') //-->
Dalam menjawab pertanyaan di atas harus dikatakan sebagai berikut:
1. “Kemaksuman” merupakan sebuah kondisi kejiwaan pada seorang maksum yang menyebabkan terpeliharanya ia dari maksiat dan segala perbuatan tercela, dan kondisi ini juga menjaganya dari segala jenis kesalahan dan kealpaan, serta tidak menjadi penyebab tercerabutnya kebebasan atau keterpaksaan seorang maksum.
2. Rahasia kemaksuman para nabi, penyaksian, keyakinan dan iman sempurna serta kecintaan kepada Dzat Ilahi, dan merasakan (istisy’âr) keagungan Tuhan dan sifat jamal dan jalal-Nya. Di samping itu, penegasan dan pertolongan Tuhan untuk memperkuat dan menjaga para nabi dari kejahatan setan-setan dan hawa nafsu dianugerahkan kepada mereka.
3. Terdapat dalil-dalil rasional yang tak-berbilang atas keharusan maksumnya para nabi di antaranya adalah menunaikan tujuan.
4. Apabila ayat-ayat al-Qur’an, berbenturan dengan dalil-dalil al-Qur’an, dengan memperhatikan kandungan ayat-ayat tersebut, makna sahihnya harus diperoleh dan pertama-tama harus menghindar dari hal-hal lahir.
5. Terdapat banyak ayat-ayat yang menunjukkan atas adanya dan keharusan maksumnya para nabi, kendati redaksi “maksum” tidak disebutkan pada ayat tersebut.
a. Dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang memandang para nabi sebagai orang-orang mukhlas, misalnya pada ayat 45 hingga 48 surah “Shad.” Dan orang yang disebut mukhlas adalah orang yang tidak terjangkau penyimpangan setan.
b. Terdapat banyak ayat yang menjelaskan adanya “petunjuk Ilahi” pada para nabi dalam al-Qur’an, seperti, ayat-ayat 84 hingga 90 surah al-An’am. Dan orang yang mendapatkan petunjuk Ilahi maka kesesatan dan ketergelinciran tidak bermakna.
c. Allah Swt, pada banyak ayat menitahkan kepada manusia untuk mengikuti para nabi dan menyeru manusia untuk mentaati mereka tanpa reserved. Seperti pada ayat-ayat 31-32 surah Ali Imran, ayat 80 surah al-Nisa, ayat 52 surah al-Nur. Dan jelas bahwa kewajiban untuk taat tanpa tedeng aling-aling kepada seseorang menandaskan adanya kemaksuman pada orang itu.
d. Ayat-ayat 26 hingga 28 surah al-Jin menunjukkan pada penjagaan seluruh dimensi para nabi dari sisi Allah Swt.
e. Ayat Tathir (Ahzab 33) menunjukkan dengan jelas atas kemaksuman pada pribadi Nabi Saw.
6. Ayat-ayat yang secara lahir tidak sesuai dengan derajat kemaksuman atau dalam bentuk kalimat bersyarat yang menunjukkan pada terjadinya maksiat atau pada hakikatnya, orang-orang berimanlah yang menjadi obyek yang diajak berbicara (mukhatab) bukan para nabi.
7. Terkait dengan kisah Adam yang memiliki banyak keraguan tentang maksiat yang dilakukannya, dapat dikatakan bahwa, pertama, larangan pada ayat terkait dengan pembahasan ini, larangan irsyadi (himbauan) bukan maulawi (ketika dilanggar mendapat hukuman). Kedua, apabila larangan ini adalah larangan maulawi, maka ia tidak tergolong pada larangan yang diharamkan. Dan hal ini semata-mata termasuk sebuah tark awla (meninggalkan yang utama) dan bukan sebuah perbuatan dosa. Ketiga, dunia dan kediaman yang dihuni oleh Nabi Adam ketika itu bukan dunia taklif. Dan tentu saja, penentangan pada selain dunia taklif tidak termasuk sebagai maksiat.
8. Apabila Tuhan berkata-kata pedas dengan para nabi ulul azmi disebabkan karena mereka juga adalah manusia yang memiliki syahwat, amarah, kekuatan hewani dan nafsani yang memerlukan petunjuk dan bimbingan Ilahi sedemikian sehingga apabila diserahkan pada mereka sendiri maka mereka akan binasa.
