Yahulu derivatnya dari kata “haul” yang bermakna mediasi sesuatu di antara dua perkara. Tatkala ucapan tentang hâil (batas, halangan, rintangan) mengemuka maka hal itu bermakna pertama: Harus terdapat dua hal sehingga hal ketiga menjadi medium di antara dua hal tersebut. Kedua: antara dua hal tersebut terdapat kedekatan dan kekerabatan.
Hati (qalb): Yang dimaksud dengan hati dalam ayat ini adalah bukan makna lahirnya (anggota sentral pada badan). Namun bermakna substansi abstrak dan transendental yang dengannya kemanusiaan manusia bergantung dan kebanyakan kondisi mental baik pencerapan presentif (hudhuri) atau perolehan (hushuli) cinta, benci dan sebagainya disandarkan pada hati ini. Hati, yang dalam bahasa Amirul Mukminin Ali As adalah media dan sebaik-baik hati adalah hati yang memendam pengetahuan tentang kebenaran dan segala niat yang baik. Hati yang menjadi sebab kemuliaan dan keutamaan manusia atas seluruh makhluk. Oleh karena itu penghalangan (hâiluliyat) dan perintangan ini tidak memiliki makna material. Dan perkara ini adalah perkara yang benar-benar abstrak dan maknawi yang dengannya Allah Swt mendeklarasikan dominasi dan superioritasnya pada seluruh pikiran dan perbuatan manusia. Sebagaimana hal ini ditegaskan pada surah Qaf ayat 16 yang menyebutkan kehadiran secara lengkap dan sempurna pada perbuatan dan pikiran manusia: “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat nadinya.”
Di sini ungkapan yang digunakan adalah ungkapan kehadiran (hudhur) dan ekspresi dominasi Ilahi. Dan tentu saja kehadiran merupakan syarat asasi dominasi. Namun terdapat penafsiran lain yang dapat ditunjukkan terkait masalah ini. Misalnya disebutkan, “Allah Swt dengan kematian menjadi penghalang antara manusia dan hatinya; karena kematian terjadi mengikuti kehendak-Nya dan berada dalam wilayah kekuasaan-Nya. Dan dengan kematian manusia memasuki dunia akhirat. Sebagaimana pada kelanjutan ayat tersebut disebutkan: Tuhan dengan kematian menjadi halangan antara manusia dan hatinya; karena kematian juga terlaksana dengan kehendak dan kekuasaan Tuhan. Dan dengan kematian manusia akan memasuki akhirat. Demikian juga pada kelanjutan ayat: “Dan sesungguhnya kepada-Nya-lah kalian akan dikumpulkan.” (Qs. Al-Anfal [8]:24) dan atau dengan segala sesuatu yang menjadi bagian keniscayaan kematian maka halangan dan jarak ini akan terjadi; misalnya kesesatan, sebagaimana pada titik kebalikan kesesatan adalah petunjuk yang merupakan jenis kehidupan. Artinya tatkala seseorang tidak menjawab seruan Allah dan tidak memiliki kehidupan tayyibah maka akan terpeleset kepada jurang kesesatan dan kematian: “Allah telah mengunci mata hati mereka.” (Qs. Al-Baqarah [2]:7)
Poin penting yang menjadi sebab asasi manusia melupakan dirinya dan teraleniasi adalah karena manusia melupakan Tuhan. Tuhan yang lebih dekat melebihi segala yang dekat kepada manusia bagaimana ia dapat dilupakan dan menjadi asing? Iya. Orang yang melupakan dirinya sendiri maka antara dirinya dan kekuatan akalnya terbentang jarak dan halangan. Dan seterusnya menjumpai kematian yang tidak diinginkan.
Di antara hasil adanya jarak, halangan, batas, rintangan antara Tuhan dengan manusia dan hatinya dapat disimpulkan sebagai berikut: Kedekatan ini adalah petunjuk kehadiran dan pengawasan Tuhan terhadap segala tempat dan penguasaan-Nya atas seluruh maujud.
