Pada bagian ketiga yang lalu, kita sudah sampai pada bagian ayat Kursi "Ya'lamu maa baina aidiihim wa maa khalfahum, wa laa yuhithuuna bi syai'in min 'ilmihi illa bimaa syaa"; He knows what is before THEM and what is behind THEM, and THEY cannot comprehend anything out of His knowledengane except what He pleases. Kali ini, mari kita tengok penggalan terakhir ayat Kursi, "wasi'a kursiyyuhus samaawaati wal ardla wa laa ya-uduhu hifzhuhuma, wahuwal 'aliyul 'azhim"; yang terjemahan Melayu-nya di software Al Quran Sakhr ver. 6.31 adalah: Luasnya Kursi Allah (ilmuNya dan kekuasaanNya) meliputi langit dan bumi; dan tiadalah menjadi keberatan kepada Allah menjaga serta memelihara keduanya. Dan Dia lah Yang Maha Tinggi (darjat kemuliaanNya), lagi Maha Besar (kekuasaanNya).
i sini, Kursi Allah dipahami (oleh sang penterjemah) sebagai ilmu-Nya dan kekuasaan-Nya. Ini wajar saja, sebab di penggalan sebelumnya dibicarakan mengenai ilmu dan pengetahuan Allah, dimana sesuai kaidah tauhid, ilmu itu hanya milik Allah dan pengetahuan para pemberi syafa'at itu tak lain tak bukan adalah dari Allah belaka. Pemahaman ini banyak digunakan oleh para mufasirin Al Quran. Sayyid M. Husain Thabathabai dalam Tafsir Al Mizan, misalnya, juga mendukung pemahaman ini dengan berlandaskan penjelasan Quran by Quran, akal maupun hadits-hadits ahlulbait AhS, tentu saja dengan pembahasan yang jauh lebih mendalam, a.l. dengan membandingkannya dengan pengertian 'Arsy Allah, maupun menguraikan liputan ilmu mulai dari pengetahuan tentang hal-hal yang belum me-materialised sampai yang sudah.
Di lain pihak, para mufassirin rujukan sebagian muslimin lainnya, agaknya memahami Kursi Allah sebagai "pokoknya Kursi, tapi tidak seperti kursi yang sering kita duduki itu", yang kalau ditanya penjelasan lanjutannya akan berujung kepada "I have no idea" :-). Contohnya, silakan lihat Al Quran terbitan Arab Saudi yang saya yakin banyak dimiliki oleh muslimin Indonesia, dan juga banyak tersedia di mushalla Hawken Drive, catatan kaki 161 yang berbunyi "... Pendapat yang sahih terhadap ma'na "Kursi" ialah tempat letak telapak kakiNya". Tentu, kalau ditanya lebih jauh yang dimaksud telapak kaki Allah itu apa, pasti jawabnya "pokoknya telapak kaki, tapi tidak seperti telapak kaki yang selama ini kita kenal", dan kalau ditanya lebih jauh lagi, ujung-ujungnya adalah "I have no idea".
Maka kita amati di sini ada DUA kubu, sebut saja Kubu pro-Takwil*) yang memahami Kursi Allah sebagai ilmu atau kekuasaan Allah, dan Kubu Non-takwil yang menghentikan pemahamannya pada titik "have no idea". Permasalahannya adalah kebanyakan dari Kubu Non-takwil menganggap takwil sebagai bid'ah dimana pelakunya adalah sesat dan setiap yang sesat tempatnya di neraka. Di lain pihak, Kubu pro-Takwil berpendapat bahwa setiap ayat Al Quran boleh dan bisa dipahami oleh manusia, sebab setiap ayat itu adalah petunjuk bagi kita semua. Jika ada ayat Quran yang TIDAK BOLEH dimengerti oleh manusia, maka itu berarti Allah telah menurunkan sesuatu yang FOR NOTHING. Padahal, kesia-siaan adalah mustahil dinisbatkan kepada Allah. Karena itu, takwil**) adalah salah satu metode memahami Quran, dan pelakunya berarti telah ber-ijtihad, yang kalaupun salah masih mendapatkan satu pahala, dan setiap pahala adalah nilai positif menuju surga :-).
