Index    

Tingkat derajat al quran

Pertama, bagaimana tingkatan dan derajat teks lugas ayat-ayat al-Qur’an di hadapan riwayat-riwayat muktabar? Apakah keduanya sederajat? Kedua, Apabila kita dapat memberi nilai misalnya seratus (100) untuk al-Qur’an lantas berapa nilai kita berikan untuk riwayat-riwayat? Ketiga, apa perbedaan antara apa yang difirmankan Allah Swt dalam al-Qur’an secara lugas dan yang kelugasannya berada pada tingkat minimal? Apakah hal tersebut menunjukkan derajat signifikansinya atau tidak?

Al-Qur’an dan riwayat-riwayat muktabar keduanya merupakan literatur utama agama dan memiliki tingkat kredibilitas dan otoritas (hujjiyah) utama (dapat dijadikan sebagai sandaran argumentasi).

Sekaitan dengan al-Qur’an tidak lagi mengemuka pembahasan tentang sanad dan periwayatannya. Karena ayat-ayat al-Qur’an bersifat eksak (madhbuth) dan jelas serta diturunkan dari sisi Allah Swt. Oleh itu tidak lagi diperlukan pembahasan. Yang dibahas dari ayat-ayat al-Qur’an ini adalah dari sisi petunjuk (dalâlat) dan pemahaman benar atas makna-maknanya.

Adapun sehubungan dengan hadis, di samping memerlukan pembahasan sanad juga membutuhkan pembahasan petunjuk (dalâlat). Artinya di samping sandarannya kepada maksum harus dikaji dan ditelusuri, makna dan kandungannya juga harus jelas.

Apabila sebuah riwayat atau hadis secara langsung diidengarkan dari maksum atau terdapat kepastian terkait dengan sumber keluarannya (qathi’ al-shudűr) diperoleh dari maksum tidak terdapat keraguan maka nilai dan kredibilitasnya sepadan dengan al-Qur’an dan keduanya memiliki dasar untuk dijadikan sebagai sanad (sandaran) dan hujjah (argumen). Dan berdasarkan kandungan keduanya, hukum harus dikeluarkan dan diamalkan.

Apabila terdapat keraguan dalam menilai validitas sebuah hadis maka sudah barang tentu derajat al-Qur’an lebih tinggi dan menjadi kriteria untuk menilai valid atau tidak validnya riwayat-riwayat.    

Al-Qur’an dan riwayat-riwayat muktabar keduanya merupakan literatur utama agama dan memiliki tingkat kredibilitas dan otoritas (hujjiyah) utama (dapat dijadikan sebagai sandaran argumentasi).

Sekaitan dengan al-Qur’an tidak lagi mengemuka pembahasan tentang sanad dan periwayatannya. Karena ayat-ayat al-Qur’an bersifat eksak (madhbuth) dan jelas serta diturunkan dari sisi Allah Swt. Oleh itu tidak lagi memerlukan pembahasan. Yang dibahas dari ayat-ayat al-Qur’an ini adalah dari sisi petunjuk (dalâlat) dan pemahaman benar atas makna-maknanya.

Adapun sehubungan dengan hadis, di samping memerlukan pembahasan sanad juga membutuhkan pembahasan petunjuk (dalâlat). Artinya di samping sandarannya kepada maksum harus dikaji dan ditelusuri, makna dan kandungannya juga harus jelas.

Apabila sebuah riwayat atau hadis secara langsung diidengarkan dari maksum atau terdapat kepastian terkait dengan sumber keluarannya (qathi’ al-shudűr) diperoleh dari maksum tidak terdapat keraguan maka nilai dan kredibilitasnya sepadan dengan al-Qur’an dan keduanya memiliki dasar untuk dijadikan sebagai sanad (sandaran) dan hujjah (argumen). Berasas pada kandungan keduanya, hukum harus dikeluarkan dan diamalkan. 