Kekuatan dan kesuksesan bersumber dari-Nya. Aktualisasi akal dan ruh juga berada di tangan-Nya. Oleh karena itu manusia tidak boleh lalai dari Kekuasaan Absolut ini walau sedetik saja.
Redaksi-redaksi kunci dan sentral pada ayat yang dimaksud adalah “yahulu” dan “qalb”.
A. Yahulu
Yahulu artinya merintangi, membatasi dan menghalangi. Kalimat ini derivasinya dari kata haűl (batas, rintangan, halangan). Dan makna-maknanya yang digunakan untuk kata ini adalah perubahan dan pergantian, mediasi antara dua hal.[1]
Sesuai dengan makna kedua; misalnya apabila matahari berada di antara bulan dan bumi kita berkata bahwa antara matahari terdapat dua penghalang dan pembatas. Tatkala ungkapan ihwal halangan (hâil) mengemuka artinya pertama, harus terdapat dua hal yang menjadi penghalang dan pembatas bagi hal yang ketiga dan memisahkan dua hal tersebut. Kedua, sesuai dengan kaidah dua hal tersebut jaraknya harus berdekatan sehingga hal ketiga menghalangi dan membatasi kedekatan dan kekerabatan ini.
B. Qalb
Makna leksikal qalb (hati) adalah perubahan (inqilâb) dan pergolakan. Apabila indra tertentu manusia yang berada di bagian dada kiri disebut sebagi hati hal ini dikarenakan bahwa hati senantiasa mengalami perubahan dan usaha sehingga dengan gerakan teraturnya ia menata kehidupan manusia.[2]
Yang dimaksud dengan qalb (hati) dalam al-Qur’an adalah substansi abstrak dan transendental yang dengannnya kemanusiaan manusia bergantung. Serta kebanyakan kondisi ruh dan psikologis manusia disandarkan kepada hati. Misalnya pencerapan (idrâk), baik pencerapan presentif (hudhuri) atau perolehan (hushuli), atau cinta, benci dan sebagainya.
Bahkan ketika al-Qur’an menafikan pencerapan yang dilakukan hati, sejatinya al-Qur’an ingin menegaskan bahwa realitas ini yaitu hati bukan merupakan hati yang sehat (sâlim).[3]
Mengingat bahwa hati merupakan anggota sentral badan dapat dikatakan bahwa yang dimaksud adalah badan itu sendiri atau asli wujud hati. Oleh itu, dalam budaya dan penggunaan al-Qur’an, orang-orang yang tidak memiliki pemahaman dan pandangan dapat dicirikan sebagai orang yang tidak memiliki hati. Allamah Thaba-thabai Ra berpandangan bahwa hati itu adalah jiwa manusia yang dengan dibekali dengan kekuatan dan pelbagai afeksi batin sehingga manusia menata kehidupannya.[4] Dan hati adalah sesuatu yang menghukumi, mencinta atau membenci.
Dengan kata lain, mengapa Allah Swt memilih sebuah hakikat yang bernama hati untuk menjadi pembatas di antara seluruh anggota badan manusia. Dan bercerita tentangnya, sementara Dia adalah pencipta manusia dan mendominasi satu demi satu anggota badannya. Dan dalam kondisi apa pun Dia dapat menguasainya, lalu menjadi pembatas antara manusia dan telinganya, antara manusia dan hatinya, yang bermakna anggota dari anggota badan material manusia dan sebagainya?
Jawab: Karena al-Qur’an bukan sekedar Kitab ilmiah semata, melainkan juga merupakan Kitab petunjuk. Dari sisi lain, jalan untuk sampai kepada maarif Ilahiah tidak semata bersandar pada jalan rasional dan pemikiran, akan tetapi melalui juga melalui jalan hati. Oleh karena itu, pada kebanyakan ayat-ayat, secara langsung berurusan dengan hati dan al-Qur’an sebagai kitab samawi bagi seluruh manusia pada setiap masa dan zaman serta setiap generasi, karena itu al-Qur’an lebih menghargai jalan hati dan fitrah melebihi jalan pikiran.
