Apakah surga dan neraka sekarang ini eksis?

Menurut ayat dan riwayat, surga dan neraka yang dijanjikan itu memiliki keberadaan sekarang ini. Dan pada hari kiamat akan digelar secara sempurna dan manusia akan menempati kediaman abadinya, sesuai dengan amal perbuatan, keyakinan, dan keikhlasan mereka. Namun bentuk lain telah digambarkan untuk surga dan neraka dimana dengan penyaksian di dunia dan jelmaannya di alam barzakh (tajalli barzakhi) tampak bagi manusia.  Dan menjadi sebab kelezatan dan penderitaan manusia.

Akan tetapi, terdapat ragam pendapat terkait dengan pengaruh dan kesesuaian amal perbuatan, keyakinan dan pemikiran manusia dalam keadaannya di akhirat, dan juga interpretasi surga dan neraka dan jenis-jenisnya. Tapi secara umum dapat dikatakan bahwa:

A. Surga yang dimasuki oleh Nabi Adam dan Hawa dan dari tempat itu keduanya diturunkan;

B. Surga dan neraka yang dicapai oleh amal perbuatan yang menjadi kediaman manusia;

C. Surga dan neraka barzakhi, simbol, refleksi dan citra bagi surga dan neraka yang dijanjikan bukan surga dan neraka yang hakiki. Apakah fulan menjadi ahli surga atau neraka tergantung pada amal perbuatannya.

Penjelasan Detail:

Iman kepada surga dan neraka sebagai kediaman abadi manusia setelah kiamat. Iman kepada bagaimana menyempurnanya keduanya, di antara iman kepada yang gaib dimana ilmu dan iman kepada keduanya tidak dapat diperoleh kecuali dengan melalui jalan referensial (naqli) dan merujuk kepada ayat dan riwayat. Sementara sepanjang kiamat tidak nampak bagi manusia di hari Kiamat maka ia tidak akan pernah keluar dari wilayah ghaib. Dan selama alam ghaib tidak tersingkap secara keseluruhan bagi manusia maka enigma dan keburaman tentang masalah ini tidak akan terpecahkan.

Namun adanya enigma dan keburaman sedemikian tetap tidak menciderai pokok iman kepada keduanya dan keyakinan terhadap janji-janji Ilahi serta peristiwa-peristiwa akbar keduanya. Di antaran keburaman tentang surga dan neraka, masalah ini bahwa apakah surga dan neraka sekarang ini eksis atau tidak? Apabila eksis, keduanya ada di mana? Bagaimana bentuk terkini keduanya. Apakah berbentuk bumi-bumi tandus yang diberikan kualitas oleh manusia, atau belum tuntas proses pengadaannya kemudian manusia menyempurnakannya lalu memasukinya? Atau surga dan neraka akan diciptakan kelak di akhirat? Dan seterusnya.

Dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas keduanya harus ditelaah melalui dua perkara di bawah ini:

A. Jenis pengaruh perbuatan manusia atas hasil-hasil ukhrawi yang dicapainya;

B. Pembagian surga-neraka dan ragam pandangan ihwal keduanya.

A. Pandangan-pandangan yang dilontarkan pada wilayah “Jenis pengaruh perbuatan manusia atas hasil-hasil ukhrawi yang dicapainya,” sebagai berikut:

1. Ganjaran atau pahala ukhrawi dihasilkan dalam bentuk kontraktual atas perbuatan, niat, dan pikiran-pikiran manusia di dunia seperti pidana syariat atau denda dan penilangan lalu lintas. Oleh karena itu, antara perbuatan-perbuatan duniawi dan  kejadian-kejadian ukhrawi tidak terjalin sebuah hubungan hakiki;

2. Ganjaran atau pahala ukhrawi sejenis perbuahan energi kepada materi. Artinya energi yang dikerahkan oleh manusia untuk perbuatan baik atau buruk, di akhirat akan berubah menjadi materi dan menjadi penyebab ia meraup kenikmatan atau penderitaan;

3. Amal perbuatan, pelbagai pikiran dan keadaan manusia memiliki sisi lahir dan batin. Dan di dunia yang nampak dan terlihat hanyalah hal-hal yang lahir dari kesemua ini. Dan kebanyakan manusia tidak mengetahui urusan batinnya sehingga amal perbuatan, pikiran-pikiran, dan keadaan-keadaan manusia menjadi tampak di alam barzakh dan secara sempurna di hari Kiamat. Kesemuanya akan menjadi penyebab manusia mencicipi kenikmatan atau azab ukhrawi;

4. Amal perbuatan, pelbagai pikiran dan keadaan manusia sebagaimana ia lahir dari anggota lahiriah dan batiniah manusia, berpengaruh, dan membentuk perilaku dan batinnya. Kendati manusia manusia lalai dari berpengaruhnya hal-hal ini. Di dunia hal-hal yang lahir yang disaksikan kebanyakan manusia dan di akhirat bentuk-bentuk batin dari ketiga hal tersebut menjadi tampak dan lahir. Dan juga batin-batin dan perilaku yang ditunjukkannya di dunia akan tersingkap. Penampakan batin ini menjadi sebab manusia mendapatkan nikmat atau azab.