Untuk menjawab pertanyaan yang diajukan, pertama-tama kita harus mengupas makna kemaksuman (‘ishmah). Allamah Thaba-thabai Qs berkata, “Yang kami maksud dengan ishmah adalah adanya sesuatu pada diri seorang maksum yang mencegah terjadinya sesuatu yang tidak dibenarkan, seperti berbuat kesalahan atau maksiat.”[1]
Fadhil Miqdad salah seorang teolog kawakan Syi’ah mengemukakan sebuah definisi yang lebih sempurna, “Ishmah merupakan kemurahan yang dianugerahkan Tuhan kepada seorang mukallaf sedemikian sehingga dengan adanya kemaksuman ini maka tidak ada motif bagi seorang mukallaf untuk meninggalkan ketaatan atau mengerjakan maksiat, meski ia mampu melakukan hal tersebut. Anugerah ini dengan dihasilkan seiring dengan munculnya malakah (penguasaan sempurna) bagi mukallaf tersebut yang mencegahnya untuk tidak berbuat maksiat. Di samping itu, ia mengetahui ganjaran ketaatan dan hukuman maksiat serta takut terhadap hukuman karena melakukan tark awla atau perbuatan yang dilupakan.”[2]
Poin yang harus diperhatikan di sini adalah bahwa “ishmah” sekali-kali tidak pernah memaksa seorang maksum untuk melaksanakan ketaatan atau meninggalkan maksiat. Dan tidaklah demikian bahwa seorang maksum tidak memiliki kekuatan untuk melakukan perbuatan dosa dan kebebasan ternafikan darinya, melainkan iman sempurna, ilmu dan takwa pada tingkatan tertinggi yang menahannya untuk berbuat dosa. Dengan sebuah tuturan, merasakan (istisy’âr) keagungan Tuhan dan perhatian terhadap keindahan dan kesempurnaan-Nya yang menjadi penghalang seorang maksum untuk tidak terjerembab dalam kubangan maksiat atau meninggalkan ketaatan kepada Tuhan. Di samping itu, dalam kaitannya dengan para nabi dan maksum terdapat banyak riwayat yang menandaskan bahwa mereka mendapatkan pertolongan Ilahi, dan Allah Saw menguatkan mereka dengan media Ruhul Qudus, Ruhul Iman, Ruhul Quwwah, Ruhusyahwat dan Ruhulmudrij.”[3]
Dalil kemaksuman para nabi:
Sebelum bersandar pada lahir ayat-ayat al-Qur’an, kiranya kita perlu memperhatikan poin berkut ini bahwa lantaran tiada kontradiksi antara akal dan wahyu, maka seyogyanya ayat-ayat dimaknai sehingga selaras dengan hukum definitif akal.
Khususnya dalam masalah kemaksuman para nabi, kami akan menyebutkan hanya satu dalil rasional. Muhaqqiq Thusi Ra dengan redaksi singkat namun padat menuturkan, “Kemaksuman merupakan suatu hal yang mesti bagi seorang nabi sehingga lahir kepercayaan kepadanya dan kesimpulannya dengan kepercayaan ini tujuan dapat tercapai (memberi petunjuk kepada umat).” Oleh karena itu, keharusan kemaksuman para nabi lantaran adanya kepercayaan (trust) yang disandarkan kepada para nabi.
Sebagian periset menjelaskan dalil kemaksuman para nabi, “Tatkala keberadaan Tuhan, dengan segala sifat kesempurnaan dan keindahan-Nya, telah tertetapkan maka wahyu dan kenabian umum juga akan tertetapkan. Matlab lainnya yang akan dihukumi oleh akal adalah keharusan kemaksuman para nabi dalam menerima dan menyampaikan wahyu. Artinya Allah Swt memilih seorang nabi untuk membimbing para hamba-Nya. Dan niscaya Tuhan akan mengutus seorang nabi yang maksum dari segala jenis kelalaian dan kealpaan – apatah lagi dosa – dalam menerima dan menyampaikan wahyu. Lantaran apabila tidak demikian, maka hal ini akan bertentangan dengan hikmah kenabian, pewahyuan kitab dan pengutusan para rasul, yang memiliki akar pada hikmah penciptaan. Hikmah pengutusan para rasul adalah untuk membimbing dan memberi petunjuk kepada manusia. Dan hal ini akan dapat tercapai tatkala para pembawa pesan Ilahi terjaga dan maksum dari kesalahan, kelalaian dan kealpaan dalam menerima dan menyampaikannya.
Demikian kaidah teologi yang berakar pada sifat-sifat Ilahi, seperti ilmu, kekuasaan, hikmah penciptaan, hikmah penetapan syariat dan akhirnya sucinya Tuhan dari segala jenis keburukan, kezhaliman dan (melakukan) perbuatan sia-sia. Apabila seorang rasul melakukan kesalahan dalam menerima atau menyampaikan wahyu, maka hal itu akan menunjukkan kebodohan, kelemahan dan ketidaklayakan dalam perbuatan rububiyah Ilahi. Bahkan apabila seorang nabi tidak harus maksum, atau bimbingannya terjadi kesalahan yang disengaja atau kelalaian maka umat tidak akan memiliki kepercayaan yang diperlukan atas kenabiannya atau dimensi Ilahiah seluruh taklif dan pesan-pesannya. Pada bagian pertama, kejahilan dan kesesatan umat. Dan bagian kedua adalah kesia-siaan dimana Tuhan suci dari dua perkara ini.[4]
Sejauh ini, definisi kemaksuman telah terang dan rahasia kemaksuman para nabi juga menjadi jelas. Dan sebagian dalil-dalil rasional atas keberadaan dan keharusan kemaksuman pada para nabi juga telah jelas. Sebagai kelanjutannya, kita akan membahas ayat-ayat al-Qur’an yang dikelompokkan ke dalam dua bagian pembahasan:
Bagian pertama, ayat-ayat yang menjelaskan kemaksuman para nabi.