Terkadang manusia memiliki pikiran yang kuat sehingga dalam pancaran pemikiran, hati bergerak dan terkadang hati yang bergerak dan dalam siluet gerakan hati kemudian lahir pemikiran. Dan al-Qur’an meletakkan keduanya di hadapan kita. Akan tetapi asas tarbiyah manusia adalah bergantung pada hidup-matinya hatinya. Dan tatkala hati manusia berubah dan berpaling kepada Tuhan maka hati tersebut akan memiliki nilai.[5]
Dalam hal ini, Imam Ali As bersabda: “Hati-hati ini adalah media dan sebaik-baik hati adalah hati yang bersemayam padanya pengetahuan-pengetahuan tentang kebenaran dan berniat baik.” Sebagian periset berkata, hati adalah penyebab kemuliaan dan keutamaan manusia yang lantaran kemuliaan tersebut manusia memiliki keunggulan atas seluruh makhluk. Melalui perantara hati Tuhan berikut sifat-sifat-Nya dapat dikenal. Dan pada akhirnya siap untuk menjadi tempat bersemayam maarif Ilahiah.
Dengan demikian, sejatinya hati yang mengenal ('âlim) Tuhan dan merupakan pelakasana bagi titah Tuhan dan berusaha meniti jalan menuju Tuhan. Hati sedemikian adalah hati yang mengenal dirinya dan karena ia mengenal dirinya maka ia mengenal Tuhan. Apabila suatu waktu hati tidak mengenal Tuhan (jâhil) maka sesungguhnya ia jahil terhadap dirinya. Dan jahil ihwal dirinya adalah jahil terhadap Tuhan. Dan secara pasti, seseorang yang jahil terhadap dirinya maka ia akan lebih jahil terhadap selainnya. Dan kebanyakan manusia yang lalai terhadap hatinya dan menjadi pembatas antara hati dan dirinya.[6]
Sebagai hasilnya, ayat yang menjadi obyek pembahasan “Sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya” maka manusia harus membina kedekatan dan kekerabatan dengan hatinya sehingga Tuhah menjadi perantara di antara keduanya.
Dengan demikian, tentu hati yang dimaksud di sini bukan makna lahirnya yaitu sanubari manusia. Karena itu pembatasan dan penghalangan di sini tidak bermakna material. Dan perkara ini merupakan perkara maknawi dan non-material. Sebagaimana tatkala Allah Swt berfirman: “Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat nadinya.” (Qs. Al-Qaf [50]:16) kedekatan ini bukan merupakan kedekatan material melainkan perkara maknawi dan murni non-material. Terlebih, hati manusia merupakan media pencerapan, pemahaman, berpandangan, dan sejatinya keniscayaan hidup rasional manusia. Dan tanpanya kehidupan manusia hanya akan bercorak material dan lahiriya belaka.
Pada ayat yang difirmankan ini, Kami membatasi antara manusia dan media pencerapan dan pemahamannya. Apabila kita berkata bahwa hati manusia juga merupakan salah satu yang paling dekat kepada-Nya (sebagaimana urat nadi) maka Allah membatasi antara manusia dan sesuatu yang paling dekat kepada-Nya. Dalam bentuk ini, Tuhan dalam surah al-Qaf (50) ayat 16 ingin menjelaskan kehadiran-Nya dan pada ayat tersebut hendak mendeklarasikan dominasi dan kekuasaan-Nya.
