Terkadang terdapat sebagian orang menjadikan ayat berikut ini sebagai sandaran dan sebagai dasar argumentasi atas kebenaran agama-agama lain. Mereka mengklaim bahwa menurut pandangan Al-Quran, setiap manusia yang mengikuti salah satu agama yang disebutkan pada ayat berikut ini, di hari Kiamat kelak akan menjadi orang-orang yang selamat:
“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Qs. Al-Baqarah [2]: 62)
Al-Quran, untuk menyelamatkan ketiga kelompok di atas, hanya mensyaratkan tiga hal berikut: iman kepada Allah Swt, iman kepada hari Kiamat, dan beramal saleh. Konsekuensi logisnya adalah bahwa setiap orang yang memiliki tiga persyaratan tersebut, dari aliran atau agama apa pun dia, akan menjadi orang-orang yang selamat. Apakah memangl demikian yang dimaksudkan ayat tersebut ataukah punya maksud lain?
Dalam menjawab pertanyaan di atas ada beberapa perspektif yang harus diperhatikan:
1. Perspektif ihwal umat Yahudi sebagai umat pilihan
Kaum Yahudi dunia dan juga umat Kristiani yang hidup pada masa Nabi Saw memiliki keyakinan bahwa mereka mempunyai kelebihan-kelebihan khusus dan dari sini mereka menganggap diri mereka itu lebih baik dari yang lain; misalnya, seluruh penghuni dunia mendengar pernyataan ini dari orang-orang Yahudi bahwa kaum Yahudi menganggap diri mereka itu sebagai umat pilihan.
Dan Al-Quran, dalam salah satu ayat-ayatnya, menginformasikan bahwa selain umat Yahudi, umat Masehi juga memiliki keyakinan seperti ini;
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani mengatakan: “Kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya”. Katakanlah: “Maka mengapa Allah menyiksa kamu karena dosa-dosamu?”. Tetapi kamu adalah manusia(biasa) diantara orang-orang yang diciptakan-Nya….” (Qs. Al-Maidah [5]:18)
Sebagaimana yang diperhatikan, Allah Swt, untuk memotong dan mematahkan logika mereka, berfirman: “Katakanlah: maka mengapa Allah Swt menyiksa kamu karena dosa-dosamu?. Tetapi kamu adalah manusia (biasa) di antara orang-orang yang diciptakan-Nya…”
Sikap congkak dan angkuh kaum Yahudi sampai pada batas, dimana seakan-akan Tuhan semesta alam telah menyepakati perkataan mereka dan telah berjanji dan mereka berkata:
“Dan mereka berkata: “Kami sekali-kali tidak akan disentuh oleh api neraka, kecuali selama beberapa hari saja.” (Qs. Al-Baqarah [2]: 80)
Al-Quran, untuk menyatakan kerapuhan stetmen tersebut, menegaskan:
” Katakanlah: “Sudahkah kamu menerima janji dari Allah sehingga Allah tidak akan memungkiri janji-Nya, ataukah kamu hanya mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?” (Qs. Al-Baqarah [2]:80)
Dari dialog ini, dapat dikatakan bahwa mereka beranggapan bahwa diri mereka lebih baik dari yang lain dan juga sebagai umat pilihan. Seakan-akan mereka ini adalah seorang anak emas yang sangat dimanja oleh Tuhan dan menganugerahi mereka kedudukan khusus serta menyayangi mereka lebih dari yang lain.