Bagian kedua, ayat-ayat yang secara lahir tidak sesuai dengan derajat kemaksuman para nabi. Dan terakhir sebuah kesimpulan jawaban akan menjadi jelas.
Bagian pertama: Ayat-ayat yang menandaskan kemaksuman para nabi
Dalam al-Qur’an terdapat banyak ayat yang menunjukkan pada kepemilikan bernama “kemaksuman” (ishmah) pada nabi-nabi kendati redaksi ishmah tidak disebutkan pada ayat-ayat tersebut. Akan tetapi makna dan apa yang dipahami atau kemestian kepemilikan (malakah) tersebut dapat kita simpulkan dari ayat-ayat terkait. Ayat-ayat ini dapat ditelaah dalam dua sub-bagian.
Sub-bagian pertama: Ayat-ayat yang memandang para nabi sebagai orang-orang mukhlash (yang diikhlaskan) yang tidak mampu terjangkau oleh godaan setan. Dan sebagai kesimpulannya mereka harus maksum.
Pada surah Shad disebutkan, “Dan ingatlah hamba-hamba Kami Ibrahim, Ishaq, dan Ya‘qub yang mempunyai tangan (yang perkasa) dan mata (yang melihat). Sesungguhnya Kami telah menyucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) ketulusan yang istimewa, yaitu selalu mengingat negeri akhirat. Dan sesungguhnya mereka di sisi Kami benar-benar termasuk orang-orang pilihan yang paling baik. Dan ingatlah akan Ismail, Ilyasa‘, dan Zulkifli. Semuanya termasuk orang-orang yang paling baik.” (Qs. Shad [38]:45-48)
Pada ayat-ayat ini, disebutkan sebagian nama dari para nabi sebagai “orang-orang mukhlash” dan “orang-orang pilihan.” Dan orang-orang mukhlash adalah orang-orang yang tidak berada dalam sasaran tembak setan. Setan, dalam bahasa al-Qur’an disebutkan, “Iblis menjawab, “Demi kekuasaan-Mu, aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang disucikan (dari dosa) di antara mereka.” (Qs. Shad [38]:83) Dan juga, “kecuali hamba-hamba-Mu yang tersucikan di antara mereka.” (Qs. Al-Hijr [15]:40)
Sub-bagian kedua: ayat-ayat yang menjelaskan “petunjuk Ilahi” pada seluruh nabi. Seperti, “Dan Kami telah menganugerahkan Ishaq dan Ya‘qub kepada Ibrahim. Kepada keduanya masing-masing telah Kami beri petunjuk; dan kepada Nuh sebelum itu (juga) telah Kami beri petunjuk, dan kepada sebagian dari keturunan Nuh, yaitu Dawud, Sulaiman, Ayub, Yusuf, Musa, dan Harun. Demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik, (dan Kami lebih utamakan pula) sebagian dari nenek moyang, keturunan, dan saudara-saudara mereka. Kami telah memilih mereka (untuk menjadi nabi dan rasul) dan Kami memberikan petunjuk kepada mereka ke jalan yang lurus. (Qs. Al-An’am [6]:84-90)
Ayat-ayat Ilahi ini menandaskan bahwa para nabi Ilahi mendapatkan petunjuk Ilahi. Demikian juga pada surah al-Zumar disebutkan, “Dan barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak seorang pun yang dapat menyesatkannya. Bukankah Allah Maha Perkasa lagi mempunyai (kekuasaan untuk) mengazab?” (Qs. Al-Zumar [39]:37)
Karena itu, seseorang yang berada di bawah petunjuk Ilahi, sekali-kali tidak akan pernah tersesat. Dan karena perbuatan dosa dan maksiat salah satu jenis kesesatan maka dapat ditarik kesimpulan bahwa para nabi Ilahi adalah orang-orang maksum.
Ayat-ayat ini menegaskan bahwa para nabi adalah orang-orang pilihan merupakan dalil yang lain atas kemaksuman para nabi. Karena mereka telah terpilih untuk membimbing orang lain, maka tentu saja adalah orang-orang yang telah mendapat petunjuk dan maksum. Di samping itu, pada ayat terakhir, Allah Swt menitahkan kepada Nabi Saw untuk mengikuti petunjuk mereka dan tentu saja mengikutnya Nabi Saw, dengan keagungan dan ketinggian derajat, menandaskan kemaksuman mereka. Dan kalau tidak demikian mengikutnya Nabi Saw tanpa reserved dan syarat kepada orang yang tidak maksum boleh jadi bermuara kepada kesesatan.
