Melanjutkan bahasan terdahulu, kita sadari bahwa ayat Kursi membawa pemahaman Tauhid al-Wujud, bahwa Allah adalah Satu-satunya Wujud Sebenar, sedangkan semua selain-Nya adalah wujud relatif belaka. Statement bahwa Allah itu tiada Tuhan selain Dia yang al-Hayyu al-Qayyum, diperkuat dengan hujjah bahwa Dia itu tidak tersentuh kantuk, apalagi tidur, dan diperkuat lagi dengan "lahu maa fissamaawaati wa maa fil ardh".
Tidak ada mahluk dan tidak ada power yang independent dari-Nya. Ketika Allah menciptakan hukum-hukum alam yang berlaku bagi mahluk-makhluk-Nya, Dia tidak lantas beristirahat dan membiarkan sunnatullah bekerja dengan sendirinya. "Lahu maa fissamaawaati wa maa fil ardh" dipertegas oleh "laa haula wa laa quwwata illa billah" dan "yusabbihu lahu maa fissamaawaati wal ardh". Berbeda dengan pandangan sebagian pemeluk Nasrani ataupun Yahudi yang menganggap Allah itu ada istirahatnya, Tauhid al-Wujud mengatakan bahwa Allah itu ngantuk aja nggak, apalagi tidur, dan semua yang di langit dan bumi ada dalam genggaman-Nya. Artinya, ketika hujan turun misalnya, power sang awan dalam mengubah uap menjadi air hujan bukanlah independent power, melainkan hakikatnya adalah power Allah jua. Demikian pula, gravity power yang menjatuhkan titik-titik air dari langit ke bumi, bukan pula suatu independent power. Hakikatnya, Allah jualah yang bekerja menjatuhkan titik-titik air hujan itu ke bumi.
Later on in next series, kita akan bahas bagaimana Allah bekerja, yang di alam ciptaan ini terwujud melalui mahluk-makhluk dan power-power*), yang semua mahluk dan power itu originated from and dependent to Him, melalui apa yang selama ini ente pade kenal -whether ente benar paham atau salah paham, atau nggak mau paham :)- dengan konsep TAWASSUL dan SYAFA'AT, insya Allah.
Sedemikian pentingnya pemahaman dependensi kita sebagai mahluk dan independensi absolut-Nya Allah ini, sehingga dalam doa-doa ajaran Ahlul Bait as, kita dapati misalnya ungkapan seperti "wa an tu'iinanii 'alaa thaa'atika" (dan bantulah aku [ya Allah] untuk mentaati-Mu), "wa tashuddanii 'an ma'aashiika maa ahyaitanii" (dan palingkan daku [ya Allah] dari maksiat kepada-Mu selama Kau hidupkan aku). Semuanya menunjukkan kesadaran tauhid al-wujud, bahwa we are NOTHING, we have no power whatsoever, sehingga untuk mentaati-Nya dan beribadah kepada-Nya dan menjauhi maksiat kepada-Nya pun kita tak akan bisa lakukan TANPA anugerah power dari Sang Wajib al-Wujud.
Nah, kali ini kita akan lihat bahwa angan-angan**) berupa Tajsim dan Tasybih dapat merusak tauhid kita. Tajsim adalah menisbatkan jisim/badan material kepada Allah, sedangkan tasybih adalah menyerupakan Allah dengan mahluk, alias menganggap Allah itu comparable to something else. Dalam versinya yang paling kasar, Tajsim dan Tasybih adalah menganggap suatu mahluk sebagai Tuhan Sang Pencipta. Distorsi ini banyak menghinggapi agama-agama terdahulu. Kita tahu sebagian pemeluk Nasrani menganggap Isa AS sebagai Tuhan yang menampakkan Diri-Nya di bumi. Kita juga tahu sebagian orang-orang Yahudi pernah (mungkin sekarang juga masih) meyakini Uzair AS sebagai jelmaan Tuhan. Kita juga mafhum, orang-orang Budha percaya Sidharta sebagai Tuhan yang turun ke dunia, sementara orang-orang Hindu menganggap Tuhan itu punya jisim yang berupa Brahma, Syiwa dan Wishnu.
Dalam bentuknya yang paling halus, Tajsim dan Tasybih dicerminkan oleh pandangan-pandangan berikut:
· Menganggap Allah itu punya tangan dan kaki, meskipun gimana bentuknya hanya Allah yang tahu.