Lebih dekat kepada urat nadi melebihi dekatnya manusia merupakan perlambang kehadiran Tuhan. Meski dengan alasan tirai yang dihasilkan oleh kelalaian sehingga kehadiran ini tidak kita rasakan. Dan menjadi medium antara manusia dan hatinya menujukkan kekuasaan Tuhan atas manusia dan hatinya. Dan kehadiran tersebut merupakan syarat utama atas kekuasaan dan dominasi ini. Oleh karena itu kita berada di bawah dominasi dan kekuasaan Tuhan.
A. Tuhan dengan kematian membatasi antara manusia dan hatinya. Dan lantaran kematian berada di tangan-Nya dan hal ini merupakan tanda kekuasaan-Nya setelah kematian, antara manusia dan hatinya Dia menjadi jarak dan membuat batasan. Boleh jadi kelanjutan ayat yang menyatakan: “Dan sesungguhnya kepada-Nya kalian dikumpulkan” menyiratkan kepada kematian ini dimana pertama: dengan kematian, antara manusia dan hatinya terbentang jarak dan batasan. Kedua manusia dengan kematian akan memasuki padang masyhar, hari kebangkitan dan alam akhirat.
B. Karena kematian tidak mesti bermakna keluarnya ruh manusia dari badannya, melainkan segala sesuatu yang kematian niscaya baginya, adalah jenis kematian dan pada akhirnya menjadi jarak dan batasan antara manusia dan hatinya; misalnya kesesatan adalah jenis kematian. Sebagaimana petunjuk dan penerimaan seruan nabi merupakan jenis kehidupan dan bagian pertama ayat yang menjadi obyek bahasan, “Penuhilah seruan Allah dan Rasul-Nya jika ia menyerumu yang menghidupkanmu.” (Qs. Al-Anfal [6]:24) adalah mengisyaratkan bahwa petunjuk dan menyambut seruan nabi adalah jenis kehidupan. Tatkala seseorang tidak menyambut seruan Tuhan maka ia tidak memiliki kehidupan yang dihasilkan dari menjawab seruan Tuhan ini. Orang seperti ini terpuruk dalam jurang kesesatan dan sejatinya telah mati. Allah Swt juga mengunci mata-hati orang sedemikian, sebagaimana firman-Nya “Allah mengunci mata hati mereka.” (Qs. Al-Baqarah [2]:7) dan dengan demikian terbentang jarak, batasan dan hijab antara manusia dan hatinya.
Iya seluruh yang menolak petunjuk dan terpeleset ke dalam jurang kesesatan dan kelalaian sesungguhnya telah bersua dengan kematian. Sebagaimana orang-orang yang mendapat petunjuk meski secara lahir mati maka sesungguhnya mereka menjumpai kehidupan, “Mereka bahkan hidup dan mendapatkan rezki di sisi Tuhan mereka.” (Qs. Ali Imran [3]:169)
Adalah hal yang natural bahwa tatkala dengan kematian terbentang jarak antara manusia dan hatinya maka manusia sedemikian adalah hampa pemikiran, pandangan, rasionalitas, pemahaman dan pencerapan, “Pada mereka telinga tapi tidak untuk mendengar, dan pada mereka hati tapi tidak untuk memahami.” (Qs. Al-A’raf [7]:179)
C. Orang yang melupakan Tuhan maka Tuhan menjadikan mereka melupakan diri mereka sendiri. Artinya lantaran mereka melupakan Tuhan telah menjadi sebab Tuhan membuat mereka melupakan diri mereka sendiri. Dan orang yang melupakan dirinya atau, dengan terma modernnya, teralienasi maka terbentang jarak dan batasan antara dirinya dan kekuatan pencerapan dan rasionalnya. Kemampuan mencerap dan memahami telah hilang dari dirinya, sesuai dengan firman Allah Swt, “Lalu mereka melupakan diri mereka sendiri.” (Qs. Al-Hasyr [59]:19) dan terjerembab pada orang yang melupakan Tuhan. Iya, sedemikian ia terjerembab sehingga secara tidak sadar terjauhkan dari kehidupan tayyibah yang bersandar pada dzikruLlah dan mengingat Tuhan singkatnya mengikut, patuh dan taat kepada-Nya. Dan bukan saja ia melupakan Tuhan, bahkan ia juga telah melupakan dirinya sendiri.
