') //-->
Dalam Al-Qur’an, imâmah (yang bermakna kepemimpinan manusia di masyarakat) terdapat dua jenis: Pertama, para “imam nűr” yang merupakan para pemimpin Ilahi dan saleh. Kedua, para “imam nâr” yang merupakan para pemimpin kekafiran dan kesesatan. Dalam Al-Qur’an, disebutkan pelbagai tipologi untuk para “imam nűr” di antaranya, “kemaksuman, memberi petunjuk, mendapat petunjuk, beriman, beribadah, istiqamah, suka bekerja keras dan berjihad di jalan Allah, terdepan dalam pelbagai perbuatan baik, adil, jujur, kokoh, berilmu, thayyib, cerdik-cendekia, pewaris bumi, ahli takwa, mendahulukan kepentingan orang lain, suka berinfak, mukmin, sebaik-baik manusia, keutamaan Tuhan, rahmat Tuhan, saleh, cahaya Ilahi. Dan paling menonjol dari tipologi ini adalah bahwa imâmah seorang imam harus Ilahi dan dianugerahkan oleh Tuhan.
Adapun tipologi dan karakteristik para “imam nâr” adalah, “pembangkang, congkak, perusak, menyesatkan, mengajak pada neraka, aniaya dan zalim, arogan dan penebar perpecahan, gemar mengurangi dan mengecoh.
Imâmah secara leksikal bermakna kepemimpinan dan leadership. Dan imam berarti sesuatu yang mengikut kepadanya; baik ia manusia atau selain manusia. Hak atau batil. Artinya adalah mutlak pemimpin dan pengayom. Akan tetapi, imâmah secara teknis bermakna kepemimpinan atas masyarakat Islam pasca Rasulullah Saw.
Imâmah dalam pandangan para teolog Syiah, seperti nubuwwah merupakan salah satu ushuluddin dan merupakan sebuah maqam yang diberikan oleh Tuhan. Imam memikul seluruh tugas yang diemban oleh Rasulullah Saw kecuali pos kenabian. Diangkat dari sisi Tuhan, maksum dan lebih utama, merupakan tiga syarat asasi seorang imam. Oleh itu, pandangan ini banyak berpijak di atas dalil rasional (‘aqli) dan juga dalil referensial (naqli).
Definisi menyeluruh atas imâmah disebutkan bahwa al-imâmah qiyâdat ‘amma ilahiyyah fii umur al-din wa al-dunyâ lisyakhshin kâmil min al-insân, fi kulli ‘ashrin, khilâfatan ‘an al-rasul (Saw). Imâmah adalah kepemimpinan umum dan multidimensional Ilahi pada seluruh urusan agama dan duniawi bagi seorang manusia sempurna, pada setiap masa yang menjadi pengganti Rasulullah Saw.
Imâmah dalam Al-Qur’an
Dengan subjudul ini kami akan membahas dan mengkaji beberapa perkara sebagai berikut.
A. Makna imâmah dalam Al-Qur’an: imâmah dalam al-Qur’an dalam artian leksikal yang bermakna kepemimpinan dan leadership. Dan imam bermakna pemimpin dan pengayom.
B. Ayat-ayat imâmah: dalam Al-Qur’an terdapat dua belas ayat yang menggunakan redaksi “imam” dan “aimmah” (para imam) serta ayat-ayat yang berbicara tentang masalah “imâmah.” Hal-hal yang berkenaan dengan penggunaan imam dan objek-objek imam digunakan beragam pada ayat-ayat ini: imam digunakan pada delapan ayat berkenaan dengan manusia, dua ayat atas kitab, satu ayat atas lauh mahfuzh dan satu ayat atas jalan.
C. Bagian-bagian imâmah (yang bermakna kepemimpinan manusia atas komunitas manusia) dalam Al-Qur’an: Dalam al-Qur’an, imâmah atas makna ini terdiri dari dua jenis: Pertama, para “imam nur” (imam yang mengajak pada cahaya) yang merupakan para pemimpin Ilahi dan saleh. Kedua, para “imam nâr” (imam yang mengajak pada kesesatan) yang merupakan para pemimpin kekafiran dan kesesatan.