· Menganggap Allah benar-benar duduk di atas arsy, meskipun gimana Dia duduk adalah berbeda dg kita, dan hanya Allah yang tahu.
· Menganggap Allah itu literally turun (dari arsy) ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir untuk mendengarkan doa-doa para hamba-Nya.
· Dalam shalat, seseorang membayangkan Allah sebagai berupa sesuatu (bisa cahaya, atau something very much gigantic, atau lainnya), meskipun orang itu tidak pernah dan tidak akan memberitahukan pembayangannya itu kepada orang-orang lain.
· Menganggap Allah itu literally physically ber-cakap-cakap langsung dengan Musa AS, dan bahwa Allah itu benar-benar literally physically hendak menampakkan diri-Nya kepada Musa AS.
· Menganggap jarak yang "sedekat dua busur panah atau lebih dekat lagi" antara Muhammad SAW dan Allah dalam peristiwa mi'raj itu adalah literally seperti itu.
· Menganggap bahwa Allah itu bisa kita lihat dengan mata fisikal kita, meskipun ini hanya akan terjadi di Surga nanti.
· Dan lain-lain, yang sadar atau tidak bisa merasuki kita.
Lalu, apa salahnya Tajsim dan Tasybih?
Tajsim dan Tasybih kasar dengan mudah akan ditolak oleh setiap muslim. Mana mungkin, misalnya, Yesus AS atau Uzair AS atau Sidharta Gautama yang terdiri dari daging dan darah serta perlu makan minum seperti manusia-manusia lainnya itu, adalah Tuhan Sang Pencipta. Logika sederhana akan mengatakan bahwa jika "tuhan" itu adalah sesuatu yang comparable dengan kita, sementara kita sadar bahwa kita ini diciptakan oleh Tuhan, maka jangan-jangan "tuhan" itu juga diciptakan oleh Tuhan, bukan?
Alur pemikiran tauhid al-wujud yang telah kita bahas pada seri 1 yang lalu adalah argumen akal yang tak terbantahkan untuk menolak Tajsim dan Tasybih. Sementara itu, al-Quran pun menegaskan bahwa Allah itu "laisa kamitslihi syai'un" (Asy Syuura: 11), tidak ada sesuatu keserupaanpun yang menyerupai-Nya, maka Allah is incomparable to anything. Hal ini dipertegas ayat Quran lainnya (an-An'aam), "laa yudrikuhul abshaar", tidak ada pandangan mata yang bisa melihat-Nya. Maka, ini pun menolak Tajsim dan Tasybih halus, sebab hakikatnya Tajsim dan Tasybih itu, halus ataupun kasar, adalah menganggap Allah itu punya badan/jisim dan serupa dengan mahluk-Nya. Semua orang yang berpahaman Tajsim dan Tasybih, meskipun yang paling halus sekalipun, sebenarnya sama saja dengan mengulangi kesalahan umat-umat terdahulu yang menganggap mahluk sebagai Tuhan Sang Pencipta. Maa lahum bihi min 'ilmiw wa laa ila abaaihim, kaburat kalimatan takhruju min afwahihim, iyyakuuluuna illa kadziba (al-Kahfi).
Keserupaan kesalahan ini adalah berupa: menganggap Dia bisa dilihat oleh mata fisikal, yang berarti Dia punya fisik meskipun gimana bentuknya hanya Dia yang tahu, dan Dia terbatas oleh penglihatan mata fisikal; dan Dia terikat ruang dan waktu ketika Dia perlu DUDUK di atas 'arsy dan perlu TURUN dari 'arsy ke langit dunia pada waktu-waktu tertentu (malam nisfu Sya'ban ataupun sepertiga malam terakhir).
Subhaanallahi 'ammaa yushrikun, kata Quran (al-Hasyr). Semoga, dengan menyadari kesalahan Tajsim dan Tasybih, yang sebenarnya sudah sedemikian banyaknya diperingatkan oleh Al Quran maupun akal, kita semua terhindar dari jebakan-jebakan non-tauhid.
Wallahu a'lam
Notes:
*) Semata-mata karena kelemahan dan untuk kebaikan mahluk-makhluk itu sendiri, bukan karena kelemahan dan untuk kebaikan Allah, sebab Allah itu Sempurna dan Kaya, Tidak Memerlukan sesuatu.
**) Sengaja saya sebut angan-angan, sebab pemahaman Tajsim dan Tasybih adalah tidak berdasarkan ilmu.
Sumber: amjabal.multiply.com