TAFSIR: IBADAH SEBAGAI FITRAH

KH Jalaluddin Rahmat

Dalam Surat Al-Baqarah, ayat 21-22, Allah swt berfirman: Wahai manusia, beribadahlah kamu kepada Tuhanmu yang menciptakan kamu dan orang-orang sebelum kamu supaya kamu bertakwa. Dialah yang menjadikan bagi kamu bumi ini sebagai hamparan dan langit sebagai bangunan. Dan ia turunkan dari langit air dan ia keluarkan dari air itu buah-buahan yang merupakan rizki bagi kamu. Maka janganlah kamu menjadikan bagi Allah tandingan-tandingan-Nya. Padahal kamu mengetahuinya.

Kata Y­â ayyuhan nâs atau ‘Wahai manusia’ dijadikan awal dari ayat ini. Allah swt menggunakan kata ini untuk menyebut sebuah prinsip atau nilai yang berlaku umum, bukan untuk orang Islam saja. Ketika Allah berkata Yâ ayyuhan nâs, Allah menegaskan nilai-nilai yang bersifat universal, yang berlaku pada bangsa apa pun, di mana pun, dan di zaman apa pun bangsa itu berada.

Sebaliknya ketika Allah mengucapkan Yâ ayyuhalladzîna âmanu, Wahai orang-orang yang beriman, Allah menegaskan ajaran yang dimaksudkan untuk orang-orang yang beriman saja, khususnya untuk orang-orang Islam. Contohnya adalah ayat yang berbunyi: Yâ ayyuhalladzîna âmanu kutiba ‘alaikumush shiyâm. Hai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kamu berpuasa (QS. Al-Baqarah 183). Perintah puasa tidak berlaku universal. Perintah itu hanya ditujukan untuk orang-orang yang beriman saja.

Jika kita perhatikan ayat-ayat Al-Quran yang mengandung kata Yâ ayyuhan nâs, kita akan temukan bahwa dalam ayat-ayat itu Allah mengajarkan nilai-nilai yang dipandang baik oleh seluruh umat manusia. Misalnya ayat yang berbunyi: Yâ ayyuhan nâs innâ khlaqnâkum min dzakari wa untsa wa ja’alnâkum syu’ûba wa qabâila lita’ârafu. Wahai manusia, sesungguh-nya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal (QS. Al-Hujurat 13). Allah mengajarkan bahwa antara manusia di dunia ini harus ada kerja sama, saling mengenal, dan saling memahami, bukan saling berperang. Ajaran ini diberikan Allah untuk semua manusia. Nilai-nilai ini ada pada fitrah seluruh umat manusia. Walaupun mereka belum mengenal Islam, dalam diri mereka ada keinginan untuk bekerja sama dengan seluruh umat manusia di jagat ini.

Ajaran-ajaran universal yang masuk ke dalam fitrah manusia tersebut dalam Al-Quran dinyatakan dalam ayat Fa alhamahâ fujûrahâ wa taqwâhâ. Allah telah ilhamkan kepada semua manusia nilai-nilai keburukan dan nilai-nilai kebaikan (QS. Al-Syams 8). Dalam perkembangan zaman, seringkali fitrah itu terlupakan. Diganti oleh fikiran-fikiran manusia. Terjadilah peperangan demi peperangan, bukan lagi saling mengenal. Terjadi permusuhan, bukan lagi saling membantu dan mencintai. Begitu banyaknya peperangan, sampai para psikolog beranggapan bahwa bakat manusia itu adalah perang. Sigmund Freud, misalnya, mengatakan bahwa agresivitas itu adalah watak dasar manusia. Padahal menurut Al-Quran, watak manusia itu saling mencintai dan bekerja sama.

Jika kita perhatikan apa yang terjadi di dunia ini, ternyata kita temukan perdamaian jumlahnya lebih banyak daripada peperang­an. sekarang disebut sebagai negeri kerusuhan terbesar di dunia. Padahal bila kita hitung jumlah hari-hari damai dibanding jumlah hari-hari rusuh, hari yang damai jauh lebih banyak dibanding hari yang rusuh. Memang betul ada orang yang berbuat kejam kepada orang yang lain tapi lebih banyak lagi orang yang mencintai sesamanya, yang bekerja keras untuk membantu sesama. Memang ada suami yang menganiaya istrinya, tapi lebih banyak lagi suami yang menyayangi istrinya.

Menurut Al-Quran, fitrah manusia yang sebenarnya adalah saling mencintai. Itulah nilai yang universal. Dan untuk menegaskan nilai universal itu, Al-Quran memulai ayat 13 surat Al-Hujurat itu dengan kata Yâ ayyuhan nâs, wahai manusia.

