يَأَيهَُّا الَّذِينَ ءَامَنُواْ أَطِيعُواْ اللَّهَ وَ أَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَ أُوْلىِ الْأَمْرِ مِنكم…
"Yaa ayyuhalladzina aamanu athii'ullaha wa athii'uur rasuula wa uulil amri minkum..." (An-Nisa: 59).
Ada dua pendapat besar di kalangan kaum muslimin sejak ditinggal Nabi saw hingga sekarang – dan agaknya akan berlanjut terus hingga datangnya Imam Mahdi as – mengenai ulil amri yang kita wajib taati itu. Pendapat pertama mengatakan ulil amri adalah para pemimpin bagi umat Islam yang penetapannya dilakukan oleh manusia, yaitu melalui bai’at dari umat Islam. Bahkan ada di antara penganut paham pertama ini yang berpendapat bahwa para pemimpin negara-negara yang mayoritas penduduknya muslim itu sebagai ulil amri. Hal ini, agaknya karena pada saat ini tidak ada seorangpun yang disepakati oleh seluruh muslimin untuk menjadi pemimpin tunggal umat.
Di lain pihak, pendapat kedua meyakini bahwa ulil amri itu adalah para pemimpin tertinggi umat yang ditetapkan dan diangkat langsung oleh Allah swt. Setiap ulil amri menjadi pemimpin umat pada zamannya masing-masing, sejak Rasul saw wafat hingga dunia ini berakhir nanti. Ada ulil amri yang diakui sebagian besar masyarakat sehingga menjadikan mereka sekaligus sebagai pemimpin politik umat, tapi banyak pula yang ditolak oleh sebagian besar umat yang ternyata lebih memilih orang-orang yang bukan ulil amri sebagai pemimpin politiknya. Singkatnya, Allah swt selalu menetapkan dan memberikan pemimpin-pemimpin bagi manusia, tapi kebebasan manusia membuat mereka boleh memilih untuk mengikuti dan mentaati pemimpin-pemimpin yang ditetapkan Allah itu atau menolak mereka. Tentu saja, bukti-bukti atas kepemimpinan mereka yang ditetapkan Allah itu pun telah Allah berikan secara jelas kepada manusia. Apapun pilihan manusia, semuanya akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah swt di hari pengadilan nanti.
Kelemahan pendapat pertama sebetulnya sudah jelas. Nah, mari kita lihat masalah ini lebih lanjut agar menjadi lebih jelas.
Once upon a time, a Nasrani Arab scholar after hearing this verse (An-Nisa: 59), gave an interesting comment. Kurang-lebihnya begini (in my own words): "The order to obey Rasul does make sense because he, according to you (muslims), was infallible (ma’shum) as the channel of God's commands. God never corrupts, so did Rasul, and God’s message was delivered flawlessly by Rasul. But it's not understandable why you should obey those who may err (Ulil amri dipahami sebagai muslim governments/pemimpin-pemimpin politik umat Islam). Doesn't it mean that you should obey them although if they order you to do wrong?"
Then, when the scholar was told that muslims only obey ulil amri when their commands are in accordance to Quran and Sunnah (means ketaatan bersyarat kepada Ulil amri), the scholar replied: "So, in this case, you (people) are more knowledenganable about Quran and Sunnah than your leaders (because you know when they corrupt while they themselves don't), and thus it would be much better if you be the leaders, NOT them. So, are you (people) the ulil amri meant by the verse, or them (governments)?"
Kritik orang luar ini, layak diperhatikan dengan seksama. Kebingungan itu, antara lain adalah karena belum apa-apa umumnya kita sudah menebak-nebak "o.. o.. siapa dia" yang dimaksud dengan Ulil amri itu? Coba kalau kita kesampingkan dulu mengenai tebak-tebakan ini. Let it just be ‘ulil amri’ first, dan kita coba pahami basic principle yang mau disampaikan oleh ayat ini, insya Allah, mengenai siapakah mereka ulil amri itu akan dapat kita ketahui jawabannya later on melalui bantuan akal sehat dan ayat-ayat al-Quran lainnya.
Prinsip yang mau disampaikan ayat ini secara TEPAT telah diungkapkan oleh orang Arab Nasrani itu: channels of God's commands.
Coba kita tengok pertanyaan-pertanyaan berikut.
The first question is: Sebetulnya SIAPA SAJA yang harus kita taati? Bagi penganut tauhid, jelas: HANYA ALLAH, The One and Only yang harus kita taati.
Then, the second question is: HOW to taat kepada only Allah?
