Apa hubungannya akal, hawa nafsu, dan gharizah (harfiahnya: tabiat, perangai). Apakah gharizah itu insting yang juga dimiliki hewan? Inti dari pertanyaan ini, dan juga mungkin pertanyaan-pertanyaan lainnya yang boleh jadi muncul di benak terjadi karena memang pembahasan subject aql dan jahl ini belum tuntas. Bahkan definisi akal pun belum sempet dilontarkan, bukan? Tapi, mudah-mudahan dengan waktu yang sangat pendek itu sudah boleh men-trigger perenungan bagi yang berminat.
Nah, having known (from the kultum) that al-Quran mengkategorikan HANYA mu'minin-muslimin lah yang ya'qilun (berakal), maka implikasinya adalah definisi “berakal” menurut al-Quran, barangkali, TIDAK SAMA dengan definisi yang sudah kita ketahui selama ini. Maka, seorang yang IQ-nya 140-an, misalnya, bukan berarti dia lebih berakal dibanding yang IQ-nya cuman pas-pasan 100. Di bagian sebelumnya dicontohkan bahwa western society, meskipun saat ini menguasai science dan technology dan tampak sebagai masyarakat yang teratur, mereka yang majority non-muslim and atheis itu sejatinya adalah kaum yang tidak berakal (laa ya'qilun) menurut al-Quran.
Mari kita tinjau hal-hal berikut. Hewan adalah mahluk yang tidak dikaruniai akal. Yang dimiliki hewan hanya hawa nafsu. However, dunia binatang pun boleh teratur dan lestari. Orang yang punya sedikit pengetahuan lingkungan pun tahu bahwa gejala-gejala unsustainability yang dirasakan akhir-akhir ini TIDAK disebabkan oleh hewan-hewan yang tidak berakal itu. MANUSIA lah penyebab unsustainability. Allah swt telah menciptakan mekanisme ekosistem sedemikian rupa sehingga mampu menjaga keseimbangan/kelestarian elemen-elemennya. Keseimbangan ekosistem terganggu, tak lain tak bukan, karena kerakusan satu elemen saja, i.e. manusia. Maka, ini boleh menjadikan pelajaran bahwa dalam suatu sistem yang elemen-elemennya hanya hawa nafsu, tanpa akal, pun BOLEH TERATUR. Binatang-binatang predator misalnya, memangsa korban-korban mereka secukupnya saja, sesuai dengan volume perut mereka saja. Hal ini karena pendeknya pikiran mereka. Dan ini membuat mangsa-mangsa itu tetap terjaga renewability-nya.
Nah, inilah yang kita jumpai di negeri-negeri western dan developed world lainnya yang “nonmuslim” itu. Keteraturan yang terjadi analogus belaka dengan keteraturan di dunia binatang, yaitu keteraturan yang timbul bukan karena kemenangan akal terhadap jahal (tentu tidak semua, karena insya Allah masih ada beberapa segmen masyarakat itu yang tetap menjaga dan menggunakan akal mereka, tapi, in general gebyah uyah, bolehlah dibilang begitu). Seseorang dengan ideologi laa ya'qilun cenderung memaksimalkan pemuasan hawa nafsunya, dengan satu syarat pembatas saja, yaitu tidak menganggu pemuasan hawa nafsu orang-orang lainnya. (Does this ring something in your mind? Ingat falsafah dasar 'ilmu' ekonomi?). Orang nggak mencuri atau korupsi, misalnya, bukan karena akalnya mengatakan mencuri/korupsi itu bisa membuatnya terperosok jatuh ke lembah gelap dan jauh dari Allah swt, tapi karena takut dipenjara, atau karena perutnya sudah kenyang, atau karena supaya dipuji-puji dan dihormati orang sebagai orang yang baik.
Maka, sejauh itu menyangkut interaksi sosial antar masyarakat internal, dunia Barat memang menyilaukan sebagian muslimin karena keteraturannya. Budaya antri yang tertib, lalulintas teratur, transparansi perencanaan dan pelaksanaan program-program pemerintah dan lain-lain. masih banyak lagi contoh-contoh keteraturan itu. Tapi jika pemuasan nafsu to the max “tidak mengganggu” orang-orang lain (internal), kita lihat betapa kacaunya sebetulnya mereka. Misalnya, perzinaan merajalela secara terang-terangan, minum-minum khamr, perjudian, pesta-pesta mewah, dan yang sebetulnya mengganggu belahan dunia lainnya (external) adalah: greediness dalam ber-ekonomi yang membuat dunia ini berada dalam trend unsustainability (sayangnya, sebagian besar dari dunia lain itu begitu bodohnya sehingga tidak merasa terzalimi).
Jika keseimbangan di dunia hewan adalah sustainable, itu karena kemampuan berpikir hewan begitu pendeknya. Tapi kemampuan berpikir manusia sangat dahsyat. Kita tahu, hewan yang paling cerdas (simpanse dewasa) pun diperkirakan cuma punya kecerdasan setara bayi merah (tolong dikoreksi bagi yang tahu exactly-nya). Nah, dengan karunia Allah swt yang sangat luar biasa inilah, manusia ditakdirkan punya kebebasan memilih untuk: (A) naik menuju Cahaya (Allah swt) jika kemampuan berpikirnya DIPIMPIN oleh akalnya, atau (B) turun menuju kegelapan jika pikirannya dikuasai jahal atau nafsunya.
Dengan demikian, keteraturan yang ada di developed world itu sebetulnya sangat rawan sekali. Yang sudah tampak meng-global akibat buruknya adalah unsustainability itu tadi, lalu pemaksaan kehendak melalui perang dengan dalih 'kebenaran', dan lestarinya poverty di developing world (silakan baca Globalization of Poverty dan War on Terorism-nya Chossudovsky).
Akal, sesuai dengan sabda Imam Ali as adalah utusan Allah swt di dalam diri masing-masing manusia. Karena itu, penggunaannya harus dimaksimalkan, unless kita mau dikategorikan laa ya'qilun dan membawa konsekuensi mendapatkan azab Allah swt. Na'udzubillah.
Akal dan jahal selalu berperang di dalam diri kita. Bahagialah orang yang intelijensianya dikuasai akalnya, dan kecian deh bagi yang kemampuan berpikirnya dikendalikan oleh sang jahal. Jika jahal berkuasa, suatu mahluk dengan IQ 100 or above tentu akan menjadi jauh lebih buas dan berbahaya dibanding seekor singa yang IQ-nya jongkok itu :-).
Semoga menjadi jelas sekarang, apa definisi berakal menurut Islam yang kami pahami.
Sumber: amjabal.multiply.com