Tafsir Ayat Pluralisme: Pandangan Allamah Thaba’thaba’i

Oleh: Muchtar Luthfi

Dari sini akhirnya dapat diambil kesimpulan bahwa berdalil dengan ayat ini untuk menguatkan konsep Pluralisme Agama yang berarti setiap agama mampu menghantarkan pengikutnya kepada keselamatan abadi dan sejati sangatlah tidak tepat, bahkan bisa dikatakan sebagai argumen yang terlalu diada-adakan dan cenderung melakukan pemaksaan terhadap teks. Pemaksaan semacam ini akan mengakibatkan seseorang terjerumus pada jurang penafsiran sesuai pendapat pribadi (tafsir bir ra’yi) yang jelas-jelas dilarang (baca: haram) dalam ajaran agama Islam.

-----------------------------------------------------------------------

Al-Quran adalah kitab suci terakhir yang diturunkan kepada Nabi terakhir sebagai sumber ajaran primer untuk agama samawi terakhir yang diberi nama Islam. Bagi seorang muslim, argumentasi al-Quran merupakan suatu hal yang bersifat aksiomatis. Argumentasi al-Quran memiliki kekuatan lebih dibanding argumentasi teks agama lainnya sehingga harus lebih diutamakan. Sesuai dengan konsensus segenap kaum muslimin, siapa saja yang meragukan argumentasi al-Quran, maka ia tergolong orang yang telah keluar dari agama Islam atau kafir—sesuai dengan berbagai teks agama Islam yang ada, al-Quran maupun hadis. Maka semua ulama dan intelektual muslim selalu berusaha untuk menyandarkan setiap wacana dan pemikiran yang dikemukakannya dengan argumentasi teks agama, khususnya teks al-Quran, dengan anggapan dan harapan bahwa wacana yang dilontarkannya akan diterima oleh kaum muslimin.

Dalam sebuah ayat al-Quran disebutkan bahwa semua ayat yang tercantum dalam al-Quran tidak akan pernah keluar dari dua kategori;
Pertama, ayat-ayat yang makna zahirnya bersifat aksiomatis (muhkamaat)
Kedua, ayat-ayat yang makna zahirnya bersifat ambigu (mutasyabihaat).

Dalam menjelaskan hal ini, Allah swt berfirman[1].: ”Dia-lah yang menurunkan al-Kitab (Al-Qur'an) kepadamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat muhkamât, itulah pokok-pokok isi Al-Qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihât. Adapun orang-orang yang hatinya condong kepada kesesatan, mereka mengikuti ayat-ayat mutasyabihât untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata, “Kami beriman kepada (semua isi) al-Kitab itu, semuanya itu berasal dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran (darinya) melainkan orang-orang yang berakal”.

Dari sini jelas sekali, bahwa sebagai seorang muslim, kita diperintahkan untuk mengikuti ayat-ayat yang bersifat jelas dari sisi pemaknaan zahir. Dari sini, mungkin akan muncul beberapa pertanyaan seperti; bagaimana nasib ayat-ayat yang bersifat ambigu? Apa fungsi penurunan ayat-ayat semacam itu? Bukankah al-Quran secara umum diturunkan untuk menjadi pedoman bagi kaum beriman sebagai petunjuk menuju kebahagiaan abadi nan sejati di akhirat kelak? Jika kita dilarang untuk mengikuti ayat-ayat semacam itu, lantas kenapa ayat seperti itu diturunkan, bukankah hal itu meniscayakan bahwa penurunannya bersifat sia-sia, dan mungkinkah Allah melakukan hal yang sia-sia? Bukankah kesia-siaan merupakan keburukan yang harus dijauhkan dari Dzat Suci Ilahi? Jawaban dari semua pertanyaan tersebut dapat teringkas pada satu kalimat; “al-Quran memiliki beberapa metode penafsiran yang jelas dan legal”. Sebagaimana Islam pun melarang penggunaan metode penafsiran dengan pendapat pribadi (tafsir bir ra’yi).

Mengenal Metode Penafsiran Allamah

Dari sekian banyak tata cara penafsiran yang ditawarkan oleh para ulama’ Islam, metode penafsiran ayat al-Quran dengan ayat lainnya memiliki kekhususan tersendiri. Metode ini, metode penafsiran al-Quran dengan al-Quran, hanya diajarkan oleh para imam Ahlul Bayt as saja yang telah mereka dapatkan secara khusus dari Rasulullah saww. Sangat banyak riwayat dari Ahlul Bayt as yang menjelaskan bahwa ayat-ayat yang tercantum dalam al-Quran saling berkaitan dan menjelaskan satu sama lainnya. Salah satu kelebihan metode ini adalah ia tidak akan pernah terkena problem perputaran mata rantai (daur) legalitas, tidak seperti metode penafsiran dengan riwayat (baca: hadis). Jika ayat al-Quran hanya dapat ditafsirkan dengan hadis saja, sedang kebenaran hadis sendiri sesuai dengan riwayat yang ada harus disesuaikan dengan al-Quran, maka problem yang timbul adalah dalam penentuan tolok ukur kebenaran, manakah yang harus didahulukan; al-Quran sebagai penyaring hadis, ataukan hadis sebagai penafsir al-Quran? Untuk itu, Ahlul Bayt Nabi as sebagai al-Quran yang berbicara (al-Quran an-Nathiq) sesuai hadis ats-Tsaqalain yang diriwayatkan oleh Sunni maupun Syiah, tidak akan dapat dipisahkan dari al-Quran yang diam (al-Quran as-Shamith) telah mengajarkan kepada para pengikutnya tentang metode penafsiran al-Quran dengan al-Quran.[2]