Kenyataan yang, mau tidak mau, diakui oleh semua God conscience people adalah: TIDAK SEMUA ORANG dikomunikasikan langsung (melalui wahyu dan/atau inspirasi) oleh Allah. Tentunya, jawaban untuk ini juga jelas: kita taat kepada Allah melalui ketaatan kita kepada channel/s dari commands-Nya, yang untuk umat akhir jaman adalah Rasul Muhammad saw.
Nah, sampai di sini, "’athiullah wa ‘athiur rasul" sudah kita pahami. Tapi, pertanyaan ketiga adalah, kenapa ada lanjutannya: ...wa ulil amri minkum...? Kenapa tidak cukup athii'ullaha wa ‘athii'ur rasuul?
Jika kita tidak tebak-tebak "o o siapa mereka sang ulil amri" pada tahap ini, sebetulnya memahaminya mudah, bi idznillah.
Coba kita tengok ada HUBUNGAN apakah antara jawaban pertanyaan pertama (yaitu: Allah) dan kedua (yaitu: Rasulullah saw) di atas? Apakah hubungan ini bersifat horisontal atau vertikal? Pada kalimat: "athiullah wa ‘athiur rasul", apakah WA di sini menunjukkan hubungan horisontal atau vertikal?
In other words: Apakah kita mentaati Allah DAN Rasul (hubungan horisontal), atau kita mentaati Allah MELALUI ketaatan kita kepada Rasul-Nya (hubungan vertikal)? Saya yakin semua muslimin sudah tahu jawabannya: hubungan vertikal. Jika kita menjawab hubungan horisontal, berarti terjebak kepada menyekutukan Allah dengan Rasul-Nya, sebab menganggap Allah dan Rasul saw dalam kedudukan yang comparable dengan independent authority masing-masing. Naudzubillah. Padahal, authority hanya kepunyaan Allah. Laa haula wa laa quwwata illa billah.
Begitulah, karena hakikatnya ketaatan itu HANYA kepada ALLAH saja, yaitu "athiullah", maka sambungan ayat itu "...wa athiur Rasul wa Ulil amri minkum..." adalah menunjukkan CARA bagi kita untuk TAAT kepada ALLAH SEMATA, yaitu MELALUI KETAATAN kepada Rasul saw dan Ulil amri alaihim assalam.*)
Jadi, yang HORISONTAL itu adalah hubungan Rasul dan Ulil amri, BUKAN Allah dan Rasul! Nggak adanya kata TAATILAH lagi di depan kata Ulil amri mengindikasikan bahwa Rasul wa Ulil amri adalah pada posisi yang HORISONTAL, maksudnya mereka semua adalah manusia-manusia, sama-sama CIPTAAN Allah, yang telah Allah tetapkan sebagai saluran bagi petunjuk-petunjuk-Nya.
Kebanyakan muslimin memang mengartikannya sebagai ketaatan bersyarat terhadap Ulil amri. Tapi jika demikian, maka akan timbul kerancuan seperti yang dikritik secara valid oleh seorang sarjana Nasrani di atas. Bagaimana mungkin ulil amri, yang ketaatan kepada mereka Allah sejajarkan dengan ketaatan kepada Rasul saw itu, perlu kita tegur karena ada kemungkinan salah memahami al-Quran dan Sunnah? Bukankah ini sama saja dengan meyakini kemungkinan bahwa Rasul saw boleh salah pula dalam memahami al-Quran? Suatu hal yang mustahil. Kalau seorang Nasrani saja bisa berpikir sejernih itu, then why can't we, who claim to have a religion better than his?
Hubungan horisontal Rasul-Ulil amri ini diperlukan, KECUALI jika Rasul saw itu hidup selamanya sampai hari kiamat sehingga tidak diperlukan adanya pengganti dan penerus misi kepemimpinan/Imamah-nya (sedangkan Nubuwah berakhir dengan wafatnya). Kenyataannya tidak demikian. Rasul saw meninggal pada umur 63 tahun.
Maka pertanyaan keempat berikut kiranya boleh membantu: How to taat kepada Rasul setelah meninggalnya beliau saw?