Ayat 21 dari surat Al-Baqarah pun dimulai dengan kata Yâ ayyuhan nâs. Ayat ini berbunyi: Hai manusia, beribadatlah kamu kepada Tuhanmu yang menciptakan kamu. Perintah ibadah mengandung nilai yang universal. Artinya ajaran ini terdapat dalam bangsa apa pun, di mana pun, dan kapan pun bangsa itu berada. Keinginan untuk beribadah adalah fitrah manusia. Dalam perkembangannya, manusia berusaha untuk melupakan fitrah itu.

Namun akhir-akhir ini orang lalu kembali lagi kepada fitrahnya. Mereka ternyata membutuh­kan kehadiran Tuhan di dalam kehidupan mereka. Tidak ada salah seorang ahli antropologi pun yang mengatakan bahwa ada satu bangsa yang tidak bertuhan. Semua bangsa mempunyai Tuhan dan mereka mempunyai tata cara untuk mengabdi kepada Tuhannya. Beribadat kepada Tuhan adalah kebutuhan ruhaniah kita.

Dr. Alexis Carrell, pemenang hadiah Nobel untuk bidang Biologi, mengatakan bahwa salah satu bencana manusia modern adalah hilang­nya peluang untuk beribadah. Tidak ada waktu untuk berdoa kepada Tuhannya. Oleh karena itu, jiwa manusia modern itu sakit karena mereka meninggalkan fitrah kemanusiaannya.

Tuhan sering memanggil kita kepada fitrah, seperti disebutkan dalam surat Al-Baqarah ayat 21 di atas. Para ahli Tafsir mengatakan dalam ayat ini Allah memanggil kita untuk beribadah kepada-Nya, bukan karena Allah memerlukan ibadah kita dan bukan karena pamor Allah ingin didongkrak dengan ibadah kita. Allah menyuruh kita beribadah untuk membentuk kepribadian kita. Supaya kita semua bertakwa.

Menurut Syeikh Makarim Al-Syirazi, ibadah kita tidak menambah Allah menjadi lebih besar dan lebih agung. Sebagaimana kalau kita berpaling dari ibadah, itu tidak akan mengurangi kebesaran Allah sedikit pun. Ibadah adalah sebuah madrasah untuk mengajarkan ketakwaan. Dan takwa adalah perasaan batiniah yang merupakan ukuran nilai kemanusiaan dan timbangan untuk menilai kepribadian manusia.

Takwa juga bernilai universal. Nilai-nilai takwa dipercayai oleh semua bangsa di dunia sebagai nilai-nilai yang luhur. Misalnya ciri orang takwa yang selalu disebut dalam Al-Quran adalah infak atau memberikan bantuan kepada orang miskin. Memberi bantuan kepada orang miskin dipandang sebagai nilai yang luhur oleh semua bangsa di dunia. Ibadah bertujuan untuk membina kepribadian manusia. Bila kita menjalankan ibadah dengan baik, maka ketakwaan kita akan berkembang.

Kita beribadah kepada Allah swt selayaknya tidak karena takut kepada Dia. Tidak juga karena pamrih mengharapkan pahala-pahala Dia. Kita beribadah kepada Allah karena anugerah-Nya kepada kita. Karena kenikmatan yang Allah berikan kepada kita. Dialah yang menjadikan bagi kamu bumi ini sebagai hamparan dan langit sebagai bangunan. Dan ia turunkan dari langit air dan ia keluarkan dari air itu buah-buahan yang merupakan rizki bagi kamu (QS. Al-Baqarah 22).

Besarnya anugerah Allah dapat kita lihat dari dijadikannya Bumi ini sebagai tempat tinggal kita. Kita tidak ditempatkan-Nya di Merkurius, yang temperatur di siang harinya mencapai ratusan derajat celcius dan suhu malam harinya mencapai minus ratusan derajat celcius, yang kita tidak akan kuat hidup di dalamnya.

Anugerah Allah juga terlihat dari dijadikannya langit sebagai atap yang menaungi kita. Sebagian orang yang ‘sok ilmiah’ mengata­kan bahwa keliru menyatakan langit sebagai atap itu karena sebetulnya bumi itu terletak dalam sebuah ruangan di antara matahari dan planet-planet yang tidak beratap. Orang itu salah karena beranggapan bahwa kata ‘langit’ di situ bermakna sama dengan kata ‘langit’ dalam pengertian ilmu alam. Dalam Al-Quran, kata langit bisa berarti bintang gemintang, alam semesta yang luas, atau bisa berarti juga lapisan atmosfir yang meliputi bumi. Bumi kita memang diliputi beberapa lapisan udara seperti sebuah bawang yang ditutupi lapisan-lapisan kulit. Atmosfir melindungi bumi dengan menahan cahaya matahari. Atmosfir juga mengandung banyak karbon dioksida untuk mengurangi panas sinar matahari sehingga bumi ini cukup nyaman untuk ditinggali manusia. Masih dalam ayat 22 surat Al-Baqarah, Al-Quran mengatakan: Tuhan turunkan dari langit itu air. Air hujan itu tidak datang dari planet-planet. Air itu datang beberapa kilometer di atas permukaan bumi. Hujan turun dari salah satu lapisan atmosfir. Lapisan itulah atap yang menaungi kita.