D. Sebagian nash-nash tentang pemabatasan ini dimaknai sebagai pembatasan makna dan mereka berkata, “Maksud dari “yahulu baina al-mar’i wa qalbihi” adalah bahwa terkadang manusia mengambil keputusan untuk melakukan sebuah perbuatan, kemudian setelah itu Tuhan membuatnya menyesali perbuatan tersebut dan tidak membiarkan orang ini melanjutkan keputusan atau perbuatan tersebut.[7]
Makna ini kurang lebih adalah mahna tengah-tengah (mutawassith), akan tetapi apabila kita memiliki dalil rasional yang sesuai dengan ayat yang dimaksud dan terdapat dalil-dalil lainnya yang menyokong pandangan tersebut, maka tidak ada alasan bagi kita meninggalkan ayat ini secara lahir yang menyatakan: “Tuhan membatasi antara manusia dan dirinya”. Karena manusia bukan merupakan maujud yang berisi, melainkan laksana makhluk-makhluk kontingen (mumkin) lainnya yang ajwaf (tengahnya melompong). Sebagaimana Tsiqah al-Islam Kulaini menegaskan pembahasan ini dengan menukil sebuah riwayat dari Abu Jakfar as yang bersabda: “Sesungguhnya Allah swt menciptakan Bani Adam ajwaf”.[8]
Mengingat manusia adalah ajwaf dan tengahnya kosong maka antara manusia dan diri manusia terbentang jarak kekuasaan wujud Tuhan, oleh karena itu Tuhan dekat kepada segala sesuatu. Apabila Tuhan dekat maka Dia mendekat dengan segala sifat-sifatnya. Karena sifat-sifat zati Tuhan adalah zat-Nya itu sendiri dan apabila sifat-sifat zati Tuhan hadir,[9] sifat-sifat perbuatan juga mengikuti sifat-sifat zati serta akan berpengaruh dan berlaku aktif (fa’al).[10]
1. Kita tahu bahwa setiap halangan ke arah dua sisinya dari setiap sisi ke sisi yang lain adalah lebih dekat. Oleh itu, manusia lebih cepat dan lebih baik mengenal Tuhan dari hatinya sendiri. Dan dengan ilmu hudhuri, ia mencerap Tuhan. Sebagai hasilnya dalam menentukan instanta luaran (mishdaq) ia tidak menyimpang, tidak dapat meragukan dan mencari-cari dalih atas seruan Tuhan dan penyeru kebenaran kepada kalimat Tauhid.
2. Mengingat Tuhan lebih mengetahui hati manusia daripada manusia itu sendiri, oleh itu manusia tidak dapat mendua (munafik) dalam menerima seruan tahuid dan para penyeru kepada kebenaran dan hanya menerimanya dalam bentuk lahir saja. Melainkan ia harus mentransfernya ke dalam lisan dan hatinya dan meyakini serta beriman kepadanya.
3. Tatkala sifat terpuji disandarkan kepada manusia maka hal itu juga disandarkan kepada Tuhan tanpa perantara. Oleh itu, apabila manusia bersikap congkak terhadap niatnya yang tulus atau seluruh sifat-sifat terpuji maka sesungguhnya hal itu merupakan kesempurnaan kebodohannya.[11] Dan di antara kebodohan manusia adalah memandang dirinya sebagai mandiri dalam penguasaan hati dan beranggapan dirinya memiliki kekuasaan mutlak.
4. Allah Swt dapat kapan saja Dia hendaki membuat manusia tidak dapat menikmati hatinya sehingga tidaklah demikian bahwa manusia senantiasa dapat menebus apa yang telah berlalu. Dengan demikian, ia harus sesegera mungkin melaksanan perintah Ilahi dan tidak menunda-nunda ketaatan kepada-Nya.