Salah satu penafsir al-Qur’an dari kalangan pengikut Ahlul Bayt yang menerapkan metode itu adalah Allamah Sayid Muhammad Husein al-Hasani at-Thaba’thab’i at-Tabrizi. Kitab beliau yang terkenal adalah al-Mizan fii Tafsir al-Qur’an. Selain sebagai seorang pakar tafsir, beliau juga seorang pakar fikih, filsafat dan mistik Islam kontemporer yang telah mencetak generasi-generasi unggul seperti: Ayatullah Syahid Murtadha Muthahhari, Ayatullah Hasan Zadeh Amuli, Ayatullah Jawadi Amuli, Ayatullah Misbah Yazdi, Ayatullah Makarim Syirazi, Ayatullah Jakfar Subhani dan masih banyak lagi pribadi-pribadi lain yang tercatat pernah berguru kepada beliau.

Pada kesempatan ini, kita akan menelaah secara ringkas penafsiran beliau berkaitan dengan ayat al-Qur’an yang telah dipakai oleh sebagian kaum muslimin pendukung konsep pluralisme agama.

Penafsiran Allamah tentang Ayat Pluralisme

Bagi kaum muslimin pendukung pemikiran pluralisme agama, mereka menyangka bahwa ayat 62 dari surat al-Baqarah merupakan dalil teks agama yang sangat renyah untuk dikonsumsi sebagai penguat argument mereka. Dengan menafsirkannya sesuai dengan teori mereka, lantas mereka beranggapan dan ingin menetapkan bahwa pluralisme agama telah disetujui oleh Allah swt. Dalam ayat yang berbunyi; “Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabi’in, siapa saja yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati ”[3], mereka menyimpulkan bahwa dalam ayat ini Allah swt telah memberikan dua syarat agar manusia dapat meraih keselamatan abadi kelak di akhirat; iman kepada Allah juga hari akhir dan amal saleh. Terserah apapun agamanya, selama mereka memenuhi kedua syarat tersebut niscaya mereka akan mendapat keselamatan dan kebahagiaan abadi di akhirat kelak. Jadi, setiap agama dapat menghantarkan pengikutnya yang beriman dan beramal saleh pada keselamatan abadi di akhirat kelak.

Berkaitan dengan syarat pertama yaitu keimanan, Allamah menjelaskan tentang pengulangan kata “beriman” dalam ayat tersebut. Pengulangan ini membuktikan bahwa; kata iman pada kata kedua yaitu “man aamana” (barangsiapa yang beriman) menunjukkan pensifatan iman dengan arti yang sebenar-benarnya, “iman sejati”. Berbeda dengan kata iman pertama pada kata “innalladzina aamanuu” (sesungguhnya orang-orang yang beriman) yang menunjukkan arti iman secara zahir saja, iman yang belum teruji[4]. Dalam banyak ayat al-Quran, kata iman sering disandingkan dengan dengan kata amal saleh[5]. Seakan-akan al-Quran ingin menjelaskan bahwa iman yang merupakan pekerjaan hati tidak akan bisa dipisahkan dengan ketaatan yang terjelma dalam amal saleh sebagai perwujudan zahir keimanan. Iman tanpa pengamalan zahir (baca: ketakwaan) tiada akan memberi kesan apapun, juga sebaliknya, amal tanpa iman tidak akan memberi kesan apapun dalam keselamatan abadi. Atas dasar inilah, maka dalam surat al-Baqarah ayat 62 tersebut dinyatakan bahwa syarat keselamatan adalah iman dan amal saleh. Apakah yang menjadi hakikat dan obyek iman dan amal saleh tersebut akan sedikit kita singgung dalam tulisan singkat ini.

Iman yang belum teruji tadi (iman zahir) mirip dengan yang disinyalir dalam sebuah ayat dari surat al-Hujurat. Allah berfirman: “Orang-orang Arab badui itu berkata; “Kami telah beriman”, Katakanlah (kepada mereka): “Kamu belum beriman, tetapi katakanlah “Kami telah tunduk” karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu, dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tiada akan mengurangi sedikitpun (pahala) amalmu…Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar”[6].