Many muslims may answer: melalui ketaatan kepada al-Quran dan Sunnah. Well, ini akan kembali lagi ke kemuskilan di atas. I can only say this: seribu sekian ratus tahun sudah seluruh kelompok kaum muslimin ini mengklaim sebagai mentaati al-Quran dan Sunnah, akan tetapi terbukti muslimin masih tercerai-berai dan jadi bulan-bulanan mudah bagi musuh-musuh Islam. BECAUSE al-Quran (and Sunnah) IS NOT ONE in meaning. It is NOT al-Quran and Sunnah, PERIOD. BUT, in fact, it is Quran and Sunnah according to who? Dalam bahasa Imam Ali as dalam menanggapi ajakan tahkim bil Quran dari pihak Muawiyah yang saat itu sebenarnya sudah terdesak hampir kalah: "Itu (mushaf al-Quran) adalah al-Quran yang diam, dan inilah (sambil menunjuk dirinya) al-Quran yang bicara atau hidup (Quranun nathiq)". So, The Book of Quran and The Books of Ahadith CANNOT be "Allah and Rasul" refered by the lanjutan dari ayat An-Nisa: 59 itu ("...maka jika kalian berselisih mengenai sesuatu, maka kembalikanlah itu kepada Allah dan Rasul, jika benar-benar kalian beriman kepada Allah dan hari akhir..."**)).
"...kembalikanlah kepada Allah dan Rasul" yang dimaksud di penggalan ayat itu adalah, tentu saja, bertanya kepada atau meminta keputusan Rasul saw ketika beliau masih hidup (tidak mungkin jika para sahabat berselisih, kemudian mereka bertanya langsung kepada Allah untuk me-resolve-nya?). Nah, ketika Rasul saw sudah meninggalkan kita, maka Ulil amri-lah sumber rujukan itu. Maka, jika pertanyaan kedua di atas (how to taat kepada Allah) dijawab dengan "melalui ketaatan kepada Rasul-Nya", maka jawaban pertanyaan keempat ini (how to taat kepada Rasul setelah meninggalnya) adalah: "melalui ketaatan kepada Ulil amri".
Dengan pemahaman seperti ini, jelaslah sudah bahwa tidak mungkin Ulil amri itu ditetapkan oleh manusia, baik itu bai’at melalui musyawarah atau demokrasi, ataupun keturunan/kerajaan, ataupun pemaksaan/kudeta. Karena Ulil amri adalah channels of God’s commands dan pemimpin yang umat wajib taat “sami’na wa atha’na”, maka penetapan dan pengangkatan mereka adalah sepenuhnya Hak Allah, bukan hak manusia.
Nah, setelah kita pahami ini, baru kita beranjak ke tahap selanjutnya, yaitu mencari jawaban "o o siapa ulil amri" itu. Bagi para scholars yang mengerti kaidah research, maka nggak ada salahnya kita terapkan itu dalam menjawab the main Question: Who are the ulil amri?
Apakah kita langsung menelusuri belantara hadits-hadits? Boleh-boleh saja, BUT I don't think it's a proper method dalam pandangan science. Tentu saja kita harus menetapkan proposisi dahulu mengenai kriteria-kriteria ulil amri. Proposisi ini didapat melalui logika rasional dan studi al-Quran. Baru nantinya, proposisi ini kita test-kan kepada data-data empirik yang kita dapatkan dari belantara hadits-hadits dan dokumen-dokumen sejarah terkait lainnya mengenai orang-orang yang dinominasikan sebagai para ulil amri itu.
We all know, hadits may err, but NOT the Quran sebab Allah menjamin kemurniannya. Tidak sukar untuk mem-proposisi-kan kriteria-kriteria ulil amri. Sebagai the channels of God's commands and the continuation of Rasul's role as The Imam or The Single Authority of muslim ummah, maka kriteria ulil amri, insya Allah, bisa kita uraikan.***)
Semoga menjadi jelas perbedaan ulil amri dengan pemimpin-pemimpin politik kita di Indonesia saat ini: Kita wajib taat TANPA SYARAT (sami'na wa atha'na) kepada Ulil amri, tapi kita taat kepada pemimpin politik hanya dalam rangka menepati perjanjian bernegara Indonesia ini, yaitu HANYA jika perintah-perintah pemimpin politik itu tidak bertentangan dengan petunjuk-petunjuk Ulil amri. Dan jelas juga bahwa banyak pemimpin-pemimpin politik kita saat ini yang TIDAK KENAL sama sekali dengan Ulil amri kita, sehingga bagaimana mungkin mereka bisa mengeluarkan keputusan-keputusan yang sejalan dengan al-Quran dan Sunnah yang sebenarnya -bukan yang menurut interpretasi mereka sendiri-, alias petunjuk-petunjuk dari Ulil amri yang tidak mereka kenal itu?!