Dua pendapat pertama tidak sejalan dengan ayat dan riwayat secara lahiriyah. Keduanya tidak dapat dijadikan sebagai interpretasi dan justifikasi atas pelbagai azab atau nikmat ukhrawi manusia. Adapun dua pendapat terakhir, kendati secara lahir sejalan dengan sebagian ayat[1] dan riwayat namun keduanya hanya dapat menjustifikasi sebagian kejadian di alam barzakh dan kiamat (surga dan neraka) bukan semuanya.

B. Pendapat-pendapat yang disampaikan dalam ranah “Pembagian surga-neraka dan jenis-jenis keduanya,” adalah sebagai berikut:

1. Wa’ad (janji) dan wa’id (ancaman), peringatan (indzar) dan  berita gembira (tabsyir) bagi surga dan neraka hanya memiliki sisi edukatif dan tidak meniscayakan bahwa keharusan adanya surga dan neraka. Cukup manusia dengan tamak untuk mendapatkan surga dan takut dari azab neraka sehingga mereka menjadi orang shaleh dan menjauh dari segalah keburukan dan perbuatan tercela, sampai kepada surga dan terjauhkan dari neraka. Dan maksud Allah Swt yang bertujuan untuk memberi petunjuk dan memperbaiki manusia tercapai dan semuanya ini telah memadai;

2. Surga adalah komunitas tanpa strata orang-orang bertauhid dan neraka adalah masyrakat yang berpedoman pada sistem kapitalis. Surga dan neraka tidak lebih dari kedua hal ini. Oleh karena itu, orang-orang yang mencari surga harus menciptakan sistem pekerja sehingga ia memperoleh surga di dunia ini dan terjauhkan dari sistem kapitalis;

3. Surga berada di planet lain di dunia ini dimana dengan penyempurnaan dan kemajuan ilmu perbintangan serta teknologi ia dapat ditaklukkan dan terjauhkan dari neraka bumi;

4. Surga artinya tersifatkannya manusia dengan segala keutamaan. Neraka maksudnya ternodainya manusia dengan segala perbuatan tercela. Oleh karena itu, mereka yang mencari surga dan ingin terselamatkan dari neraka maka ia harus menghiasi dirinya (tahliyah) dengan segala perbuatan baik (fadhail) dan mengosongkan (takhliyah) jiwanya dari segala perbuatan buruk (radzail).

Keempat justifikasi ini dilontarkan oleh puak materialis dan kaum eklitis (iltiqatiyun) bertentangan dengan bentuk lahir ayat dan riwayat serta tujuan risalah dan pewahyuan kita dan iman kepada yang gaib dan tentu saja keempat pandangan ini tertolak. Karena surga dan neraka yang banyak ayat-ayat al-Qur’an mencirikan keduanya didapatkan setelah kematian manusia dan digelar pada hari kiamat dan menjadi kediaman abadi manusia, bukan tempat lintasan, bercorak duniawi (transient) dan fana.

5. Surga yang dimasuki oleh Nabi Adam As dan Hawa semenjak penciptaan dan setelah beberapa lama dikeluarkan dari situ lalu diturunkan ke muka bumi termasuk surga yang merupakan sebuah tingkatan di dunia. Kalau tidak demikian, Adam sekali-kali tidak akan keluar dari tempat itu. Di samping itu, tidak ada sangkut pautnya dengan seluruh perbuatan manusia dalam ditemukannya dan kualitas keduanya;

6. Surga dan neraka barzakhi merupakan manifestasi (tajalli) batin-batin seluruh perbuatan dan perilaku manusia. Bagi pesuluk (ahli hati dan makna), sebelum kematian dan bagi orang-orang beriman murni dan orang-orang kafir murni di kubur setelah kematian. Dimana rukyat batin-batin seluruh perbuatan dan akrab dengannya menjadi sebab manusia mendapatkan nikmat atau azab sebelum padang masyhar di gelar di hari Kiamat.