Bagian kedua: Ayat-ayat yang menyeru kepada kaum Muslimin untuk mentaati Rasulullah dan mengikutnya.
Seperti pada ayat, “Katakanlah, “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Katakanlah, “Taatilah Allah dan Rasul-Nya. Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.” (Qs. Ali Imran [3]:31-32) Atau pada ayat lain Allah Swt berfirman, “Barang siapa yang menaati rasul itu, sesungguhnya ia telah menaati Allah. Dan barang siapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.” (Qs. Al-Nisa [4]:80)
Terdapat ayat-ayat lainnya yang menunjukkan pada ketaatan tanpa tedeng aling-aling kepada Rasulullah Saw. Dan apabila ketaatan kepada seseorang tanpa tedeng aling-aling diwajibkan maka hal menunjukkan kemaksumannya dan terpeliharanya dari kesesatan. Kalau tidak demikian, maka nabi akan menjadi sebab kesesatan orang lain.
Selain tiga bagian ini, terdapat ayat-ayat lainnya yang menunjukkan pada kemaksuman para nabi atau pribadi Rasulullah Saw dalam menyampaikan wahyu dimana dua ayat akan disebutkan di sini sebagai contoh:
Ayat pertama: “(Dia adalah Tuhan) yang mengetahui yang gaib dan Dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang gaib itu, kecuali kepada rasul yang diridai-Nya, maka Dia menetapkan para penjaga (malaikat) di hadapan dan di belakangnya. supaya Dia mengetahui bahwa sesungguhnya para rasul itu telah menyampaikan risalah-risalah Tuhan mereka. Dan ilmu-Nya meliputi apa yang ada pada mereka, dan Dia menghitung segala sesuatu dengan detail.” (Qs. Al-Jin [72]:26-28)[5]
Ayat kedua, “Sesungguhnya Allah hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait, dan menyucikan kamu sesuci-sucinya.” (Qs. Al-Ahzab [33]:33) Kehendak Tuhan pada ayat ini adalah kehendak takwini bukan kehendak tasyri’i.[6] Karena kehendak Ilahi tidak akan pernah menyelisih, maka jelas kehendak Ilahi pasti terlaksana bahwa Ahlulbait suci dari segala jenis nista, kekotoran dan dosa. Demikianlah derajat kemaksuman.
Terkait tentang siapa Ahlulbait itu bukan menjadi obyek pembahasan kita kali ini.[7] Namun yang pasti bahwa Nabi Saw terdapat di antara mereka. Tujuan kita adalah menetapkan kemaksuman para nabi melalui ayat-ayat al-Qur’an. Karena itu, secara pasti ayat belakangan menjelaskan kemaksuman Nabi Saw dari segala macam noda dan dosa. Dengan tidak disertakannya ucapan secara rinci (’adam al-qaul bi al-fashl) maka kemaksuman seluruh nabi tertetapkan.
Dengan kata lain, terkait kemaksuman para nabi maksimal terdapat dua pendapat:
Pertama, adanya kemaksuman dan yang kedua tiadanya kemaksuman. Tidak terdapat pandangan ketiga yang menjelaskan secara rinci, yaitu menetapkan kemaksuman sebagian nabi, misalnya Nabi Saw. Dan menafikan kemaksuman nabi-nabi lainnya. Karena itu, karena kita telah menetapkan kemaksuman Nabi Saw, maka hal itu meniscayakan kemaksuman para nabi lainnya.
Bagian kedua adalah ayat-ayat yang secara lahir berseberangan dengan kemaksuman para nabi.
Dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang secara lahir berseberangan dengan kemaksuman para nabi. Namun harus diperhatikan bahwa tatkala kemaksuman para nabi telah ditetapkan melalui dalil-dalil rasional maka diperlukan ketelitian dalam mengkaji makna-makna ayat yang tidak selaras dengan dalil rasional. Dan harus diupayakan memahami maksud hakiki ayat terkait. Adalah gamblang bahwa mengkaji seluruh ayat-ayat memerlukan ruang dan waktu yang luas dan perlu merujuk kepada kitab-kitab tafsir yang lebih jeluk membahas masalah ini. Namun sebatas menjawab pertanyaan yang mengemuka sebagian ayat tersebut akan menjadi obyek telaah dan kajian di sini:
1. Surah al-Zumar, “Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu, “Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan terhapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi. Karena itu, maka hendaklah Allah saja kamu sembah dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur.” (Qs. Al-Zumar [39]:65-66)
Boleh jadi ada orang yang mengalami waham (delusi) beranggapan bahwa ada kemungkinan para nabi mempersekutukan Tuhan kalau tidak ayat di atas tidak akan memberi peringatan semacam ini.