Siapapun yang wafat dalam keadaan tidak mengenal Imam Zamannya, maka dia wafat seperti matinya kaum jahiliyah****), meskipun dia telah ‘mengenal’ Allah, Rasul saw, dan Kitab-Nya. Naudzubillah. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya masalah ma’rifat ulil amri ini. Ma'rifatullah, ma'rifaturrasul dan ma'rifatul Quran hanya bisa sempurna melalui ma'rifat al-Imam al-Zaman. Oleh karena itu, di dalam kubur, salah satu pertanyaan yang kita hadapi adalah ‘man Imamuk?’.
Akhirul kalam, bagi siapa saja yang ingin merepotkan dirinya dengan melakukan research dengan the main Q ‘who are the ulil amri?’, semoga Allah menjernihkan pikirnya, membukakan pintu hatinya dan memudahkannya dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan qubur dengan benar. Ilahi aamiin. Kita semua tahu, Islam adalah ‘intention and effort oriented’, hanya mewajibkan dan menilai niat dan efforts kita. Tentu saja, selama kita berusaha maksimal dengan niat tulus ikhlas qurbatan ilallah, kalau pada akhirnya tidak berhasil atau salah dalam menjawab the main Q, insya Allah, masih berada dalam pengampunan-Nya yang sangat luas itu.
Allahumma shalli ala Muhammadin wa aalihi ath-thayyibin ath-thahirin,
uulil amrilladzina faradlta ‘alaina thaa'atahum
Notes:*) Saya jadi ingat slogan Khawarij yang terkenal: laa hukma illa lillah, tidak ada hukum kecuali milik Allah. Oleh Imam Ali as dikatakan bahwa ini adalah ucapan yang benar tapi untuk tujuan yang bathil. Hal ini karena Khawarij menafikan CARA untuk terimplementasinya hukum Allah itu. Cara yang benar adalah hukum Allah diterapkan melalui Rasul saw dan para ulil amri sepeninggal beliau saw. Cara ini ditolak oleh Khawarij yang beranggapan bahwa Hukum Allah bisa diterapkan secara "langsung". Padahal maksud dari istilah "langsung" itu sebenarnya adalah melalui tangan-tangan mereka. Jadi sebenarnya yang mau diterapkan Khawarij adalah Hukum Hawa Nafsu mereka (yaitu al-Quran menurut interpretasi mereka, unauthorised interpreters), bukan Hukum Allah (al-Quran menurut penjelasan Rasul saw dan para ulil amri yang di-authorised oleh Allah).
**) "...fa in TANAAZA'TUM fi syai-in fa RUDDUUHU ilallahi warrasuuli in kuntum TU’MINUUNA billahi wal yaumil akhir...". Tanaaza'tum berarti KALIAN (telah) berselisih, yang mana KALIAN yang dimaksud adalah umat, sedangkan Ulil amri tidak termasuk di dalam sebutan KALIAN itu, sebab ulil amri adalah pihak pemutus perkara perselisihan itu. Sederhana saja, kalau perselisihan itu melibatkan rakyat versus ulil amri, lalu keputusan dikembalikan kepada al-Quran dan Sunnah, maka pemahaman al-Quran-Sunnah versi siapa yang akan memutuskan perkara? Jika versi rakyat, maka berarti rakyatlah yang jadi ulil amri-nya. Tidak lucu kan? Maka, pemahaman al-Quran-Sunnah versi ulil amri-lah yang harus jadi acuan.
***) Salah seorang ulama ahlussunnah, Fakhruddin ar-Razi, telah memproposisikan kriteria ulil amri dengan sangat baik. Silakan tengok karya tafsir beliau Mafatih al-Ghayb (Kunci-kunci Kegaiban). Sayangnya, ketika men-test-kan proposisi itu untuk menjawab ‘who the ulil amri are’, ada kejanggalan yang telah beliau lakukan.
****) Hadits yang terkenal, meskipun sebagian muslimin menafikannya. Secara matan (content), tidak ada masalah dengan hadits ini karena ada kesesuaian dengan al-Quran (ayat Ulil amri ini dan ayat-ayat lain yang paralel dan berhubungan dengannya). Para Ulil amri itulah para Imam di Zaman masing-masing sepeninggal Rasul saw, sehingga tanpa mengenal (ma'rifat) Sang Imam di zamannya, bagaimana mungkin seorang mukmin (ingat, ayat ini diawali dengan ‘yaa ayyuhalladzina aamanu’) bisa melaksanakan perintah Allah untuk taat kepada Ulil amri itu?
Sumber: amjabal.multiply.com