Rasul yang dimaksud disini adalah rasul utusan Allah yang terakhir karena pasca pengutusan Muhammad saww tidak ada lagi rasul yang diutus. Agama Muhammad adalah agama terakhir, syariatnya adalah syariat terakhir dan kitabnya adalah kitab terakhir. Semua itu bersifat mendunia[7], karena itu ajarannya berlaku hingga hari akhir zaman kelak. Umat Muhammad mencakup semua manusia pasca pengutusan beliau. Jadi, ketika Muhammad berdakwah kepada umat agama lain maka tidak ada alasan umat tersebut menyatakan bahwa “Aku bukan umat-mu, wahai Muhammad” atau “Engkau telah merebut umat nabi lain, wahai Muhammad”. Maka orang yang beriman dan beramal saleh harus mengikuti segala perintah Allah swt dan selanjutnya mengikuti Muhammad saww dengan semua ajarannya sebagai wujud zahir dari keimanan kepada Allah dan Rasul yang hubungan keduanya bersifat vertikal. Dalam al-Quran terdapat beberapa ayat yang menyejajarkan secara vertikal ketakwaan kepada Allah dan ketaatan kepada Rasul. Allah swt berfirman agar Rasul menyatakan: “Bertakwalah kepada Allah dan taatilah aku”[8]. Atau dalam ayat lain Allah berfirman: “Katakanlah: “Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kalian”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”[9].

Dalam surat lain Allah swt berfirman: “Di antara manusia ada yang mengatakan: “Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian”, padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman”[10]. Dalam ayat ini, Allah swt menyebutkan kata “Di antara manusia”, bukan menggunakan kata “di antara kaum muslimin”, atau “di antara pengikut Muhammad “ atau bahkan “di antara kaum mukmin”. Hal ini meniscayakan bahwa nama orang beriman, orang Yahudi, orang Nasrani atau orang Shabi’in hanyalah gelar zahir yang tidak ada faedahnya di mata Allah. Allah swt tiada akan melihat gelar dan sebutan zahir saja. Hanya iman sejati kepada Allah dan hari akhir (kiamat) plus amal saleh saja yang menjadi tolok ukur sejati di mata Allah dalam memberi keselamatan abadi di alam sana. Atas dasar ini, dalam ayat tersebut Allah swt tidak menggunakan kata “man aamana minhum” (barangsiapa yang beriman dari mereka). Tentu dari sini jelas di mana letak perbedaan antara penggunaan kalimat “barangsiapa yang beriman…” dan kalimat “barangsiapa yang beriman dari mereka”. Dan seandainya Allah swt menggunakan kalimat “barangsiapa yang beriman dari mereka…” sebagai alternatif kedua (dengan menambahkan kata “dari mereka”) , maka hal ini akan memberi konsekuensi sesuai dengan tata bahasa Arab bahwa kata ganti “mereka” tersebut akan kembali kepada sesuatu yang terdekat (al-maushul al-lazim) dari hubungan (shilah) tadi, yaitu kelompok agama-agama. Hal ini dilakukan untuk menjaga urutan (nadzm) yang jelas, sesuai dengan tata bahasa yang tepat[11]. Namun, pada kenyataannya, ternyata Allah swt tidak menggunakan alternatif kedua tersebut. Sayangnya, dalam terjemahan al-Quran berbahasa Indonesia versi DEPAG terdapat kesalahan yang berakibat fatal. Di situ terdapat kata “di antara mereka”, padahal dalam teks asli Arab-nya tidak terdapat kata “minhum”. Kalau kita mau berprasangka baik (husnudzan) terhadap penerjemahan versi bahasa Indonesia tersebut, maka bisa kita katakan; mungkin mereka ingin menjaga tata bahasa Indonesia yang baik, tetapi di sisi lain penerjemahan semacam itu mengakibatkan tidak terjaganya amanat dari bahasa aslinya (Arab) yang tentunya juga bertentangan dengan amanat Ilahi.