Jawab: Para nabi memiliki ikhtiar dan kekuasaan untuk mempersekutukan Tuhan karena sebagaimana yang telah kami katakana bahwa kemaksuman tidak bermakna ternafikannya ikhtiar dan kekuasaaan untuk tidak melakukan dosa atau syirik. Namun sekali-kali para nabi tidak akan menjadi musyrik. Lantaran ketinggian derajat makrifat mereka dan hubungan langsung dan juga berkesinambungan mereka dengan Sumber Wahyu sekali-kali tidak memberikan peluang kepada mereka untuk berpikir mempersekutukan Tuhan meski sedetik saja.
Karena itu, pertama, kandungan ayat di atas merupakan satu redaksi kondisional yang menunjukkan bahwa terjadinya “tâli” (anteseden) bersyarat pada terjadinya “muqaddam” (preseden), dan tidak menunjukkan terjadinya sebuah perbuatan. Kedua, maksud ayat adalah menjelaskan bahaya syirik dan memahamkan bahwa syirik sekali-kali tidak dapat diterima termasuk dari para nabi. Sejatinya dengan redaksi ini, taklif orang-orang beriman menjadi jelas. Sebagaiman dalam bahasa Arab terdapat sebuah pepatah yang berkata, “Berkata kepada pintu supaya dinding mendengarkan.”[8]
Juga diriwayatkan dari Imam Ridha As bahwa beliau bersabda, “Yang dimaksud dengan ayat-ayat sedemikian sejatinya adalah umat meski yang menjadi obyek firman Tuhan (mukhatab) adalah para rasul Tuhan.”[9]
Terdapat ayat yang serupa dengan ayat di atas, misalnya pada ayat, “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepadamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah, “Sesungguhnya petunjuk Allah adalah petunjuk (yang sebenarnya).” Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka engkau tidak akan memiliki pelindung dan penolong dari Allah.” (Qs. Al-Baqarah [2]:120)
Apabila ditanyakan apakah mungkin Nabi Saw, dengan derajat kemaksuman yang dimilikinya, mengikuti agama Yahudi? Untuk menjawab pertanyaan ini kita harus berkata bahwa pertama, redaksi ayat ini adalah redaksi kondisional. Dan redaksi kondisional tidak menunjukkan pada terjadinya sebuah peristiwa. Kedua, kemaksuman Nabi Saw tidak memustahilkan perbuatan dosa. Kendati ilmu, takwa dan iman nabi pada tataran yang tidak memberikan peluang kepada nabi untuk melakukan dosa. Ketiga, boleh jadi yang diajak bicara ayat ini adalah semua orang.
2. “Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasul pun dan tidak (pula) seorang nabi, melainkan apabila ia mempunyai suatu keinginan (untuk mengembangkan dakwah Ilahi), setan pun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu. Tapi Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh setan itu dan menguatkan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana, agar Dia menjadikan apa yang dimasukkan oleh setan itu, sebagai cobaan bagi orang-orang yang hati mereka berpenyakit dan yang berhati kasar. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu, benar-benar dalam permusuhan yang sangat, dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu, meyakini bahwasanya Al-Qur’an itulah yang hak dari Tuhan-mu lalu mereka beriman dan tunduk hati kepadanya, dan sesungguhnya Allah adalah pemberi petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus.” (Qs. Al-Hajj [22]:52-54)
Ayat-ayat ini adalah sandaran terpenting bagi orang-orang yang berpandangan tiadanya kemaksuman pada nabi-nabi. Orientalis juga menyodorkan ayat-ayat ini untuk meragukan kebenaran wahyu. Mereka beranggapan bahwa godaan setan pada harapan-harapan para nabi bermakna intervensi setan dalam urusan wahyu. Dimana sejatinya mereka ingin menginkari kemaksuman para nabi dalam menyampaikan wahyu.[10] Atau maksud mereka adalah bahwa setan mewas-wasi seluruh hati para nabi dan menggagalkan tekad mereka supaya para nabi meninggalkan pekerjaan memberi petunjuk kepada masyarakat dan memandang mereka sebagai sebuah kaum yang tidak dapat diberikan petunjuk.[11] Padahal jelas sekali bahwa maksud ayat ini tidaklah demikian. Sebagaimana Tuhan secara tegas menafikan godaan dan bisikan pada wujud kudus para nabi dan bahkan hamba-hamba pilihannya.[12]
Karena itu, penafsiran yang benar dari ayat ini adalah bahwa pada setiap masa para diutus untuk memberikan petunjuk kepada umat manusia sehingga mereka menjelaskan ayat-ayat Ilahi bagi umat manusia. Setan dari golongan jin dan manusia, senantiasa bermaksud menggangu seruan mereka. Dan membisikkan pelbagai persoalan sehingga pengaruh-pengaruh hidayat tabligh para nabi dapat digagalkan. Mereka ingin menyesatkan manusia dan menghasut manusia untuk menentang para nabi.[13] Sebagaimana firman Allah Swt, “Setan itu memberikan janji-janji (bohong) kepada mereka dan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka, padahal setan itu tidak menjanjikan kepada mereka selain dari tipuan belaka.” (Qs. Al-Nisa [4]:120)
Pada ayat-ayat ini AllahSwt menegaskan bahwa “Kami tidak akan tinggal diam di hadapan segala agenda dan aktifitas setani ini. Kami menangkan mereka atas pelbagai agenda ini dengan menolong para nabi dan kaum Mukminin.