2. Redaksi-redaksi seperti Yahudi dan Masehi tidak menyiratkan salvation
Dari ayat-ayat lain dapat digunakan bahwa umat ini (Yahudi dan Masehi), selain berkenaan dengan dongeng (umat yahudi dan Masehi) sebagai umat pilihan, memiliki pandangan tersendiri tentang surga, alam kubur, petunjuk, dan kesesatan. Mereka menganggap bahwa surga dan hidayah itu adalah milik orang-orang yang silsilahnya dinisbahkan kepada Bani Israel atau agama Yahudi dan Masehi. Seakan-akan penisbahan kepada Bani Israel atau kepada salah satu dari kedua agama ini (Yahudi dan Masehi) bisa menyelamatkan dan membebaskan manusia dari azab kubur dan memasukkannya ke dalam kelompok ahli surga dan membukakan untuk mereka (manusia) pintu-pintu hidayah; meskipun amalnya sangat kecil atau sedikit. Mereka berkata:
“Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata: “Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi atau Nasrani”. Qs. Al Baqarah [2]:111)
Al-Quran, untuk meruntuhkan pemikiran keliru seperti ini, pada ayat berikutnya menyatakan dengan sangat jelas: bahwa penisbahan kepada agama Yahudi dan Nasrani, bukanlah prasyarat atau ukuran seseorang itu menjadi ahli surga, akan tetapi sesuatu yang bisa membuat manusia itu ahli surga adalah keimanan hatinya, kepasrahan batinnya dan amal salehnya dan seseorang hanya bisa menganggap dirinya ahli surga apabila dia memiliki iman yang hakiki dan dalam perjalanan hidupnya ditempuh dengan penuh keimanan dan amal saleh:
“…demikian itu (hanya) angan-angan mereka yang kosong belaka. Katakanlah: “Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar”. ” (tidak demikian) bahkan Barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, Maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Qs. Al-Baqarah [2]:111 – 112)
Kalimat ‘man aslama’ menghikayatkan akan keniscayaan iman hakiki dan kalimat ‘wa huwa muhsin’ sebagai saksi dari keniscayaan mangamalkan ajaran agama dan syari’at dan kedua kalimat ini menyampaikan kepada kita bahwa pada hari Kiamat, ukuran keselamatan itu, bukan sekedar membawa-bawa nama Yahudi dan Nasrani, akan tetapi ukuran kebahagiaan dan keselamatan itu adalah iman dan amal saleh. Pada ayat lain, juga mengisyaratkan kepada kerapuhan pemikiran mereka (Yahudi dan Nasrani), Al-Quran menegaskan: “Dan mereka berkata: “Hendaklah kamu menjadi penganut agama Yahudi atau Nasrani, niscaya kamu mendapat petunjuk”. Katakanlah : “Tidak, melainkan (kami mengikuti) agama Ibrahim yang lurus. dan bukanlah Dia (Ibrahim) dari golongan orang musyrik”. (Qs. Al-Baqarah [2]: 135)
Allah Swt, untuk menelanjangi logika bodoh dan lemah ini, dengan segera menyatakan dan menjelaskan jalan hidayah dan ukuran kebahagiaan itu dan berfirman: Hidayah itu tidak ada pada sekedar nama Yahudi dan Nasrani, akan tetapi faktor hidayah itu ada pada mengikuti agama lurus Ibrahim As, agama yang bersih dari segala bentuk kemusyrikan:
“…Katakanlah: “Tidak, melainkan (kami mengikuti) agama Ibrahim yang lurus. dan bukanlah Dia (Ibrahim) dari golongan orang musyrik”. (Qs. Al Baqarah [2]: 135)
Pada ayat-ayat lain, untuk menjatuhkan tendensi dan kecenderungan kepada nama-nama yang tidak bermakna yaitu Yahudisme dan Masehiisme, menyatakan dan menganggap Nabi Ibrahim As bersih dan suci dari penisbahan kepada kedua nama ini dan golongan inilah (yaitu kelompok Nabi Ibrahim As) yang lebih utama, dimana dia terlepas dari ikatan kedua nama-nama di atas (Yahudi dan Masehi) dan mereka (kelompok Ibrahim) mengikuti agama Ibrahim As, yaitu agama yang didasari keimanan yang tulus dan tauhid sejati serta amal saleh:
“Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi Dia adalah seorang yang lurus lagi berserah diri (kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah Dia Termasuk golongan orang-orang musyrik”. (Qs. Ali ‘Imran [3]: 67)
Dari ayat-ayat ini dan ayat-ayat yang semisalnya dapat digunakan bahwa umat Yahudi dan Nasrani, khususnya kaum yahudi, sangat bangga dengan dua perkara berikut dan dengan dalih ini, mereka mengelak dan tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban (agama):
1. Menganggap dirinya sebagai umat pilihan;
2. Mereka (Yahudi dan Masehi) mencukupkan dan menyibukkan diri dengan nama dan symbol yahudi-isme dan Masehi-isme dalam menghadapi dan mengemban tanggungjawab keagamaan, dan kewajiban-kewajiban dari langit, padahal dasar dari itu semua adalah iman dan amal saleh (bukan symbol atau pun nama, penerj.). Al-Quran, setiap membicarakan salah satu dari opini mereka (Yahudi dan Nasrani), sangat mengkritik mereka dan menggunakan logika khasnya yaitu “seluruh umat manusia sama kedudukannya dan yang bisa menyelamatkan umat manusia hanya iman dan islam yang hakiki dan pengamalannya kepada kewajiban-kewajiban Ilahi serta melakukan perbuatan baik”.