Allamah menambahkan terdapat banyak ayat dalam al-Qur’an yang semuanya membuktikan bahwa tolok ukur sejati bagi kemuliaan dan keselamatan sejati adalah penghambaan murni (al-ubudiyah). Penamaan zahir dari kelompok manusia tidak akan bermanfaat sama sekali di mata Allah. Dan tidak ada gelar kesempurnaan apapun bagi suatu obyek yang dapat memberikan kesempurnaan dan keselamatan sejati melainkan penghambaan murni tadi[12]. Dalam tolok ukur penghambaan murni ini, bukan hanya tidak ada beda antara nama dan gelar zahir seperti Islam, Yahudi, Nasrani, Shabiin, Zoroaster, Konfusius dsb, bahkan antara pribadi yang bergelar nabi dan manusia biasa seperti kita pun tidak ada bedanya. Sebagai bukti dari pernyataan ini, silahkan lihat ayat lain dari surat al-‘An’am. Alah swt berfirman: “Itulah petunjuk Allah, yang dengannya Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya diantara hamba-hamba-Nya. Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan”[13]. Juga salah satu ayat dari surat al-Fath, di situ Allah swt berfirman tentang para sahabat Nabi dan orang-orang yang beriman bersamanya dengan ungkapan: “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir tetapi berkasih sayang sesama mereka; kamu lihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridhoan-Nya. Tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya, maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya. Tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar”[14], padahal betapa besar kedudukan dan kemuliaan mereka (para sahabat Nabi), tetapi tetap saja mereka memerlukan ampunan dari apa yang telah mereka perbuat. Ampunan dan pahala besar itu hanya didapat dengan mengimani dan mengamalkan ajaran yang dibawa Muhammad saww. sedang dalam surat al-A’raf, Allah menjelaskan kepada pribadi-pribadi yang diberikan ayat-ayat Allah dengan ungkapan: “Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)-nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing yang jika…”[15]. Semua ayat-ayat tadi sebagai contoh bahwa tolok ukur sejati kesempurnaan, kemuliaan dan keselamatan abadi adalah sesuatu yang bersifat hakiki, bukan kesan zahir saja.

Inilah maksud dan tujuan Allah ketika memberikan petunjuk kepada hamba-hamba-Nya melalui surat al-Baqarah ayat 62 itu. Allah ingin menjelaskan bahwa jangan sampai kita terlena dengan gelar dan penamaan zahir belaka sehingga menghukumi hakikat seseorang hanya dengan gelar itu saja. Namun Allah swt menghendaki yang lebih riil dari itu yaitu menilai seseorang dengan hakikat penghambaan (iman) sejati kepada Allah swt dan iman itu memberikan konsekuensi logis dan riil berupa amal saleh agar hamba tersebut mendapat kemuliaan, kesempurnaan dan keselamatan abadi di akhirat kelak. Penghambaan sejati kepada Allah swt harus didahului dengan iman sejati kepada-Nya dan iman sejati kepada-Nya harus didahului dengan mengenal dan mengesakan-Nya (tauhid). Mengesakan-Nya dalam banyak hal termasuk dalam penghambaan dengan arti yang luas. Salah satunya adalah metaati perintah Allah swt untuk menerima ajaran Muhammad saww sebagai nabi terakhir yang diutus bagi semesta alam. Jadi penghambaan inilah yang menjadi landasan utama iman sejati kepada hari akhir dan amal saleh yang merupakan sarana untuk menuju keselamatan hari akhir.

Yang jadi pertanyaan sekarang adalah; Apakah benar agama-agama non Islam yang telah disebut tadi telah memenuhi standart ajaran Tauhid yang dikehendaki oleh Allah? Berkenaan dengan agama samawi yang bernama Yahudi dan Nasrani, argumen ayat-ayat al-Quran sudah sangat jelas menghukumi mereka[16], khususnya pasca pemgutusan Muhammad saww sebagai rasulullah. Alhasil, jika konsep pen-tauhid-an Allah yang mendasari amal saleh dan iman kepada hari akhir drai kedua agama tersebut masih perlu dipertanyakan, bagaimana mungkin mereka akan mendapat keselamatan sejati di akhirat kelak? Bagaimana mungkin amal mereka dapat disifati dengan saleh sedang syarat kesalehan yaitu hakikat ubudiyah kepada Allah belum terpenuhi? Bagaimana mungkin mereka akan dapat mengimani hari akhir, sedang iman sejati kepada Allah swt dengan berbagai konsekuensinya masih mendapat tanda tanya besar? Dan bagaimana mungkin mereka akan mendapat keselamatan sejati dan abadi di akhirat, sedang semua persyaratannya yaitu iman kepada Allah dan hari akhir, plus sarana penghubung keduanya berupa amal saleh yang sesuai dengan ajaran yang diperintahkan Allah untuk diikuti yaitu ajaran Muhammad saww masih sangat diragukan?

Dan perlu ditekankan kembali bahwa penghambaan kepada Allah secara utuh berarti berserah diri secara mutlak kepada Allah swt, termasuk ketaatan penuh terhadap perintah Allah swt untuk mengikuti Muhammad saww dan semua ajarannya. Akhirnya dengan tegas dapat dikatakan bahwa agama selain Islam sekarang ini pasca pengutusan Muhammad saww mereka bukan hanya tidak memiliki tolok ukur hakiki ubudiyah (penghambaan) yang jelas bahkan hal yang zahir dari mereka (amal saleh) juga tidak terlalu jelas. Karena kesalehan sebuah amal bukan hanya ditilik dari kesan positif lingkungan sekitarnya saja, tetapi hartus ditilik juga dari sisi niat pelaku dalam melaksanakan penghambaan tersebut. Dari sini akhirnya dapat diambil kesimpulan bahwa berdalil dengan ayat ini untuk menguatkan konsep Pluralisme Agama yang berarti setiap agama mampu menghantarkan pengikutnya kepada keselamatan abadi dan sejati sangatlah tidak tepat, bahkan bisa dikatakan sebagai argumen yang terlalu diada-adakan dan cenderung melakukan pemaksaan terhadap teks. Pemaksaan semacam ini akan mengakibatkan seseorang terjerumus pada jurang penafsiran sesuai pendapat pribadi (tafsir bir ra’yi) yang jelas-jelas dilarang (baca: haram) dalam ajaran agama Islam.