D. Tipologi para imam nűr (cahaya) dalam Al-Qur’an: ayat-ayat yang menyebutkan ihwal tipologi para imam nűr terdiri dari beberapa bagian: Pertama, ayat-ayat yang menjelaskan secara lugas tipologi imam. Kedua, ayat-ayat yang menyebut secara kiasan dan dengan memerhatikan riwayat-riwayat Ahlulbait As menyinggung pelbagai tipologi para imam nűr. Ketiga, ayat-ayat yang meyinggung pelbagai keutamaan Imam Ali As. Keempat, ayat-ayat yang menyinggung pelbagai keutamaan Imam Mahdi Ajf.
Bagian Pertama
Berkenaan dengan ayat-ayat yang menjelaskan secara lugas tipologi imam kita akan menyebutkan beberapa ayat di sini:
1. Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji oleh Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu ia menunaikannya (dengan baik). Allah berfirman, “Sesungguhnya Aku menjadikanmu imam bagi seluruh manusia.” Ibrahim berkata, “Dan dari keturunanku (juga)?” Allah berfirman, “Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Baqarah [2]:124)
2. Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada mereka untuk mengerjakan kebaikan, mendirikan salat, dan menunaikan zakat, dan hanya kepada Kami-lah mereka selalu menyembah.” (QS. Al-Anbiya [21]:73)
3. Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan mereka meyakini ayat-ayat Kami. (QS. Al-Sajdah [34]:24)
4. Katakanlah, “Apakah di antara sekutu-sekutumu ada yang dapat memberi petunjuk kepada kebenâran?” Katakanlah, “Allah-lah yang dapat memberi petunjuk kepada kebenâran. Maka apakah orang yang dapat memberi petunjuk kepada kebenâran itu lebih berhak diikuti ataukah orang yang tidak dapat memperoleh petunjuk kecuali (bila) diberi petunjuk? Mengapa kamu (berbuat demikian)? Bagaimanakah kamu mengambil keputusan?” (QS. Yunus [10]:35)
Dari ayat-ayat ini dan ayat-ayat lainnya dalam masalah ini, dapat disimpulkan beberapa tipologi untuk para imam nűr dan pemimpin hak:
1. Pengangkatan imam dari sisi Tuhan; karena pada seluruh ayat penetapan imâmah disandarkan kepada Tuhan dan juga pada ayat ibtilâ (QS. Ibrahim [2]:124) dipandang sebagai janji Tuhan dan ikrar Ilahi. Maka itu, yang bertugas menetapkan imam adalah Tuhan bukan manusia. Demikian juga sesuai dengan ayat-ayat ini, imam harus maksum, paling sempurna dan paling utama di antara manusia. Jelas bahwa tiada seorang pun selain Tuhan yang dapat mengetahui dengan baik adanya sifat-sifat dan kesempurnaan jiwa pada seorang manusia. Karena itu, imam harus diangkat dari sisi Tuhan. Falsafah pengangkatan (intishab) para imam nűr dari sisi Tuhan ini adalah petunjuk dan kepemimpinan atas umat manusia.
2. Kemaksuman imam; karena ayat-ayat menunjukkan bahwa harus terjaga dan terpelihara dari segala jenis dosa, kesalahan, kelalaian, kelupaan dan segala sifat tercela.
3. Keutamaan imam; lantaran sesuai ayat kedua dan ketiga imam adalah pemandu dan pemberi petunjuk sesuai dengan perintah Tuhan, maka ia harus yang paling sempurna dan utama di antara manusia. Karena itu, imam harus paling sempurna dan paling utama di antara manusia dalam ilmu, agama, keyakinan, keadilan dan seluruh keutamaan serta kesempurnaan jiwa.