Namun mengingat rentang waktu lebih dari 1200 tahun telah berlalu semenjak masa para maksum dan selama ini banyak hadis telah hilang dan demikian juga telah banyak direkayasa, maka para maksum sendiri menyebutkan salah satu cara yang menghasilkan ketenangan untuk mengidentifikasi validitas satu riwayat adalah keselarasannya dan kesesuainnya dengan al-Qur’an dan tiadanya penentangan al-Qur’an terhadap riwayat tersebut.[1] Karena itu, apabila terdapat keraguan terkait dengan validitas nukilan sebuah hadis maka sudah barang tentu tingkatan al-Qur’an lebih tinggi dan menjadi kriteria untuk menentukan valid dan tidak validnya riwayat-riwayat yang ada.

Di kalangan kaum Muslimin senantiasa terdapat kelompok ifrath dan kelompok tafrith terkait dengan nilai dan kredibilitas hadis. Pada masa-masa awal kemunculan Islam, sebagian meneriakkan slogan “hasbuna kitabaLlah’ (cukup bagi kami Kitabullah) dan beranggapan bahwa dengan adanya al-Qur’an maka kami tidak lagi memerlukan riwayat dan hadis. Konsekuensinya mereka kemudian menyingkirkan sabda-sabda Rasulullah Saw, para Imam Maksum As dan para sahabatnya.

Setelah beberapa lama kemudian muncul kelompok ifrath di kalangan Ahlusunnah yang menyuarakan slogan “hasbuna al-riwayat” (cukup bagi kami riwayat-riwayat). Mereka mengira bahwa dengan adanya hadis-hadis maka kita tidak lagi memerlukan al-Qur’an sedemikian sehingga mereka berkata, “Hadis tidak akan mengalami nasakh (anulir) melalui perantara al-Qur’an namun ia dapat menjadi pe-nasakh al-Qur’an.”[2]

DI kalangan Syiah, terdapat kelompok Akhbariyun yang mempertanyakan otoritas lahir al-Qur’an dan meyakini bahwa sepanjang persoalan yang terdapat dalam al-Qur’an belum lagi mendapat sokongan riwayat maka tidak mungkin bagi kita untuk memahaminya. Bahkan mereka memandang haram melakukan penafsiran atas al-Qur’an dan menyebut penafsiran ini sebagai tafsir birray.

Padahal Rasulullah Saw bersabda, “Inni târikun fiikum al-tsaqalaîn kitâbaLlâh wa itrati..” (Kutinggalkan dua pusaka berharga bagi kalian Kitabullah dan Itrah Ahlulbaitku selama kalian berpegang teguh kepada keduanya kalian tidak akan tersesat selamanya).[3] Artinya al-Qur’an dan sabda-sabda para maksum adalah hujjah (sandaran argumen) bagi seluruh kaum Muslimin. Dua narasumber ini adalah media untuk mengenal agama dan jalan untuk meraih kebahagiaan. Untuk mencapai keduanya kita harus bersandar kepada al-Qur’an dan sabda-sabda para maksum As.

Namun boleh jadi terdapat beberapa hal yang disebutkan secara global dalam al-Qur’an dan dijelaskan ulasan dan rinciannya oleh Rasulullah Saw atau para Imam Maksum As, atau terdapat hal-hal yang dikemukakan secara global dan riwayat-riwayat mengkhususkan (takshish) dan mengecualikan hal-hal tersebut. Hal ini merupakan tugas yang dibebankan al-Qur’an di pundak Rasulullah Saw,  “Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka merenungkan.“ (Qs. Al-Nahl [16]:44) Tugas ini, berdasarkan beberapa riwayat yang dinukil dari Rasulullah Saw,[4] diletakkan di pundak para Imam Maksum As sehingga mereka menjawab dan mengatasi pelbagai persoalan yang di hadapi masayarakat dengan menyuguhkan penafsiran benar terhadap al-Qur’an pasca Rasulullah Saw.[5]

Masalah penting dalam menafsirkan al-Qur’an dan riwayat-riwayat adalah memahami kandungan dan pesannya yang tentu saja memerlukan spesialisasi yang tinggi. Spesialisasi tersebut di antaranya adalah mengenal nâsikh dan mansukh, muhkam dan mutasyabih, ‘âm dan khâs, mutlak dan muqayyad dan seterusnya. Demikian juga tinjauan dalam terhadap riwayat bahwa apakah Imam Maksum berada pada tataran menjelaskan (bayan) atau tidak? Apakah mereka tengah menjelaskan pandangan Islam dalam masalah ini atau tidak? Apakah dapat digeneralisir (ta’mim) pada hal-hal yang serupa pada setiap ruang dan waktu atau tidak? Dan hal-hal lainnya yang berkenaan dengan disiplin Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an (‘Ulum al-Qur’an), Fikih, Ushul Fikih dan Filsafat Fikih. Kesemua ini memiliki peran tertentu dalam menggunakan al-Qur’an dan riwayat yang harus dipertimbangkan dan diperhatikan.