Berkaitan dengan kesengsaraan hari akhir berupa azab neraka, Allah swt telah menjelaskan tujuan penciptaan kesengsaraan tersebut dengan firman-Nya: “Waspadalah dari neraka yang diciptakan buat orang-orang kafir”[17]. Jadi jelaslah bahwa kesengsaraan akhirat diperuntukkan bagi kaum kafir. Lantas siapakah gerangan manusia yang tergolong orang kafir? Ada beberapa pengertian tentang kekafiran, namun secara umum kekafiran adalah lawan dari keimanan. Atas dasar itulah Allah swt berfirman: “Dan katakanlah: Kebenaran itu datangnya dari Tuhan-mu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaknya ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir”[18]. Pengertian kekafiran ini dapat diterapkan pada ayat pengingkaran kaum Yahudi dan Nasrani atas Muhammad dan ajarannya[19], atau ayat yang berbunyi: “Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: Sesungguhnya Allah itu ialah al-Masih putera Maryam…”[20]. Dan banyak ayat lain dalam al-Quran yang menjelaskan bahwa Allah telah mencela orang-orang Yahudi dan Nasrani dan menghinakan mereka[21] akibat kekafiran mereka. Singkat kata, Allah berlepas tangan dari segala prilaku (syirik dan keburukan lain) mereka dan Ia telah memerintahkan hamba-hamba-Nya yang taat untuk melakukan seperti yang Ia lakukan dan beretika dengan etika Tuhan. Jika kita disuruh bertakwa kepada Allah, berarti secara otomatis kita pun disuruh berlepas tangan dari makhluk-makhluk yang Allah sendiri telah berlepas tangan dari mereka. Itu semua adalah kensekuensi logis dan riil dari ketaatan (ubudiyah) kepada Allah. Adapun untuk mengetahui penjelasan tentang siapakah orang yang taat, bertakwa dan beramal saleh itu, maka silahkan menelaah kembali khutbah imam para manusia bertakwa (Ali bin Abi Thalib as) dalam kitab Nahjul Balaghah pada “khutbah al-Muttaqiin” (Hammam).

Adapun masalah yang berkaitan dengan ayat 199 dari surat Ali Imran: “Dan di antara Ahli Kitab ada orang yang beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kamu dan yang diturunkan kepada mereka sedang mereka berendah hati kepada Allah dan mereka tidak menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit. Mereka memperoleh pahala di sisi Tuhannya. Sesungguhnya Allah amat cepat perhitungan-Nya”. Allamah Thaba’thaba’i menjelaskan bahwa, ayat ini berkaitan dengan para ahli kitab yang bersekutu dengan kaum mukmin dalam meggapai suatu kebaikan. Sedang hikmah di balik ayat tersebut adalah untuk menunjukkan bahwa kebahagiaan dan keselamatan abadi tidaklah memiliki jenis tertentu sehingga menghalangi para pengikut ahli kitab dalam keikutsertaan menggapainya. Jelas, jika para ahli kitab tersebut adalah orang yang benar-benar beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, maka kedudukannya sama dengan kaum mukmin dari golongan pengikut Islam. Tentu sekelompok ahlul kitab yang dipuji dalam ayat ini berbeda dengan mereka yang dicela oleh Allah dalam ayat-ayat lain, yang telah memisahkan antara rasul-rasul Allah dan menyembunyikan janji-janji Allah dengan menjual ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit[22]. Allamah menambahkan dengan menukil pendapat sebagian ulama Ahlusunah serta menyanggahnya bahwa contoh konkrit dari ayat ini adalah raja Najasyi beserta para pengikutnya, pasca kematian Najasyi. Kembali Allamah memberikan sedikit catatan dan berkata; “Hubungan kisah Najasyi dan ayat itu bukan karena penyebab penurunan (asbabun-nuzul) ayat. Namun hubungannya hanya sekedar permisalan (contoh konkrit) saja”[23].