4. Mendapatkan petunjuk; di antara tipologi para Imam Maksum As adalah mereka telah memperoleh petunjuk.[1]
5. Memberi petunjuk Ilahi; di antara tipologi imam adalah memandu dan memberi petunjuk Ilahi kepada masyarakat.[2]
6. Beriman; beriman atau ahli yakin di antara tipologi para imam yang disebutkan dalam Al-Qur’an.[3]
7. Bersabar.[4]
8. Ahli ibadah dan selalu menyembah Tuhan.[5]
Bagian Kedua:
Ayat-ayat dalam bentuk kiasan dan dengan memerhatikan riwayat-riwayat Ahlulbait As, menyinggung beberapa tipologi para imam nűr; bilangan ayat-ayat ini cukup banyak. Karena itu, kita hanya menyinggung sebagian dari ayat-ayat tersebut di sini:
Shirathal mustaqim: Shirathal mustaqim atau jalan lurus yaitu jalan yang meyakinkan untuk dilintasi. Manusia dapat sampai pada tujuan dengan melalui jalan tersebut. Al-Qur’an menyatakan, “Ihdina al-shirath al-mustaqim” (Tuhan kami tunjukkan kami ke jalan lurus, QS. Al-Fatihah [1]:7). Imam Shadiq As terkait dengan ayat ini bersabda, “Wallahi, nahnu al-shirath al-mustaqim” (Demi Allah! Kami adalah jalan lurus).[6]
Syâhid: Syahid atau saksi merupakan salah satu tipologi yang dijelaskan Tuhan bagi para imam. Maqam saksi, adalah sebuah kedudukan yang sangat luar biasa. Karena keniscayaan menjadi saksi atas seluruh perbuatan, perilaku, niat seluruh hamba, dimana dalam hal ini para imam menjadi saksi dan penonton atas seluruh perbuatan manusia. Al-Qur’an menandaskan, “kadzalika ja’alnakum ummatan wasathan litakunu syuhada ‘ala al-nas wa yakuna al-rasul ‘alaikum syahida.” (QS. Al-Baqarah [2]:143) Imam Shadiq As bersabda: “Nahnu syuhadalLâh ‘ala khalqihi.” Artinya, kami adalah saksi-saksi Ilahi atas seluruh ciptaan-Nya.[7]
Babullah: Di antara tipologi imam adalah bahwa ia adalah gerbang rumah Tuhan. Artinya, barangsiapa yang ingin memanfaatkan emanasi Ilahi dan masuk ke dalam rumah Tuhan, maka ia harus memasuki melalui pintunya. Para imam merupakan gerbang-gerbang emanasi Tuhan. Al-Qur’an menegaskan, “Wa laisa al-birr bian ta’tu al-buyuta min zhuhuriha walakin al-birra manittaqa. Wa atu al-buyuta min abwabiha wattaquLlah la’allakum tuflihun.” (Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung, [QS. Al-Baqarah [2]:189]) Imam Shadiq As bersabda: “Ali Muhammad AbwabuLlah wa sabiluhu…” Keluarga Muhammad adalah gerbang-gerbang Tuhan dan jalan untuk sampai kepada-Nya.”[8]
Sâbiq: Kalimat ini dinyatakan kepada orang-orang yang mendahului dan terdepan atas orang lain dalam beriman dan beramal kebajikan. Al-Qur’an menyatakan, “….Wa minhum sâbiq bilkhairât...” (Dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan…[QS. Fathir [35]:32) Imam Ridha As bersabda: “Al-Sâbiq bilkhairât, al-imâm.” Orang-orang yang lebih dahulu berbuat kebaikan adalah imam”.[9]
Mizân: Teraju segala amal dan perbuatan yang menjadi kriteria benâr tidaknya amal dan perbuatan seluruh makhluk. Al-Qur’an menandaskan, “Wa nadha’ al-mawazin al-qisth liyaum al-qiyamah fala tuzhlamu nafsun syaian.” (Kami akan menegakkan timbangan yang adil pada hari kiamat, lalu setiap jiwa tidak akan dirugikan barang sedikit pun. [QS. Al-Anbiya [21]:47]) Imam Shadiq As bersabda: “Al-Mawazin al-Anbiya wa al-Awsiya.” (Teraju-teraju [untuk menimbang] adalah para nabi dan washi [imam]).[10]
