Apakah yang Dimaksud dengan Sunnatullah?

Di dalam surat Al-Ahzab [33], ayat 62, Al-Qur’an mengemukakan bahwa salah satu dari sunah-sunah Ilahi yang tidak pernah mengalami perubahan adalah masalah penghancuran kaum munafik dengan sebuah serangan umum. Dan hal ini pernah terjadi pula pada umat-umat sebelumnya.

“Sebagai sunah Allah yang berlaku atas orang-orang yang telah terdahulu sebelum[mu], dan kamu sekali-kali tiada akan mendapati perubahan pada sunah Allah”.

Ungkapan-ungkapan semacam ini ditemukan pula di dalam Al-Qur’an dalam masalah-masalah yang lainnya. Salah satu di antaranya, dalam surat Al-Ahzab [33], ayat ke 38, setelah turun izin untuk menghancurkan kebiasaan salah jahiliyah mengenai pengharaman (memperistri istri anak angkat yang telah ditalak), Allah berfirman, “[Allah telah menetapkan yang demikian] sebagai sunah-Nya pada nabi-nabi yang telah terdahulu. Dan ketetapan Allah adalah suatu ketetapan yang pasti berlaku.”

Dalam surat Fathir [35], ayat ke 43, setelah mengancam kaum-kaum kafir dan pembuat kerusakan dengan kematian, Allah berfirman, “Tiadalah yang mereka nanti-nantikan melainkan [berlakunya] sunah [Allah yang telah berlaku] bagi orang-orang yang terdahulu. Maka, sekali-kali kamu tidak akan menemui perubahan pada sunah Allah dan sekali-kali tidak akan [pula] menemui penyimpangan dalam sunah Allah ini.”

Dalam surat Al-Ghafir [40], ayat 85, setelah menegaskan bahwa keimanan orang-orang kafir yang keras kepala dan pembangkang dari kaum-kaum sebelumnya -setelah menyaksikan turunnya azab dari Allah swt.- tidaklah akan memberikan manfaat yang berarti, Dia menambahkan dengan firman-Nya, “Itulah sunah Allah yang telah berlaku terhadap hamba-hamba-Nya. Dan pada waktu itu, binasalah orang-orang kafir.”

Dan dalam surat Al-Fath [48], ayat 23, setelah mengemukakan kemenangan kaum mukmin dan kehancuran orang-orang kafir, serta terputusnya persahabatan di antara mereka dalam peperangan, Allah menambahkan dengan firman-Nya, “Sebagai suatu sunnatullah yang telah berlaku sejak dahulu. Kamu sekali-kali tidak akan menemukan perubahan pada sunatullah ini.”

Demikian juga dalam surat Al-Isra’ [17], ayat 77, ketika menceritakan siasat orang-orang kafir dalam mengasingkan dan menghancurkan Rasulullah saw., Allah menambahkan, “Apabila terjadi demikian, niscaya sepeninggalmu mereka tidak akan tinggal kecuali hanya sebentar saja. [Kami menetapkan yang demikian] sebagai suatu ketetapan terhadap rasul-rasul Kami yang Kami utus sebelum kamu, dan tidak akan kamu dapati perubahan pada ketetapan Kami ini.”

Dari rangkaian seluruh ayat di atas bisa diambil kesimpulan bahwa maksud dari sunah dalam masalah semacam ini adalah hukum-hukum yang konstan dan merupakan prinsip takwînî atau tasyrî’î Ilahi yang tidak akan pernah mengalami perubahan di dalamnya. Dengan kata lain, Allah swt mempunyai hukum-hukum paten di alam takwînî (cipta) dan tasyrî’î (tinta)-Nya. Tidak sebagaimana hukum-hukum prinsip dan norma budaya dalam masyarakat dunia yang bisa direduksi, hukum-hukum Allah ini berlaku atas kaum-kaum masa lalu, saat ini dan juga atas kaum-kaum di masa datang.

Pertolongan para nabi, kekalahan orang-orang kafir, kelaziman mengamalkan perintah-perintah Ilahi sekalipun tidak menyenangkan bagi lingkungan, dan ketiadaan manfaat dari taubah pada saat turunnya azab Ilahi, semuanya ini merupakan sunah Ilahi yang abadi.