Terlihat kan bedanya? Sementara kubu non-takwil memandang hina saudara-saudaranya yang di kubu lainnya, yaitu dengan menganggap mereka sebagai ahli bid'ah calon penghuni neraka, kubu takwil sama sekali tidak menganggap yang tidak bertakwil akan jatuh ke neraka. Kita semua menyadari bahwa tidak semua orang dikaruniai Allah kemampuan dan ilmu yang sama, dan karenanya bagi yang tidak mampu ya tidak apa-apa. Men-takwil bukanlah sesuatu yang wajib, yang meninggalkannya diancam dosa. Jadi, sah-sah saja untuk tidak bertakwil, toh maqam seseorang di sisi Allah tidak ditentukan oleh apakah dia mampu dan mau mentakwil atau tidak, tapi oleh taqwanya.
Anyway, istilah ta'wil itu sendiri sebetulnya bukan hal yang asing. Ianya ada disebutkan di Al Quran sendiri dan hadits Rasul SAW. Lihat misalnya ayat athiullah wa athiurrasul wa uulil amri minkum (An Nisa: 59), di ujung ayat dikatakan "dzalika khairun wa ahsanu ta'wila" (itulah takwil yang baik dan paling bagus). Maknanya apa? Kita tahu bahwa pemahaman sehari-hari masyarakat jika mereka berselisih, penyelesaiannya adalah either dengan gontok-gontokan atau perang sehingga pihak yang menang berantem dianggap sebagai pihak yang benar (seperti hobi berantemnya kabilah-kabilah Arab waktu itu, ataupun hobi perangnya Bush dan konco-konconya, ataupun tradisi carok-nya orang-orang Madura :-), no offense to Maduranese though), atau dengan menyerahkan keputusan kepada penguasa politik mereka (kepala suku, gubernur, raja, presiden atau whatever). Common understanding ini ternyata dianggap tidak valid oleh Al Quran. Ta'wil yang benar adalah keputusan diserahkan kepada Allah dan Rasul-Nya (farudduuhu ilallahi warrasuul).
Artinya, ditunjukkan oleh ayat Al Quran ini bahwa ta'wil itu adalah suatu pemahaman yang BERBEDA dengan common understanding, dan ini adalah suatu metode yang logis saja, mengingat keadaan sosial ekonomi budaya suatu masyarakat dimana para Rasul AhS diturunkan umumnya adalah suatu keadaan yang perlu di-reform. Maka, common understanding yang didapat dari hasil proses sosial budaya ekonomi yang perlu direform itu tentu saja juga perlu direform (meskipun tentu ada juga sisi-sisi yang bisa dipertahankan). Karena itu, common understanding TIDAK BISA diterapkan secara membabi buta untuk memahami seluruh ayat-ayat Al Quran. Ada ayat-ayat yang pengertiannya menjadi melenceng jika dipahami based on merely common understanding, dan ada pula ayat-ayat yang boleh dipahami dengan common understanding (or you may say "literalism" if you like) tapi ayat-ayat itu juga mengandungi pengertian lanjutan yang lebih dalam lagi, dan untuk keperluan-keperluan inilah diperlukan ta'wil. Gitu lho.
As for hadits yang mendukung ta'wil, saya cuplikkan sebuah hadits terkenal berikut, yang tercatat di Musnad Ahmad, Mustadrak Al-Hakim, Kanzul Ummal, dll. Abu Sa`id alKhudri reports: "We sat waiting for the Messenger of Allah (S) when he came out to meet us. The strap of his sandal was broken and he tossed it to `Ali. Then he (S) said, 'A man amongst you will fight the people over the TA'WIL of the Qur'an in the same way as I have fought over its tanzil (revelation).' Thereupon Abu Bakr said, 'Is that I?' The Prophet (S) said, 'No.' Then `Umar asked him, 'Is that I?' 'No.' said the Prophet (S). 'It is the mender of the sandal (i.e. `Ali).'"