Najm (bintang): Najm atau bintang yaitu yang bercirikan cahaya senantiasa menerangi merupakan salah satu tipologi imam As. Al-Qur’an menyatakan, “Wahuwalladzi ja’ala lakum an-nujuma litahtadu biha fii al-zhulumat al-birr.” (Dan Dialah yang menjadikan bintang-bintang bagimu, agar kamu menjadikannya petunjuk dalam kegelapan di darat dan di laut, [QS. Al-An’am [6]:97]) Dalam kitab tafsir Ali bin Ibrahim disebutkan bahwa bintang gemintang (pada ayat tersebut) adalah keluarga Muhammad Saw.[11]
Shâdiq: Artinya berkata lurus dan benâr. Al-Quran menegaskan, “Yaa Ayyuhalladzina amanu ittaqullah wa kunu ma’a al-shadiqin.” (Wahai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan hendaknya kalian bersama orang-orang yang benâr, [QS. Al-Taubah [9]:119) Imam Baqir As bersabda,” “Iyyana ‘anna”, artinya yang dimaksudkan Tuhan pada ayat ini adalah kami.”[12]
Rasikhun dalam ilmu dan pengetahuan: Sebagian ayat Al-Qur’an menyinggung kedalaman ilmu para imam. Seperti pada ayat mulia ini, “Wa ma ya’lamu ta’wilahu illallah wa al-rasikhuna fil al-‘ilm.” (Tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya, [QS. Ali Imran [3]:7]) Karena itu, kedalaman dalam ilmu (rasikhun fil al-‘ilm) adalah orang yang menyelami samudera ilmu dan mencicipi kelezatannya. Imam Shadiq As bersabda: “Râsikhun fil al-‘ilm (yang mendalam ilmunya) itu adalah Amirul Mukminin dan para imam setelahnya.”[13] Dan sebagian ayat lainnya menyinggung ihwal menjuntainya ilmu mereka seperti pada ayat, “Qul kafa billah syahida baini wa bainakum wa man ‘indahu ilmu al-kitab.” (Katakanlah, “Cukuplah Allah dan orang yang mempunyai ilmu al-Kitab (dan pengetahuan terhadap Al-Qur’an) menjadi saksi antara aku dan kamu.” QS. Al-Ra’ad [13]:43) Imam Baqir As bersabda: “Iyyana ‘anni. Wa Ali awwaluna wa afdhaluna wa khairuna ba’da al-nabi.” Yang dimaksud pada ayat ini adalah kami dimana Ali As merupakan yang pertama dan terutama dari kami setelah Rasulullah Saw.”[14]
Thayyib: Thayyib memiliki ragam makna di antaranya adalah melezatkan, apa yang dihalalkan dalam syariat, apa yang suci, dan yang kosong dari gangguan dalam jiwa dan raga.[15] Akan tetapi, segala makna yang diutarakan di sini dapat disaksikan pada wujud suci imam. Al-Qur’an menyatakan, “Alam tara kaifa dharaballahu matsalan kalimatan thayyibatan…” (Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah membuat perumpamaan kalimat yang baik…” QS. Ibrahim [23]:24) Imam Shadiq As bersabda, “Akar pohon adalah Rasulullah Saw dan cabangnya adalah Amirul Mukminin As dan rantingnya adalah para imam maksum As.”[16]
Hakîm: Atau cerdik cendikia. Al-Qur’an menyatakan, “Am yahsuduna al-nasa ‘ala maa atahumullah min fadhilihi faqad ataina Ala Ibrahim al-Kitaba wa al-Hikmata wa atainahum mulkan azhima. (Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad dan keluarganya) lantaran karunia yang Allah telah berikan kepadanya? Sesungguhnya Kami telah memberikan kitab dan hikmah kepada keluarga Ibrahim, dan Kami telah memberikan kepada mereka kerajaan yang besar. QS. Al-Nisa [4]:54) Imam Shadiq As bersabda, “Demi Allah! Sesungguhnya kamilah yang didengki oleh mereka.”[17]
Wârits: Al-Qur’an menandaskan, “Inna al-ardha lillahi yűritsuhâ man yasyâ-u min ‘ibâdihi wa al-‘âqibatu lilmuttaqîn.” (Sesungguhnya bumi (ini) kepunyaan Allah; Dia mewariskannya kepada hamba-hamba-Nya yang Dia kehendaki. Dan kesudahan yang baik adalah milik orang-orang yang bertakwa. QS. Al-A’raf [7]:128). Imam Baqir As bersabda, “Kami adalah pewaris bumi dan orang-orang yang bertakwa (yang disebut pada ayat tersebut).”[18]
Bagian Ketiga:
Bagian ketiga ayat-ayat yang menyinggung pelbagai tipologi Imam Ali As.