3. Ayat-ayat yang berkenaan dengan Nabi Adam As yang disebutkan dalam beberapa masalah. Di antaranya ayat-ayat 35-37 surah al-Baqarah, ayat-ayat 19-24 surah al-‘Araf dan ayat-ayat 115-123 surah Thaha dimana secara lahir menunjukkan pada tertipu, bermaksiat dan sesatnya Adam. Dan sebagai kesimpulannya menjelaskan tentang tiadanya kemaksuman padanya.
Dalam menjawab isykalan ini harus dikatakan dengan beberapa cara: Pertama, larangan pada ayat di atas adalah larangan irsyadi (himbauan) dan bukan larangan maulawi (harus ditinggalkan) dan tahrimi (haram tatkala dilanggar). Dan bahasa larangan ini adalah bahasa nasihat dan himbuan yang memberikan berita tentang konsekuensi perbuatan. Dan tidak dilakukannya perintah irsyadi atau melanggar larangan irsyadi (himbauan) tidak akan menciderai konsep kemaksuman. Kedua, dengan asumsi bahwa perintah dan larangan pada ayat yang dimaksud adalah perintah dan larangan maulawi maka hal ini merupakan tark aula dan melanggar hal ini tidak tergolong sebagai dosa mutlak yang umum dikenal orang. Melainkan termasuk sebagai dosa nisbi. Artinya tidak layaknya perbuatan ini dilakukan oleh orang seperti Adam dan populer disebutkan bahwa “kebaikan-kebaikan orang-orang bijak adalah keburukan-keburukan bagi orang-orang yang didekatkan.” (hasanat al-abrar sayyiat al-muqarrabin). Ketiga, apa yang berseberangan dengan derajat kemaksuman adalah maksiatnya seorang manusia yang memiliki taklif. Sementara Nabi Adam masa taklif, tabligh dan syariat belum lagi dimulai. Karena itu pelbagai penentangan sebelum adanya syariat tidak dapat bertentangan dengan derajat kemaksuman.[14] Dari sisi lain, dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan Adam di sini adalah derajat kemanusiaan dan keadaman. Bukan pribadi Adam bapak manusia yang merupakan salah seorang nabi dan manusia pilihan Ilahi. Di samping itu, apabila yang dimaksud adalah Adam sebagai bapak manusia secara lahir ayat-ayat adalah medali kenabian diserahkan kepadanya setelah taubat. Bukan sebelumnya. Karena itu apabila ada orang yang yakin bahwa para nabi pada masa risalah mereka terjaga dari dosa dan kesalahan maka sekali-kali hal itu tidak akan menciderai derajat kemaksuman yang mereka miliki. Kecuali ia berpandangan bahwa orang-orang maksum harus bermula semenjak mereka lahir.[15]
4. Ayat-ayat yang bertautan dengan nabi-nabi lainnya: ayat-ayat ini membawa pesan bahwa sebagian nabi melakukan kesalahan atau dosa atau pengakuan kepada kesalahan mereka sendiri yang bertentangan dengan derajat kemaksuman. Ayat-ayat ini bertalian dengan Nabi Nuh, Ibrahim, Yusuf, Musa, Daud, Sulaiman, Ayyub dan Yunus As. Namun untuk mengkaji ayat-ayat terkait memerlukan waktu yang lumayan banyak, dengan demikian bagi mereka yang tertarik kami persilahkan untuk merujuk kepada kitab-kitab tafsir.
5. Ayat-ayat yang berkenaan dengan kemaksuman pribadi Nabi Pamungkas Saw dan klaim-klaim orang-orang yang menentang kemaksuman ini. Di antaranya ayat-ayat tersebut termaktub pada surah al-Fath yang menegaskan, “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata. supaya Allah memberi ampunan terhadap dosa yang telah lalu dan yang akan datang (yang disandarkan oleh kaummu kepadamu) serta menyempurnakan nikmat-Nya atasmu dan memberikan petunjuk kepadamu kepada jalan yang lurus.” (Qs. Al-Fath [48]:1-2) secara lahir ayat-ayat ini menunjukkan bahwa Nabi Saw dulunya berdosa dan akan melakukan dosa dan Tuhan mengampuninya berkat perjanjian damai Hudaibiyyah dan kemenangan yang diraihnya.
Dalam menjawab keraguan (syubha) ini harus dikatakan bahwa pertama makna “dzanb” (dosa) dan “ghufran” (pengampunan) yang digunakan pada ayat ini adalah makna leksikalnya. “Dzanb” secara leksikal adalah pengaruh buruk dan ikutan-ikutan perbuatan. “Ghufran” bermakna tirai dan penutupan. Kesimpulannya kedua redaksi ayat ini dapat dimaknai “Kami telah memberikan kepadamu sebuah kemenangan sehingga dengan perantara kemenangan ini akibat-akibat yang dimunculkan dari risalah yang engkau sampaikan akan ditutupi.