Hadits ini menunjukkan tidak saja ta'wil itu ada dalam upaya memahami Al Quran, tapi juga menunjukkan adanya authority penta'wilan. Di antara takwil yang berbeda-beda ada takwil yang benar di mata Allah. Di sini Rasul SAW men-sahkan Imam Ali AS sebagai seorang pentakwil yang authorised, meskipun Abu Bakar dan Umar, dengan niat baik mereka, telah pula bersedia berperang demi takwil Al Quran yang benar itu. Masalahnya, pentakwilan Al Quran harus dilakukan oleh orang yang benar-benar berilmu, memahami Al Quran 100% (menyentuh Al Quran) sehingga tidak terjadi distorsi dari petunjuk Allah untuk seluruh manusia ini. And Allah knows Imam Ali is the one among al-muthahharun (lihat Al-Waqiah: 79), sehingga melalui Rasul-Nya ditetapkanlah Ali AS sebagai otoritas pentakwil Al Quran sepeninggal Rasul SAW.
Dan sejarah menunjukkan, Abu Bakar dan Umar pun mengikuti banyak nasihat-nasehat Imam Ali sebagai the supreme faqih of that era, sedemikian hingga as far as muslim community is concerned, pemerintahan mereka masih berada dalam kerangka keadilan.
Alhamdulillah, dengan ini saya tutup pembahasan mengenai ayat Kursi, sebuah ayat yang sangat istimewa***) yang mengandungi pemahaman tauhid pada level ultimate (tauhid al-wujud). Sedemikian istimewanya ia sehingga Imam Ali AS diriwayatkan tidak pernah melewatkan malam tanpa membaca ayat ini.
Allahumma shalli 'ala Muhammad wa aali Muhammad,
waj'al tawassuli bihi syaafi'an yaumal qiyamati naafi'a.
Notes:
*) Walaupun saya kurang sependapat jika dikatakan pemahaman Kursi sebagai ilmu atau kekuasaan Allah itu sebagai takwilnya para mufassirin, sebab para Imam Ahlulbait AhS telah menjelaskannya seperti itu di dalam hadits-hadits mereka, hanya saja Kubu Non-takwil tidak mengakui otoritas ahlulbait AhS. Jadi, kalaupun mau dikatakan takwil, ini adalah takwil-nya para Imam Ahlulbait AhS, and their takwil is the same as Muhammad SAW's takwil, i.e. the right takwil, karena merekalah (Rasul SAW dan ahlulbaitnya) para al-muthahharun yang memahami Al Quran secara sempurna. Mereka pulalah yang Al Quran sebut dengan "rasikhuna fil 'ilm", orang-orang yang Allah karuniai pemahaman ilmu mendalam, yang meng-imani ayat-ayat mutasyabihat. Iman orang-orang berilmu adalah iman berdasarkan pengetahuan hakiki, BUKAN berdasarkan taklid. Jadi, mereka dikaruniai Allah pemahaman yang benar dari ayat-ayat mutasyabihat.
**) Secara sederhana, takwil adalah "mengembalikan segala sesuatu kepada rujukannya" (rem. “ta'wil” dan “awal” mempunyai akar kata yang sama). Karena itu, dalam hal ayat-ayat Al Quran yang kurang dimengerti pada pandangan pertama (kebanyakan memang ayat-ayat mutasyabihat), cara mentakwilnya adalah dengan merujukkannya kepada ayat-ayat muhkamat yang berhubungan dengannya. Jadi, takwil SAMA SEKALI BUKAN gothak gathuk gatholoco seperti banyak disalahpahami sebagian orang selama ini :-).
***) Tentu saja, setiap ayat Al Quran adalah istimewa.