Kita telah sering mendengar kisah tentang penerimaan raja Najasyi akan kebenaran Islam dan apa penyebab kematiannya? Di tangan siapa dia mengimani Islam dan pembawanya (Rasulullah)? Apa pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkannya kepada para juru dakwah Islam utusan Rasulullah? Najasyi termasuk dalam golongan orang Nasrani yang berhati bersih. Kebersihan hatinya itu ditambah dengan argumen sempurna yang dibawa oleh para juru dakwah utusan Nabi yang diketuai oleh Jakfar bin Abi Thalib (saudara kandung Imam Ali as) tentang kebenaran kenabian Muhammad saww telahmembuatnya menerima ajaran Islam. Jadi, ayat itu tidak ter-nasakh (terhapus hukumnya), karena boleh jadi ada Najasyi-Najasyi lain—Nasrani yang berhati bersih—di zaman sekarang ini, namun karenan mereka belum kedatangan juru dakwah Islam pembawa argumen sempurna (hujjah tammah) tentang kebenaran Islam dengan cara yang baik dan benar yang dibawakan oleh Jakfar bin Abi Thalib zaman ini maka mereka masih tetap mengikuti agama Nasrani, begitu juga dengan pengikut agama Yahudi yang juga tergolong Ahlul Kitab. Para ahli kitab semacam inilah yang akan ditolerir oleh Allah swt sebagaimana yang tercantum dalam ayat di atas tadi. Ini semua membuktikan bahwa betapa kasih dan sayangnya Allah swt atas setiap hamba-Nya, khususnya yang belum mendapat petunjuk melalui argumen sempurna. Dan berdasarkan konsep keadilan Ilahi, Allah swt mustahil akan mengazab (baca: menyengsarakan) seseorang yang belum mendapatkan argumen sempurna (hujjah taammah) tentang kebenaran Islam.

Sebagian lagi dari kaum muslimin pendukung pluralisme agama, ketika menetapkan kebenaran pluralisme agama melalui teks al-Quran, mereka berdalil dengan ayat yang tercantum dalam surat al-Hujurat yang berbunyi: “Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kalian…”[24]. Mereka berargumen dengan ayat ini dengan menyatakan bahwa ayat-ayat sebelum ayat ini selalu menjadikan orang mukmin sebagai obyek seruannya (khitab). Namun, pada ayat ini, Allah menggunakan seruan “wahai manusia” yang mencakup semua pengikut agama. Jadi, kata “kalian” dalam ayat ini adalah segenap manusia, termasuk masalah ketakwaan yang menjadi tolok ukur kemuliaan di sisi Allah. Maka, dari agama apapun seseorang, jika ia bertakwa, niscaya ia akan lebih mulia di sisi Allah dari pengiku agama lainnya.

Dalam masalah ini, Allamah Thaba’thaba’i menjelaskan, karena pengenalan itu sering dibarengi dengan berbagai jenis kebodohan yang mengakibatkan timbulnya kesombongan dan fanatisme, akhirnya Allah menekankan pentingnya ketakwaan dan menjadikannya sebagai tolok ukur kemuliaan. Hal itu karena asal muasal manusia adalah dari sumber yang satu, Adam dan Hawa. Mereka semua terlahir sama. Atas dasar itulah Allamah Thaba'tba'i dalam tafsirnya Mizan menjelaskan bahwa kata “Sesungguhnya yang paling takwa...dst” berkaitan dengan isti'naf mubayyin atas kemuliaan manusia di mata Allah (isti'naf mubayyin adalah awal kalimat dari kalimat baru yang independen dan berfungsi sebagai penjelas).[25]

Mungkin muncul pertanyaan, apakah setiap ayat yang obyek seruannya adalah segenap manusia meniscayakan bahwa hukum itu telah dilaksanakan oleh setiap manusia? Artinya, memang dalam ayat itu Allah telah menjelaskan kepada setiap manusia tentang pentingnya takwa di sisi-Nya, namun tentang siapakah orang yang benar-benar bertakwa tidak dijelaskan sama sekali dalam ayat ini. Dan pembahasan ini masuk dalam pokok bahasan lain yang dijelaskan dalam ayat-ayat lain pula. Di sinilah diperlukan penjelasan satu ayat dengan ayat yang lainnya. Maka dari ayat tadi, muncul dua pokok bahasan baru di sini; Apakah difinisi ketakwaan? Dan, siapakah orang yang bertakwa? Maka dibutuhkan pembahasan tersendiri tentang hakikat takwa dalam pandangan al-Quran.

Secara global, takwa dalam bahasa al-Quran berarti menjaga/penjagaan. Kita bisa menerapkan arti itu pada kalimat takwa di dalam al-Quran. Terkadang obyek ketakwaan (penjagaan) adalah Allah, kadang juga selain Allah, seperti kiamat dan api neraka, dsb. Dalam ayat disebutkan “Jagalah (diri) dari api yang bahan bakarnya dari manusia dan batu” [wattaquu an-naarallatii waquudhannasu wal hijarah][26]. Tapi bagaimanapun juga, sumber utama dan tujuan akhir ketakwaan adalah Allah. Jadi penjagaan berasal dan berakhir kepada Allah. Karena ketakwaan semacam itu harus dilakukan oleh setiap manusia sebagai konsekuensi sebagai seorang hamba di hadapan Tuhannya, maka dari situ terjawab sudah rahasia di balik penggunaan seruan manusia secara umum dalam ayat tadi. Ayat tadi sama persis dengan ayat-ayat lain seperti ayat yang berbunyi: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri (jiwa) yang satu…”[27]. Atau ayat dari surat al-Baqarah: “Hai manusia, sembahlah Tuhan-mu Yang telah menciptakanmu dan orang-orang sebelummu, agar kamu bertakwa”[28]. Namun sayang, banyak hamba-Nya yang lalai akan hal tersebut. Mereka lupa bahwa dirinya adalah makhluk Allah yang memiliki konsekuensi semacam itu. Dengan kata yang lebih ringkas, takwa berarti menjaga perasaan Allah dengan usaha optimal untuk menjauhi segala larangan dan melakukan segala perintah-Nya, sebagai konsekuensi bagi seorang hamba yang tunduk di hadapan Sang Pencipta.