Penjelasan: Orang-orang musyrik Mekah, baik pra atau pasca hijrah berpikiran buruk terhadap Islam dan pribadi Rasulullah Saw dimana dengan kemenangan-kemenangan setelah semua itu kebatilan akan sirna dan pelbagai konsekuensi dakwah Nabi Saw yang semenjak awal kehidupan orang-orang musyrik telah goyah, dengan media kemenangan Nabi Saw, pelan-pelan akan dilupakan.[16] Dengan pencirian “dzanb” dan “ghufran” pada ayat ini tidak digunakan sesuai dengan makna teknikalnya. Karena itu, tidak akan terdapat kontradiksi dengan derajat kemaksuman. Ketiga, dengan asumsi bahwa redaksi “dzanb dan ghufran” yang digunakan adalah makna teknikalnya maka yang dimaksud adalah sebuah perbuatan yang dalam pandangan orang-orang musyrik adalah sebuah dosa dan bertentangan dengan aturan-aturan mereka, bukan bertentangan dengan aturan-aturan Ilahi sehingga harus berseberangan dengan derajat kemaksuman.[17]
Ayat-ayat yang serupa dengan ayat-ayat di atas adalah, “Allah telah memaafkanmu. Mengapa kamu memberi izin kepada mereka (untuk tidak pergi berperang), sebelum jelas bagimu orang-orang yang jujur dan sebelum kamu ketahui orang-orang yang berdusta?” (Qs. Al-Taubah [9]:43) Dimana sebagian orang beranggapan bahwa maaf dan ampunan dari sisi Allah merupakan dalil atas perbuatan dosa Nabi Saw dan memandang bahwa Nabi Saw tidak maksum.
Jawaban dari klaim ini adalah bahwa kalimat “’afaLlahu ‘anka” (Allah telah memaafkanmu) adalah sebuah kalimat informatif yang berisikan kalimat imperatif dan pada hakikatnya dua dan penghargaan serta penghormatan kepada Rasulullah Saw mirip dengan kalimat seperti “ayyadakaLlah” (semoga Allah menolongmu) dan “rahimakaLlah” (semoga Allah merahmatimu) dan semisalnya. Sebagai kesimpulannya tidak berseberangan dengan derajat kemaksuman. Menyitir Ustadz Allamah Thaba-thabai Ra makna-makna yang disodorkan orang-orang yang menentang konsep kemaksuman sejatinya adalah bermain-main dengan firman Allah Swt. Dan merupakan perlambang bahwa makna-makna ayat ini tidak mereka pahami.[18] Atau dengan kata lain, mereka tidak mengetahui “Alif Ba” al-Qur’an.[19]
Menurut kami apa yang telah disuguhkan di sini memadai untuk menetapkan derajat kemaksuman yang dimiliki oleh Nabi Saw. Namun terkait dengan mengapa dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat seperti ini dan mengapa Allah Swt berkata-kata dengan para nabi-Nya sedemikian (terkadang dengan nada keras) karena para nabi dengan seluruh kedudukan dan derajat yang tinggi serta kemaksuman yang mereka miliki, seperti manusia lainnya yang memiliki syahwat, amarah, insting dan kecenderungan psikologis yang memerlukan petunjuk dan bimbingan Ilahi. Sedemikian sehingga apabila sedetik saja diserahkan kepada mereka maka niscaya mereka akan binasa. Dan untuk orang-orang penting seperti ini yang memikul amanah sebagai pemimpin umat, sedetik saja lalai, lemah, payah dalam menyampaikan risalah maka akan termasuk sebagai dosa besar. Karena itu, dijelaskan redaksi-redaksi keras semacam ini terkait dengan para nabi. Sebagaimana mereka sekali-kali tidak pernah merasa kaya dari doa dan ampunan Ilahi.[20]
Kesimpulannya, pertama, ayat-ayat al-Qur’an yang secara lahir tidak sesuai dengan derajat kemaksuman para nabi harus di sandingkan dengan dalil-dalil rasional atau referensial. Kedua, kebanyakan dari ayat-ayat di atas apabila dimaknai dengan benar maka ayat-ayat tersebut tidak bertentangan dengan makam kemaksuman para nabi. Ketiga, banyak ayat dalam al-Qur’an yang menunjukkan pada wujud dan keharusan maksum pada nabi-nabi dimana contoh-contoh dari ayat tersebut telah disebutkan di atas.[]
Sumber literatur untuk telaah lebih jauh:
1. Ayatullah Ja’far Subhani, Mafâhim al-Qur’ân, jil. 4 & 5.
2. Allamah Thaba-thabai, Tafsir al-Mizân, pada ayat-ayat yang menjadi obyek pembahasan.
3. Ustadz Misbah Yazdi, Âmuzesy ‘Aqâid, jil. 2.
4. Ayatullah Makarim Syirazi, Tafsir Nemune, pada ayat-ayat yang menjadi obyek pembahasan.
[1]. Allamah Thaba-thabai, al-Mizan, jil. 2, hal. 134.