Adapun pertanyaan lainnya terkait dengan apakah hal-hal lugas al-Qur’an lebih signifikan daripada masalah-masalah yang tidak dijelaskan secara lugas atau tidak?

Dalam menjawab pertanyaan ini harus dikatakan: Tidak. Kelugasan ayat-ayat  terhadap beberapa masalah tertentu tidak bermakna signifikansinya masalah tersebut. Atau minimal tidak selamanya demikian. Benar dapat diklaim bahwa segala sesuatu yang terkait dengan tugas dan taklif masyarakat yang harus mereka lakukan atau tinggalkan. Seperti ayat-ayat ahkam yang telah dijelaskan secara lugas. Demikian juga hal-hal yang terkait dengan hak-hak masyarakat terhadap yang lain dan segala sesuatu yang bertautan dengan keseharian mereka. Hal-hal ini memiliki penjelasan yang jelas dan lugas.

Adapun hal-hal lainnya yang memiliki nilai signifikansi yang tinggi; seperti ayat-ayat yang berhubungan dengan Tuhan sendiri, sifat-sifat (ausâf) dan perbuatan-perbuatanya (af’âl) atau masalah akhirat; seperti surga dan neraka, kondisi dan situasinya. Atau hal-hal yang berkaitan dengan entitas-entitas meta fisika seperti malaikat, jin tidak dijelaskan secara jelas, tegas dan lugas. Karena itu, Imam Shadiq As bersabda, “Kitab Allah terdiri dari empat jenis. Ibârat, isyârat, lathâif dan haqâiq. Ibârat untuk orang-orang umum. Isyârat untuk orang-orang khusus. Lathâif bagi para wali dan haqâiq untuk para nabi.”[6]

Imam Shadiq pada kesempatan lain bersabda, “Al-Qur’an memiliki lahir dan batin. Lahirnya adalah hukum dan batinnya adalah ilmu. Lahirnya indah dan menawan. Batinnya dalam dan jeluk.”[7]

Karena itu, dapat diklaim bahwa hal-hal murni al-Qur’an, laksana gerbang-gerbang yang terpendam dan tertimbun dalam tiram (mutiara), pada lapisan-lapisan bawah dan batin ayat-ayat dan kita harus berupaya maksimal untuk dapat sampai kepada lapisan-lapisan bawah dan dalamnya.

Poin penutup yang harus disampaikan di ini adalah bahwa terkadang terdapat kemaslahatan sehingga sebagian persoalan tidak dijelaskan secara lugas dalam al-Qur’an seperti tiadanya nama Imam Ali As secara tegas dan lugas dalam al-Qur’an atau terlampirnya ayat-ayat yang berkaitan dengan beliau di antara ayat-ayat yang tidak saling berhubungan secara lahir. [IQuest]


[1]. Wasâil al-Syiah, Hurr ‘Amili, jil. 11, hal. 330, Kitab Qadha wa Syahadat, Bab Ikhtilaf Riwayat, Hadis Pertama, Maqbulah Umar bin Hanzalah.

[2]. Maqâlât al-Islâmiyyin, Abu al-Hasan Asy’ari, jil. 2, hal. 251.  

[3]. Kanz al-‘Ummâl, Muttaqi Hindi, jil. 1, hal. 44.  

[4]. Seperti hadis tsaqalain dan hadis safinah.

[5]. Untuk telaah lebih jauh silahkan lihat, Ta’ammulât dar ‘Ilm Ushűl Fiqh, Mahdi

adawi Tehrani, Kitâb Awwâl, Daftar Syisyum, hal. 75-80.  

[6]. Al-Shâfi fi Tafsir al-Qur’ân, Faidh Kasyani, Muqaddimah.

[7]. Bihâr al-Anwâr, Muhammad Baqir Majlisi, jil. 92, hal. 17.