Jadi, walau obyek seruannya adalah manusia secara umum, namun karena pelaku ketakwaan memberikan konsekuensi pengkhususan, maka pernyataan “Sesungguhnya yang mulia dari kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa” hanya dikhususkan bagi orang-orang kelompok tertentu dari manusia tadi. Berdasarkan penjabaran ayat-ayat lain, maka dapat diketahui bahwa kelompok tertentu tadi adalah orang yang optimal melaksanakan perintah Allah termasuk perintah mengikuti Muhammad saww beserta ajarannya dan menjauhi berbagai larangannya termasuk berlepas tangan dari segala perbuatan kaum Yahudi dan Nasrani yang telah tertera dalam al-Quran. Jika diperhatikan, sebab-sebab turunnya (asbabun nuzul) ayat di atas (al-Hujurat:13) berkenaan dengan seorang muslim dan tidak ada kaitannya dengan penganut agama lain. Jadi obyek riil ketakwaan khususnya pasca pengutusan Muhammad tidak tertuju pada setiap agama yang dianut manusia, namun hanya pada ajaran yang dibawa oleh Muhammad saww. Singkat kata, memang obyek seruan dalam surat al-Hujurat ayat 13 itu tadi bersifat umum (yaitu para manusia) dan berbeda dengan ayat lainya dalam surat tersebut namun bukan berarti penerapan ekstensi riil (mishdaq) konsep ketakwaan pun bersifat umum dan lintas agama, apalagi lintas umat manusia yang mencakup kaum Ateis sekali pun.

Ada satu poin lain yang harus ditekankan pada pembahasan ini (pluralisme agama), bahwa sewaktu Islam dan kaum muslimin tidak mengakui kebenaran konsep pluralisme agama yang berarti kebenaran semua agama atau tidak membenarkan keyakinan bahwa semua agama mampu menghantarkan umatnya untuk mendapat keselamatan abadi dan sejati, bukan berarti kita menyatakan perang dan tidak dapat hidup berdampingan dengan non-muslim manapun. Ataupun dengan seenaknya kita bisa langsung menuduh setiap non-muslim yang berada di sekitar kaum muslimin sebagai penghuni neraka. Karena tidak semua orang yang belum menerima kebenaran agama Islam disebabkan penentangan (I’naad) mereka. Boleh jadi disebabkan mereka belum mendapat argumen sempurna (hujjah taammah) yang mampu membawanya ke arah Islam. Di sisi lain, dilihat dari sejarah Rasul sebagai suri tauladan kaum muslimin telah terbukti bahwa walaupun Rasul tidak mengakui kebenaran agama Yahudi dan Nasrani, namun beliau dapat hidup berdampingan dengan mereka di Negara Madinah dan tetap berusaha menyampaikan kebenaran Islam kepada mereka. Beliau tetap melaksanakan tugasnya sebagai sebagai pembawa dan penyampai amanat Ilahi. Atas dasar inilah Rasul diperintahkan tetap mengajak kaum Yahudi dan Nasrani untuk menyembah Allah, Tuhan Yang Maha Esa, Yang tiada memiliki sekutu apapun. Allah swt berfirman: “Katakanlah: Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah…”[29]. Ajakan ini memberikan pengertian bahwa betapa ajaran kaum Yahudi dan Nasrani telah terpolusi dengan ‘kekafiran’. Dan salah satu konsekuensi dari mengesakan Tuhan dalam arti yang sesungguhnya berarti mengikuti semua perintah-Nya, termasuk perintah untuk mengikuti Muhammad sebagaimana yang tertera dalam banyak ayat al-Quran seperti yang telah dilakukan raja Najasyi penguasa Nasrani dari Habasyah (Etiopia) dan seruan Rasul melalui surat yang dilayangkannya kepada para penguasa non-muslim lainnya.