Syajâ’a (prawira): Keberanian dan keprawiraan merupakan salah satu tipologi imam. Al-Qur’an menandaskan, “Wa min al-nâs man yasytari nafsahubtighâ-a mardhatillah wallâhu raűfun bil’ibâd.” (Dan di antara manusia ada yang menjual dirinya untuk meraih keridhaan Allah dan Allah sangat pengasih kepada para hambanya, QS. Al-Baqarah [2]:207). Imam Zainul Abidin As bersabda, “Ayat ini turun berkenaan dengan Ali bin Abi Thalib As yang menggantikan Rasulullah Saw di pembaringannya (pada peristiwa lailatul mabit).[19]
Munfiq: Atau pemberi infaq. Al-Qur’an menyatakan, “Innamâ waliyyukumullahu wa rasűluhu walladzina âmanulladzîna yuqîmuna al-shalâta wa yu’tűna al-zakâta wa hum râki’űn.” (Sesungguhnya wali kalian hanyalah Allah dan Rasul-Nya dan orang beriman yang menunaikan shalat dan menyerahkan zakat sementara ia sedang ruku. QS. Al-Maidah [5]:55). Rasulullah Saw bersabda, “Ali adalah orang yang menunaikan shalat dan menyerahkan zakat sementara ia sedang ruku.”[20]
Iman dan jihad: Iman kepada Allah Swt dan jihad di jalan-Nya merupakan salah satu karateristik para imam. “Aja’altum siqâyat al-hajji wa ‘imârata masjid al-harami kaman âmana billahi wa al-yaum al-âkhir wa jahâda fî sabîlilah.” (Apakah kamu menyamakan pekerjaan memberi minuman kepada orang-orang yang mengerjakan haji dan mengurus Masjidil Haram dengan (amal) orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta berjihad di jalan Allah? QS. Al-Taubah [9]:19) Para penafsir dan perawi Syiah menyebutkan banyak hadis dalam literatur-literatur mereka yang menandaskan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Ali bin Abi Thalib As.[21] Demikian juga dari beberapa literatur Ahlusunnah seperti Thabari, Tsa’labi, Tafsir Khazin, Wahidi dalam Asbab al-Nuzul, Allamah Baghawi dalam Ma’âlim al-Tanzil, Maghazali dalam Manâqib, Ibnu Atsir dalam Jâmi’ al-Ushul, Fakhrurrazi dalam tafsirnya dan literatur-literatur lainnya yang menukil hadis yang sama.[22]
Khayr al-bariyyah (sebaik-baik makhluk): Al-Qur’an menyatakan, “Innalladzîna âmanu wa ‘âmilushâlihâti hum khairul bariyyah.” Sesungguhnya orang beriman dan melakukan amal kebajikan mereka adalah sebaik-baik makhluk. QS. Al-Bayyinah [97]:7) Imam Baqir As menukil dari Rasulullah Saw yang bersabda kepada Ali As, “Mereka ini adalah engkau dan para pengikutmu.”[23]
Rahmat Ilahi: Qul bifadhlillahi wa birahmatihi fabidzalika falyafrahű huwa khairun mimma yajma’űn.” (Katakanlah, “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan. QS. Yunus [10]:58) Imam Baqir As bersabda, “(Yang dimaksud dengan) karunia Allah (pada ayat ini) adalah Rasulullah Saw dan rahmat Ilahi adalah Ali bin Abi Thalib As.”[24]
Bagian Keempat:
Bagian keempat adalah yang menyinggung pelbagai tipologi Imam Mahdi Ajf. Saleh: Al-Qur’an menegaskan, “Walaqad katabnâ fi al-zabűri min ba’da al-dzikri anna al-ardha yaritsűhâ ‘ibâdiya al-shâlihűn.” (Dan sungguh Kami telah tulis di dalam Zabur sesudah (Kami tulis dalam) azd-Dzikr (Taurat) bahwasanya hamba-hamba-Ku yang saleh mewarisi bumi ini. Qs. Al-Anbiya [21]:105) Imam Baqir As menukil dari perkataan Rasulullah Saw bahwa, “Allah Swt akan memilih seorang saleh dari Ahlulbaitku yang akan memenuhi semesta dengan keadilan setelah dipenuhi dengan kejahatan dan kezaliman.”[25]
Perantara cahaya: Wa asyraqat al-ardhu binűri rabbihâ.” (Dan terang benderanglah bumi dengan cahaya Tuhan-nya QS. Al-Zumar [39]:69) Imam Shadiq As bersabda, “Tatkala Qaim kami bangkit, maka ia akan menebarkan cahaya Tuhan dan manusia tidak lagi membutuhkan cahaya mentari.”[26]
Imam nâr
Di antara sekumpulan ayat yang dijelaskan dalam al-Quran tentang para imam nâr, dapat disimpulkan bahwa mereka adalah para pemimpin yang sekali-kali tidak pernah menâruh perhatian pada Tuhan dan hukum-hukum Tuhan serta beramal mengikuti hawa nafsunya. Mereka terdepan dalam kekufuran dan kesesatan. Dan mereka telah mencapai puncak dalam masalah ini sehingga menjadi imam dan pemimpin kekufuran dan kesesatan. Karena itu, Allah Swt menjadikan mereka sebagai pemimpin orang-orang kafir, tersesat dan ahli maksiat. Di antara objek-objek para imam nâr yang diperkenalkan Al-Qur’an adalah Fir’aun, para pengikutnya dan para pemimpin musyrik Arab. Tipologi dan karakteristik para imam nâr adalah: pembangkang dan penjahat, congkak dan perusak, menyesatkan dan mengajak pada neraka, jahat dan aniaya, arogan dan pemecah belah, gemar mengurangi dan mengecoh. Perilaku para imam nâr (imam yang mengajak kepada kesesatan) dalam menghadapi pesan-pesan Ilahi adalah mengolok-ngolok, menuding, mendustakan dan melanggar apa yang telah disepakati. [IQuest]
[1]. Qs. Yunus (10):35
2]. Qs. Al-Anbiya (21):73
[3]. Qs. Al-Sajdah (34):24
[4]. Qs. Al-Sajdah (34):24
[5]. Qs. Al-Anbiya (21):73
[6]. Nűr al-Tsaqalain, jil. 1, hal. 21.
[7]. Ibid, jil. 1, hal. 134.
[8]. Ibid, jil. 1, hal. 177.
[9]. Ibid, jil. Hal. 361.
[10]. Ibid, jil. 3, hal. 430.
[11]. Ibid, jil. 1, hal. 75.
[12]. Ibid, jil. 2, hal. 280.
[13]. Ushűl Kâfi, jil. 1, hal. 213.
[14]. Nűr al-Tsaqalain, jil. 2, hal. 522.
[15]. Mu’jam al-Bahrain, jil. 2, hal. 111, Software Nur al-Hidayah.
[16]. Nűr al-Tsaqalain, jil. 2, hal. 535.
[17]. Ibid, jil. 1, hal. 491.
[18]. Ibid, jil. 2, hal. 56.
[19]. Ibid, jil. 1, hal. 204.
[20]. Ibid, jil. 1, hal. 644.
[21]. Al-Burhân fi Tafsir al-Qur’ân, jil. 2, hal. 478.
[22]. Tafsir Nemune, jil. 7, hal. 322. Kitab Ihqâq al-Haq, jil. 3, hal. 122-128.
[23]. Nűr al-Tsaqalain, jil. 5, hal. 645.
[24]. Ibid, jil. 2, hal. 307.
[25]. Majma’ al-Bayân, jil. 7, hal. 106.
[26]. Nűr al-Tsaqalain, jil. 4, hal. 504. Diadaptasi dari Yekshad wa Panjâ Maudhu’ az Qur’ân Karim, Akbar Dehqan, Yekshad wa Panjâ Maudhu’ az Qur’ân Karim, Markaz-e Farhanggi Darshai az Qur’an, cetakan kedua, 1377, Qum.