Surga dan neraka ini karena digelar sebelum hari Masyhar dan Kiamat maka ia tergolong dari tingkatan dunia. Dan merupakan kediaman bagi setiap orang di dunia dan menjadi obyek penyaksian para wali Allah.  Atau pada dunia mimpi. Pandangan ini dapat diterima dengan pandangan ketiga dan kempat yang berpengaruh pada perbuatan manusia atas hajaran atau ganjaran manusia.[2]

7. Surga dan neraka ukhrawi: Terdapat banyak ayat dan riwayat yang menyatakan bahwa surga dan neraka ini sekarang ini eksis dan sebagian darinya disaksikan oleh Nabi Saw pada waktu mikraj.[3] Dengan bentuk bahwa tatkala manusia lahir dua tempat disiapkan baginya satu di surga dan lainnya di neraka, dimana apabila ia meninggalkan dunia ini dengan amal-amal shaleh dan iman maka ia akan memasuki surganya sendiri. Dan kalau tidak demikian, ia dilemparkan ke neraka. Namun menempati tempat tersebut, beragam tingkatan surga atau neraka, juga bagaimana ia mendapatkan nikmat atau azab pada alam tersebut bergantung sepenuhnya pada amal perbuatan manusia.

Sesuai dengan sanad muktabar yang dinukil dari Imam Shadiq As bahwa, “Allah Swt tidak menciptakan seorang pun kecuali Dia menyiapkan sebuah kediaman di surga dan tempat di neraka baginya. Kemudian, sebagaimana penduduk surga di surga dan penduduk nereka menghuni neraka, seorang penyeru berteriak lantang kepada penduduk surga, lihatlah ke arah neraka, dan dia akan memasuki dan menyaksikan ke arah neraka dan kediaman-kediamannya ditunjukkan di neraka dimana apabila ia bermaksiat kepada Allah maka ia akan memasuki tempat itu. Kemudian ia akan menggembirakan orang tersebut dimana apabila kematiannya di surga, ia akan mati gembira mereka yang selamat dari azab sedemikian. Kemudian penyeru berseru kepada penduduk neraka untuk melihat ke arah atas; tatkala mereka melihat, mereka melihat kediaman mereka di surga dan segala kenikmatan yang tersedia di dalamnya diperlihatkan kepada mereka dan berkata kepadanya apabila kalian mematuhi Allah Swt maka kediaman ini menjadi kediaman kalian. Lalu kediaman penduduk neraka di surga diberikan kepada orang-orang yang berbuat kebajikan. Dan kediaman-kediaman penduduk surga di neraka diberikan kepada orang-orang yang melakukan keburukan. Dan demikianlah tafsir ayat ini dimana Allah Swt berfirman ihwal kedudukan orang-orang surga, “Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi. (yakni) yang akan mewarisi surga Firdaus. Mereka kekal di dalamnya.” (Qs. Al-Mukminun [23]:10-11)[4]

Dengan demikian, surga dan neraka yang berada di hari kiamat yang akan menjadi kediaman abadi manusia kini eksis dan ada serta melalui pikiran, kondisi dan perbuatan manusia akan menyempurna demikian juga kualitas dan bagaimana bentuknya. Namun sepanjang hari Kiamat belum diadakan, tidak seorang pun yang akan memasukinya dan tidak seorang pun yang pernah menyaksikannya kecuali Rasulullah Saw.

Oleh karena itu, pertama surga Nabi Adam dan Hawa. Kedua, penduduk surga dan neraka yang sebelum kematian disaksikan manusia pada waktu tidur atau bangun atau tatkala mati atau setelah kematian di alam barzakh adalah surga dan neraka mitsali dan duniawi dan merupakan manifestasi surga atau neraka ukhrawi, bukan surga dan neraka yang sebenarnya. [Indonesia.islamquest.net] 

Daftar pustaka:

1. Muhammad Husain Husaini Tehrani, Ma’âd Syinâsi, jil. 1 dan 2.

2. Syaikh Abbas Qummi, Manâzil al-Akhirah, hal. 81-170

3. Ali Syirwani, Terjemahan Ma’âd Syinâsi, Ja’far Subhani

4. Zainul Abidin Qurbani, Besu-e Jahân-e Abadi

5.  Furugh al-Sadat Rahimpur, Ma’âd az Didgâh-e Imâm Khomeini

6. Muhammad Husain Thab-thabai, Hayat Pas az Marg

7. Muhammad Husain Thab-thabai, Barrasihâ-ye Islâmi, hal. 354-382.

Catatan Kaki:


[1] “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).” (Qs. Nisa [4]:10); “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebagian besar dari orang-orang alim dan rahib-rahib (ahli kitab) benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang batil dan menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya di jalan Allah, maka berikanlah berita gembira kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. pada hari emas perak itu dipanaskan dalam neraka Jahanam, lalu dengannya dibakar dahi, lambung, dan punggung mereka; (lalu dikatakan) kepada mereka, “Inilah harta benda yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu.” (Qs. al-Taubah [9]:34-35)

[2] Muhammad Husain Husaini Tehrani, Ma’ad Syinasi, jil. 2, hal. 157-192 

[3] Ibid, hal. 292-320; Kitab-kitab tafsir terkait dengan ayat 1 surah al-Isra.  

[4] Allamah Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 8, hal. 125 dan 287 yang menukil dari Syaikh Abbas Qummi, Manâzil al-Akhirah, hal. 129-130