Evaluasi atas ayat yang dipersoalkan di atas
Berdasar pada penjelasan ini, substansi dari ayat yang sedang dibahas – yang mana menjadi alasan dan dalih kelompok yang mengingkari keuniversalan ajaran Islam – akan menjadi jelas. Al-Quran pada ayat ini, dengan bersandar kepada ayat-ayat yang berisi dan membicarakan ihwal pemikiran-pemikiran kosong umat Yahudi dan Kristiani, mengkritik dan dengan satu seruan yang bersifat global dan menyeluruh, menyatakan: Seluruh umat manusia sama kedudukannya di hadapan Allah Swt dan tidak ada satu golongan pun yang lebih baik dari golongan lain dan lafaz-lafaz dan nama-nama, yang mana menjadi sebuah kebanggaan suatu kelompok dan mereka berpikir seperti ini bahwa penisbahan kepada nama-nama ini (yahudi-isme dan Masehi-isme) akan menjadi jalan menuju keselamatan dan kebahagiaan. Lafazh-lafazh ini tidak lain hanyalah tong kosong dan tidak punya apa-apa dan tidak akan mampu memberikan ketenangan, kebahagiaan dan keamanan kepada umat manusia pada hari kiamat, akan tetapi dasar yang bisa menyelamatkan, menentramkan,dan menghilangkan rasa takut dan khawatir pada hari kiamat tidak lain adalah umat manusia harus dari lubuk hatinya, beriman kepada Allah SWT dan imannya itu dibuktikan dengan amalan yang mana amalan itu adalah tanda adanya iman di dalam hati dan tanpa keduanya (iman dan amal), tidak ada satu pun pintu harapan bagi umat ini.
Oleh karna itu, ayat yang sedang dibahas, tidak melihat kepada bahwa seluruh aturan-aturan lama memiliki formalitas dan manusia bebas memilihnya sesuai yang dia kehendaki sendiri, akan tetapi ayat-ayat itu adalah untuk menjatuhkan dan menelanjangi kelompok-kelompok yang menganggap dirinya lebih baik serta menjelaskan ketidak berasasan lafazh-lafazh itu. Hakikat ini, tidak hanya ada dan tergambar secara jelas dalam ayat-ayat ini. akan tetapi, juga ada dan tergambar dengan jelas pada ayat-ayat lain, di antaranya:
“Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (Qs. Al-‘Ashr [103]:1-4)
Alquran –untuk menjelaskan hakikat ini yang mana ukuran keselamatan adalah iman hakiki dan mengamalkan syari’at– mengulang-ulang kata al-iman pada ayat yang menjadi fokus bahasan kita:
Dalam pada itu, maksud dari kata aamanu yang pertama (tingkatan rendah) adalah orang-orang yang secara lahir memeluk Islam dan mereka disebut mukmin dan maksud dari kata aamanu yang kedua (tingkatan tinggi) adalah keimanan yang hakiki, yang mana bertempat di dalam qalb (hati) dan efek-efeknya tercermin di dalam amal perbuatannya.
Dengan memperhatikan mukaddimah ini, akan jelaslah bahwa maksud dan tujuan dari ayat ini adalah untuk meruntuhkan dan membatilkan rasisme dan sektarianisme; yakni yahudi-isme dan Masehi-isme dan para pengikut agama ini tidak memiliki kekhususan apa pun dan seluruh umat manusia kedudukannya sama di hadapan Allah Swt. Dari sini, ayat yang berisi teori shulh kull (semuanya benar) tidak bisa digunakan atau dijadikan dalih pembenaran dan mengklaim bahwa seluruh pengikut agama apa pun atau mazhab serta aliran apa pun akan menjadi umat yang selamat. Pada dasarnya tidak boleh, dalam menafsirkan Al-Quran, mengambil satu ayat saja dan menjadikannya sebagai barometer dan ukuran kebenaran dan kebatilan dan tidak menghiraukan ayat-ayat lain. Ayat-ayat Al-Quran saling menafsirkan antara satu ayat dengan ayat yang lain dan antara satu ayat dengan ayat lain saling menjelaskan. Imam Ali As, mengenai ayat-ayat Al-Quran, berkata:
“(Ayat-ayat Alquran) berbicara dengan melalui perantara ayat-ayat lain sehingga maksudnya menjadi jelas dan antara ayat satu dengan yang lain saling memberi saksi”.