5. Pembatasan ini menunjukkan kehadiran dan pengawasan Tuhan di setiap tempat dan penguasaan-Nya atas seluruh makhluk.[12]
Kekuatan dan kesuksesan bersumber dari-Nya, aktifitas akal dan juga ruh berada di tangan-Nya. Oleh karena itu, manusia tidak dapat menyembunyikan sesuatu apa pun dari-Nya, melainkan dalam setiap kesempatan dan keadaan senantiasa memohon taufik dari-Nya dan menjadikan Allah sebagai penolong-Nya dan tidak mencari penolong selain-Nya.[13]
Sebagai penutup kami akan mengakhiri pembahasan ini dengan menyebutkan dua riwayat berikut ini.
Hisyam bin Salim menukil dari Imam Shadiq As, maksud ayat tersebut adalah bahwa Allah menghalangi orang yang menemukan ilmu bahwa yang batil itu adalah kebenaran.[14]
Dalam riwayat yang lain disebutkan Imam Shadiq As bersabda: Demikianlah manusia melakukan sesuatu dengan telinga, mata dan tangan, pikiran, namun tatkala sesuatu itu datang kepadanya, hatinya mengingkarinya dan memahami bahwa sesuatu itu bukan kebenaran. [indonesia.islamquest.net]
Untuk telaah lebih jauh:
1- Allamah Thaba-thabai, Tafsir al-Mizân, jil. 9, hal. 24, surah al-Anfal.
2- Muhsin Qira'ati, Tafsir Nur, jil. 4, hal. 25, surah al-Anfal.
3- Ja'far Subhani, Mansyur-e Jâvid-e Qur'ân, hal. 295.
4- Makarim Syirazi, Tafsir Nemune, jil. 1, hal. 89.
Catatan Kaki:
[1] Raghib Isfahani, al-Mufrâdât fii Gharib al-Qur’ân, hal. 137
[2] Ja’far Subhani, Mansyur-e Jâvid-e Qur’ân, hal. 295.
[3] Makarim Syirazi, Tafsir Nemune, jil. 1, hal. 89
[4] Allamah Thaba-thabai, Tafsir al-Mizân, terjemahan Sayid Muhammad Baqir Musawi, jil. 9, hal. 58.
[5] Ayatullah Jawadi Amuli, Zan dar Aine Jalâl wa Jamâl, hal. 281.
[6] Muhsin Faidh Kasyani, Mahajjatul Baidhâ, jil.5, hal. 3.
[7] Majma al-Bayân, jil. 4, hal. 820
[8] Muhammad Ya’qub Kulaini, Al-Kâfi, jil. 6, hal. 282)
[9] Bagian-bagian sifat-sifat Tuhan: 1. Sifat-sifat dzat: dimana dalam mengabstrasikannya cukup dengan memperhatikan dzat seperti sifat-sifat "Mengetahui ('Alim), Berkuasa (Kudrat), Hidup (Hayat) dan sebagainya. Sifat-sifat perbuatan: Sifat ini adalah sifat yang dalam mengabstrasikannya tidak cukup sekedar memperhatikan dzat Ilahi namun dzat tersebut harus ditinjau pada tataran perbuatan dan penciptaan kemudian mengabstrasikannya. Misalnya sifat-sifat pencipta (Khâliq), Pengampun (Ghafur), Pemberi rezeki (Râziq) dan sebagainya.
[10] Jawadi Amuli, Hikmat-e Ibadah, pembahasan ketujuh, hal. 213. link dengan no.89
[11] Allamah Thaba-thabai, terjemahan Tafsir al-Mizân, jil. 9, hal. 58.
[12] Allamah Thab-thabai, Op cit, jil. 9, hal. 58
[13] Muhsin Qira'ati, Tafsir Nur, jil. 4, hal. 313.
[14] Allamah Thaba-thabai, Op cit, jil. 9, hal. 62.