dengan baik. Setelah lambung memiliki energi yang
cukup kuat barulah diisi dengan makanan yang banyak, sehingga lambung bisa
menjalankan fungsinya dengan baik. Berbeda jika lambung itu langsung diisi
dengan makanan yang banyak tanpa “pemanasan”, maka lambung memerlukan banyak
darah sehingga darah dari otak akan turun ke lambung, akibatnya otak kekurangan
darah, ini berarti otak kekurangan oksigen sehingga jadi mengantuk.
Dengan mengetengahkan contoh-contoh di atas, penulis bermaksud meminta
perhatian bahwa apa-apa yang dilakukan nabi yang menyangkut diniyah walaupun
untuk sementara waktu dinilai kurang rasional namun jangan tergesa-gesa
menolaknya. Sebab ukuran rasional dan tidaknya sesuatu sangat tergantung kepada
ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang. Dengan demikian, tidak boleh
hanya karena akal manusia belum bisa menemukan hubungan sebab akibatnya, lantas
dengan serta merta ajaran Islam (ayat Al-Qur’an) yang dianggap tidak rasional
(untuk sementara waktu) itu ditafsirkan sesuai dengan selera penafsir.
Kejadian yang lebih sulit lagi manakala kita ingin mengetahui logis tidaknya
mukjizat. Misalnya Nabi Ibrahim a.s dibakar tidak merasa panas, Tongkat
Nabi Musa a.s menjadi ular, serta Nabi Muhammad SAW ber-Isra Mi’raj. Apabila
kejadian ini diukur dengan ilmu dalam batasan rasional, maka pasti akan
dianggap irrasional dan kemudian ditolak. Tidak heran kalau kelompok pemikir
Rasional menyatakan mukjizat seperti itu hanyalah mitos doktrinal, tidak ubah
dongeng Lampu Aladin (fiktif). Dan karena anggapannya itu,
mereka lebih suka melakukan reinterpretasi dengan pendekatan rasional
metaforis.
Seandainya semua hal harus rasional, lantas bagaimana dengan Isa (Yesus) yang
lahir dari rahim Maryam yang masih perawan, tanpa suami dan tanpa berbuat zina.
Apakah ada tafsiran yang lain?
Kejadian yang aneh di luar kebiasaan yang sulit difahami seperti mukjizat
bukanlah ilmu Empirik karena tidak dapat diulang-ulang melalui kegiatan
eksperimen, Bukan pula Ilmu Rasional karena interrelasi sebab – akibatnya sulit
ditemukan, tetapi termasuk dalam katagori ilmu Suprarasional atau kejadian
Supranatural. Kebenarannya hanya dicapai dengan hati (qalbu) yang percaya, atau
bisa disebut haqq al-yaqân.
Apalagi kalau menyangkut persoalan siksa kubur, alam Mahsyar, syurga dan neraka
yang sama sekali tidak bisa dijangkau akal, bahkan tak dapat dibayangkan.
Kebenaran ilmu tersebut hanya dibuktikan dengan ruh yakni setelah manusia mati.
Ilmu yang demikian disebut dengan Metarasional. Dalam paradigma Al-Qur’an
disebut Ilmu Gaib.
Berdasarkan kajian-kajian yang penulis lakukan, penulis berkesimpulan bahwa
sebenarnya ilmu itu ada empat macam bukan dua sebagaimana dalam pemikiran di
Barat. Keempat macam ilmu itu adalah ilmu Empirik (‘Ain al-yaqin), Ilmu
Rasional (‘Ilmu al-yaqin), Suprarasional (Haqq al-yaqin) dan Metarasional
(‘ilmu al-Ghaib). Dalam terminologi lain, Ilmu Empirik dan ilmu Rasional
dikatagorikan Ilmu Bayány. Ilmu Suprarasional merupakan ilmu
Burhány, sedangkan Metarasional disebut ilmu ‘Irfány.
Di luar yang empat itu ada yang disebut irrasional, yakni manakala kejadian
tersebut sangat mustahil menurut akal, misalnya dikatakan bahwa benda itu diam
dan pada saat yang sama benda itu bergerak. Ini irrasional. Termasuk ke dalam
irrasional adalah tahayyul. Irrasional bukanlah ilmu tetapi tahayyul (hayalan)
atau kepercayaan tak berdasar.
Di
dalam ajaran Islam, banyak sekali perintah dan larangan nabi yang seakan tidak
masuk akal sehingga beberapa ulama melakukan rasionalisasi melalui penafsiran
metaforis.
Lantas apakah sesuatu yang tidak dimengerti harus ditaati juga? Sebenarnya
manusia banyak melakukan perbuatan bukan karena mengerti tetapi karena percaya.
Sebagai contoh, seorang professor doktor di bidang agama akan tetap menggunakan
resep dari dokter walaupun tulisan pada resep itu tidak dapat dibaca dengan
matanya dan tidak dapat difahami dengan otaknya. Ia menaati resep dokter bukan
karena mengerti tetapi karena percaya. Begitupun dengan Al-Qur’an yang
berfungsi sebagai resep, obat (syifá), maka kalau sementara ini akal
belum mampu menerima apa yang dikandung oleh Al-Qur’an, sebaiknya diterima saja
dahulu, nanti di saat kemudian, apa-apa yang dianggap tidak rasional sangat
mungkin menjadi rasional juga. Jadi pada dasarnya baik suprarasional maupun
metarasional seluruhnya masih dalam koridor rasional.
Apakah tafsir Al-Qur’an yang dilakukan oleh NII KW IX termasuk kepada tafsir bi
ar-Ra’yi yang diancam neraka?.
Untuk mengetahuinya sangat perlu terlebih dahulu memahami kriteria tafsir
bi ar-Ra’yi yang diperbolehkan.
Menurut Muhammad ibn Sulaiman al-Kafiji di dalam buku : “At-Tafsâr fâ
Qawá‘id ‘ilmi at-Tafsâr”, dijelaskan bahwa para sahabat biasa menafsirkan
Al-Qur’an dengan ra’yu, hal ini dilakukan apabila mereka tidak menemukan
tafsirnya dalam hadis mutawátir, juga tidak terdapat dalam Ijma‘
ulama”. Adapun tafsâr bi ar-Ra’yi yang dilarang adalah min
gair ‘ilm (tanpa imu) tetapi sekadar mengikuti selera. Tafsir ra’yu tidak
boleh kalau meninggalkan pemahaman yang sudah biasa difahami dari
lafaÑ-lafaÑ Al-Qur’an .
Apabila mencermati tafsir Al-Qur’an yang dilakukan oleh NII KW IX, maka segera
dapat diketahui bahwa penafsiran mereka tanpa mengikuti kaidah-kaidah baku
penafsiran yang telah disepakati oleh para ulama, terutama ulama Salaf.
Berdasarkan kriteria tafsir bi ar-ra’yi di atas, maka tafsâr bi ar-ra’yi
NII KW IX secara akademis tidak dapat diterima.