Ketika kita merujuk kepada ayat-ayat yang berkenaan dengan risalah Nabi saw, kita akan melihat bahwa Alquran menganggap Ahlulkitab itu mendapat petunjuk ketika mereka beriman kepada apa yang diimani oleh umat Islam; sebagaimana yang dinyatakan Alquran:
“Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk” (Qs. Al-Baqarah [2]:137)
Sekarang ini yang harus dilihat adalah apa yang diimani oleh umat Islam dan apa yang dikatakan kitab suci (Al-Quran) mereka, sehingga kaum yahudi dan nasrani juga mau beriman kepada itu. Mereka (Al-Quran) berkata: Nabi Muhammad saw adalah silsilah terakhir dari para nabi dan penutup para nabi; sebagaimana yang dinyatakan Al-Quran:
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu. tetapi Dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. dan adalah Allah Maha mengetahui segala sesuatu”. (Qs. Al-Ahzab [33]:40)
Muhamamad ini merupakan pembawa wahyu Ilahi, dibangkitkan dengan membawa syari’at yang sempurna, agamanya adalah agama yang mengandung ajaran syari’at paling sempurna, kitab yang dibawanya adalah kitab paling akhir dan penutup seluruh kitab dan penjaga serta pemelihara kitab-kitab yang lain:
“Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, Yaitu Kitab-Kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan sebagai penjaga dan pemelihara baginya (kitab-kitab terdahulu)”. (Qs. Al-Maidah [5]:48)
Kata Muhaiminan, pada asalnya, memiliki arti penjaga, saksi, pemelihara. Al-Quran secara sempurna senantiasa menjaga prinsip-prinsip Kitab-kitab terdahulu; yakni kitab ini (Al-Quran) selalu berusaha mengatasi dan meluruskan distorsi yang terjadi pada kitab-kitab terdahulu. Dengan merujuk ke Al-Quran, seluruh catatan-catatan penting pada kitab-kitab terdahulu yang telah mengalami distorsi, akan diketahui.
Lantaran Nabi Saw adalah pembawa Al-Quran, Nabi Pamungkas dan pembawa syari’at tersempurna, maka beliau menyeru penduduk dunia dan menyampaikan kepada mereka akan keuniversalan risalahnya. Nabi Saw menyeru manusia dengan kalimat berikut ini:
“Katakanlah: “Hai manusia Sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua…….”
Dan pasca kedatangan Nabi Saw, tidak ada satu pun alasan yang membolehkan mengikuti kitab-kitab lain (selain Alquran). Nabi Saw (pada tahun-tahun ke 7 dan ke 8 dari kenabiannya) kepada seluruh raja-raja dunia yang sedang berkuasa ketika itu, dimana mereka merupakan pengikut agama seperti Zoroaster dan atau Masehi, menulis surat dan menyatakan bahwa mereka wajib mengikuti agama yang dibawa Nabi Saw. Teks-teks surat-surat beliau saw itu dapat dijumpai pada kitab-kitab sejarah.[1]
Maksud atau tujuan ayat adalah untuk menafikan poin-poin yang tak masuk akal yang diyakini oleh kaum Yahudi dan Nasrani. Adapun mengenai hal, agama apa dan kitab apa yang harus diikuti pada era sekarang, maka jawabannya adalah harus merujuk (mengkaji) ke ayat-ayat lain dan hadits-hadits, berkenaan dengan bagian pembahasan ini, yang secara keseluruhan sepakat menyatakan keharusan mengikuti ajaran dan syari’at yang dibawa Nabi Muhammad Saw dan tidak membolehkan mengikuti agama-agama selainnya, karena periode agama-agama lama itu sudah berlalu.