Penutup

Islam tidak menolak semua bentuk pluralisme agama. Pluralisme agama yang berarti membenarkan semua agama atau menyatakan bahwa semua agama mampu menghantarkan umatnya untuk mendapat keselamatan abadi di akhirat, selain tidak sesuai dengan akal sehat manusia juga bertentangan dengan argumentasi teks agama Islam khususnya al-Quran. Namun ada pengertian lain dari pluralisme agama yang pernah diajarkan dan dipraktekkan oleh Rasul saww, pluralisme agama yang berarti “hidup bersosial kemasyarakatan secara baik, rukun dan damai dengan penganut agama lain” bukan pluralisme agama dalam arti membenarkan semua agama, atau menyatakan bahwa semua agama mampu menghantarkan manusia pada kemuliaan dan keselamatan sejati dan abadi yang merupakan konsekuensi dari pembenaran esensi setiap agama. Dan tentu saja semua yang dilakukan oleh Rasul tidak akan pernah bertentangan dengan al-Quran[30] dan bahkan menjadi argumen (sunnah) bagi segenap kaum muslim di dunia.

Karena dalam tulisan ini ingin dijelaskan kebatilan pemikiran Pluralisme Agama melalui jalur teks agama (khususnya teks ayat-ayat al-Quran), maka cukuplah ayat seperti di bawah ini yang telah diulang tiga kali dalam al-Quran[31], dengan sedikit perubahan redaksi di akhir ayat yang terdapat dalam surat al-Fath untuk membatalkan Pluralisme Agama yang membenarkan semua agama atau menyatakan bahwa semua agama mampu menghantarkan umatnya untuk mendapat keselamatan abadi di akhirat. Allah swt berfirman: “Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang hak agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. Dan cukuplah Allah sebagai saksi”.[32] Jika memang semua agama mampu menghantarkan kepada keselamatan abadi, maka tidak perlu Allah swt repot-repot untuk memenangkan agama yang hak dari semua agama batil (baca: sesat/salah) agama batil sebagai lawan dari agama hak yang juga mengklaim mampu melakukan apa yang dapat dilakukan oleh agama yang hak yaitu menyelamatkan umatnya di akhirat kelak.[]

Rujukan:
[1] QS ali Imran: 7.

[2] Untuk lebih detailnya, silahkan telaah kitab mukaddimah tafsir at-Tasnim (jilid pertama) karya Ayatullah Jawadi Amuli.

[3] QS al-Baqarah: 62.

[4] Thaba’thaba’i, Allamah Muhammad Husein, Tafsir al-Mizan jil: 1 hal: 192, Cet: Muassasah al-A’lami lil Mathbuaat, Beirut-Lebanon, thn: 1417 H / 1997 M.

[5] Lihat ayat-ayat seperti: QS al-Baqarah: 25/82/277, aali Imran: 57, al-Maidah: 69, an-Nahl:97, al-Kahfi:88, Maryam: 60, Thaha: 62, al-Furqon: 70, al-Qoshos: 67, Ghafir: 40 dan lain sebagainya.

[6] QS al-Hujurat: 14-15.

[7] Mengenai sifat mendunianya agama Islam Muhammadi dapat dilihat dalam berbagai ayat al-Quran seperti; QS as-Saba’: 28, al-Furqon: 1, at-Takwir: 27, dan lain sebagainya.

[8] Lihat: QS as-Syu’ara’ ayat: 108, 110, 126, 131, 144, 150, 163, 179.

[9] QS aali Imran: 31.

[10] QS al-Baqarah: 8.

[11] Thaba’thaba’i, Allamah M.Husein, Tafsir al-Mizan jil: 1 hal: 192.

[12] Ibid.

[13] QS al-An’am: 88.

[14] QS al-Fath: 29

[15] QS al-A’raf: 176.

[16] Lihat ayat-ayat al-Quran yang berkaitan dengan kecaman Allah terhadap para pengikut agama Yahudi dan Nasrani.

[17] QS aali Imran: 131.

[18] QS al-Kahfi: 29.

[19] Lihat: QS al-Baqarah 89-91, al-A’raf: 156-158, dan lain sebagainya.

[20] QS al-Maidah: 17.

[21] Sebagai contoh, lihat: QS al-Maidah: 15, al-Baqarah: 40-41, aali Imran: 70-71, al-Maidah: 18, at-Taubah: 30, al-Maidah: 51, al-Baqarah: 119-120, al-Baqarah: 135, al-Maidah: 64, al-Baqarah: 140, dan lain sebagainya.

[22] Thaba’thaba’i, Allamah M.Husein, Tafsir al-Mizan jil: 4 hal: 91.

[23] Ibid, Jil: 4 hal: 93.

[24] QS al-hujuraat: 13.

[25] Thaba’thaba’i, Allamah M.Husein, Tafsir al-Mizan jil: 18 hal: 330-331.

[26] QS al-Baqarah: 24.

[27] QS an-Nisaa’: 1.

[28] QS al-Baqarah: 21.

[29] QS aali Imran: 64.

[30] Hal ini sesuai dengan apa yang tercantum dalam surat an-Najm ayat: 3-4.

[31] Lihat: QS at-Taubah: 33, al-Fath: 28, dan as-Shaf: 9.

[32] QS al-Fath: 28.