[2]. Fadhil Miqdad, Irsyâd al-Thâlibin ilâ Nahj al-Mustarsyidin, hal. 310.
[3]. Jabir Ju’fi meriwayatkan dari Imam Shadiq As tentang tafsir ayat “Dan orang-orang yang paling dahulu beriman, merekalah yang paling dulu (masuk surga). Mereka itulah orang yang didekatkan (kepada Allah).” (Qs. Al-Waqi’ah [56]:10-11) bersabda, “dan orang-orang yang paling dahulu adalah para rasul Allah dan orang-orang khusus dari ciptaan-Nya. Kulaini, Kafi, jil. 1, hal. 261.
[4]. Mahdi Hadavi Tehrani, Mabâni Kalâmi Ijtihâd, hal. 81.
[5]. Makarim Syirazi, Tafsir Nemune, jil. 25, hal. 141.
[6]. Kehendak tasyri’i terkait thaharah dan kesucian tidak hanya berhubungan dengan Ahlulbait melainkan termasuk seluruh hamba. Karena itu, kehendak dalam ayat ini adalah bukan kehendaak tasyri’i lantaran yang redaksi yang digunakan adalah “innama” (sesungguhnya) yang menunjukkan pada makna eksklusif yaitu terkhusus pada segolongan orang.
[7]. Silahkan Anda lihat indeks, Ahlulbait dan Ayat Tathir.
[8]. “Wa iyyaka a’ni wasma’i yaa jarati.” Aku bersamamu, tetanggamu yang mendengarkan. Pepatah ini biasanya digunakan tatkala obyek yang diajak bicara sebenarnya orang lain, namun secara lahir adalah orang yang ada di hadapannya.
[9]. Nur al-Tsaqalain, jil. 4, hal. 497 sesuai nukilan dari Tafsir Nemune, jil. 11, hal. 528.
[10]. Pada sebagian kitab Ahlusunnah dinukil sebuah riwayat yang aneh yang bersandar pada bahwa ayat-ayat ini diturunkan setelah peristiwa “legenda garanik,” dimana selepas itu setan tutur campur tangan dalam urusan penyampaian wahyu dan ayat-ayat setan meluncur dari lisan Nabi Saw. Silahkan Anda lihat, Tafsir Nemune, jil. 14, hal. 140.
[11]. Ibid.
[12]. “Sesungguhnya engkau tidak akand dapat menguasai hamba-hamba-Ku, kecuali orang-orang sesat yang mengikutmu.” (Qs. Al-Hijr [15]:42); “Sesungguhnya kamu tidak dapat berkuasa atas hamba-hamba-Ku. Dan cukuplah Tuhan-mu sebagai Penjaga.” (Qs. Al-Isra [17]:65); “Iblis menjawab, “Demi kekuasaan-Mu, aku akan menyesatkan mereka semuanya. kecuali hamba-hamba-Mu yang disucikan (dari dosa) di antara mereka.” (Qs. Shad [38]:82-83). Makarim Syirazi, Tafsir Nemune, jil. 14, hal. 136. Ja’far Subhani, Mafâhim al-Qur’ân, jil. 4, hal. 442.
[13]. Makarim Syirazi, Op Cit, jil. 14, hal. 136. Ja’far Subhani, Op Cit, jil. 4, hal. 442.
[14]. Ja’far Subhani, Op Cit, jil. 5, hal. 21 (ketiga jawaban atas isykalan di atas); Makarim Syirazi, Op Cit, jil. 1, hal. 188 (ketiga jawaban); Allamah Thaba-thabai, Op Cit, jil. 1, hal. 136 (jawaban pertama saja).
[15]. “(Ya), Adam tidak menaati Tuhan-nya dan ia terhalangi dari anugerah pahala-Nya. Kemudian Tuhan memilihnya, lalu Dia menerima tobatnya dan memberi petunjuk kepadanya.” (Qs. Thaha [20]:121-122) Nampaknya redaksi “tsumma” menunjukkan pada makna kemudian dimana “asha” (Adam tidak mentaati) disebutkan sebelum “ijtabah” (Tuhan memilih)
[16]. Makarim Syirazi, Op Cit, jil. 22, hal. 21. Ja’far Subhani, Op Cit, jil. 5, hal. 124. Allamah Thaba-thabai, terjemahan Tafsir al-Mizan, jil. 18, hal. 204.
[17]. Ja’far Subhani, Op Cit, jil. 5, hal. 125.
[18]. Allamah Thaba-thabai, Op Cit, jil. 9, hal. 286.
[19]. Ja’far Subhani, Op Cit, jil. 5, hal. 27.
[20]. Ibid.