Karena anugerah Allah itulah kita harus beribadah kepada-Nya, bukan karena takut atas siksaan atau harapan akan pahala-Nya. Kita beribadah karena kita ingin berterima kasih atas pemeliharaan Allah yang tidak terhingga kepada kita.

Sebuah hadis Qudsi menyatakan bahwa setiap orang tidak melewati satu hari pun kecuali Allah memanggil dia. Tuhan memanggil manusia: Yâ ‘Abdi, wahai hambaku, Aku selalu mengingatmu tapi kamu selalu lupa mengingat­ku. Aku berkhidmat kepadamu setiap hari tapi kamu selalu menentangku. Aku panggil kamu untuk beribadat kepadaku tapi kamu mencari Tuhan selain aku.

Hadis Qudsi itu menjelaskan bahwa Allah mengingat kita dengan mengurus kita setiap hari tanpa kita sadari. Bahkan ketika kita tidak ingat kepada Dia, Tuhan tak henti-hentinya menjaga kita. Ketika kita belum bisa menyebut nama-Nya pun, Tuhan sudah merawat kita. Ketika kita masih dalam kandungan, Tuhan menempatkan kita pada satu tempat yang luar biasa nyamannya. Sehingga ilmu pengetahuan modern pun amat kesulitan untuk menciptakan suasana ruangan yang sama seperti di dalam rahim ibu. Tak pernah ada satu pun teknologi yang berhasil menciptakan suasana rahim itu.

Atas segala pemeliharaan itu, kita belum bisa bersyukur kepada Allah. Bahkan kita jarang sekali menyebut nama-Nya. Allah selalu memelihara kita. Terkadang tanpa kita minta, Allah berikan keperluan kita. Karena itu beribadahlah kepada Allah karena anugerahnya kepada kita.

Dalam ayat di atas, Tuhan tidak menyebut Yâ ayyuhan nâs u’budû ilâhakum atau Yâ ayyuhan n­âs u’budullâha, tapi Tuhan menyebut Yâ ayyuhan nâs u’budu rabbakum. Tuhan memakai kata rabb yang berarti pemelihara, perawat, atau pengurus.

Di ujung ayat 22 surat Al-Baqarah ini, Tuhan mengingatkan kita untuk tidak meng­ambil sesuatu selain Allah sebagai tandingan-Nya. Janganlah memperlakukan selain Allah sesuatu sama seperti kita memper­lakukan Allah. Dari beberapa kitab Tafsir kita mengetahui bahwa musyrik kepada Allah bukan saja menganggap ada berhala lain selain Allah. Musyrik tidak saja berarti mempercayai ada banyak Tuhan, tapi musyrik juga berarti memperlakukan selain Allah seperti kita memperlakukan Allah. Seharusnya hanya Allah yang harus kita taati, tetapi kita juga mentaati secara buta kepada hawa nafsu kita. Kita telah memperlakukan hawa nafsu sama dengan kita memperlakukan Tuhan.

Orang-orang yang kerjanya berbuat dosa adalah orang-orang yang musyrik. Karena mereka mengikuti hawa nafsunya terus menerus. Hawa nafsu telah menjadi Tuhan mereka. Banyak sekali di antara kita yang musyrik. Dan amat sedikit di antara kita yang benar-benar mukmin. Surat Yusuf ayat 106 menyatakan: Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain).

Imam Jakfar Al-Shadiq as menjelaskan apa yang dimaksud dengan musyrik. Menurut Imam, musyrik terjadi bila seseorang berkata, “Sekiranya tidak ada Si Fulan, celakalah aku.” Musyrik terjadi bila kita menjadikan seseorang sebagai someone we completely rely on, seseorang yang kita jadikan sandaran kita sepenuhnya. Menurut Ibnu Abbas, hal itulah yang dimaksud dengan musyrik yang sangat halus. Lebih halus dari seekor semut di atas batuan hitam di malam yang gelap gulita.  Karena itulah kita dianjurkan untuk meminta ampun kepada Allah atas segala kemusyrikan yang kita ketahui maupun yang tidak kita sadari.

Sumber: Jalal-center